Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Jamaah Sembahjang Djoemahat Terpecah karena Bahasa Khutbah

Penerjemahan khutbah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia membuat jamaah mengerti khatib.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Masa pandemi Covid-19 membuat banyak orang kalap. Ada yang kalap berkomentar macam-macam menyalahkan pemerintah karena masjid-masjid ditutup tetapi mal dibuka. Ada yang kalap berbelanja, memborong vitamin, obat cacing, ataupun susu.

Mereka yang kalap berbelanja susu itu mungkin mengetahui jika susu itu bisa membuat bingung virus sehingga virusnya jadi lemah karena stres. Betapa tidak bingung, susunya susu sapi, tapi diberi nama susu beruang, terus iklannya menggunakan naga. Begitu anekdot yang beredar setelah muncul fenomena kalap berbelanja susu tersebut.

Muncul pula informasi adanya orang yang overdosis obat cacing sehingga orangnya kelengar. Orang memborong obat cacing tanpa resep dokter karena Moeldoko rajin mempromosikan salah satu merek obat cacing yang disebut bisa mengatasi Covid-19. Ada yang sembuh, ada yang kelengar.

Pada 1934, ada juga yang overdosis obat. Ia minum empat tablet aspirin untuk menghilangkan demamnya. Minumnya pun menggunakan air belanda (air soda). Warga Tarogong, Garut, Jawa Barat, yang overdosis aspirin itu pun dikabarkan meninggal dunia. “Memang, menurut aturannya, orang tidak boleh makan aspirin dengan dicampur air belanda,” tulis koran Bintang Timoer.

Di masa Penberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat 3-20 Juli 2021, mal pun ditutup. Namun, jika di mal itu ada resto, apotek, masih dibolehkan buka.

Untuk resto, syaratnya tidak melayani makan di tempat. Untuk apotek, tentu tak membolehkan pembeli datang berbondong-bondong, misalnya, berbondong-bondong memborong obat cacing.

 
Dulu, pernah kejadian, orang tak boleh sembahjang djoemahat. Bukan karena ada pandemi, melainkan gara-gara khutbah jumatnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
 
 

Jadi,  ternyata tak hanya masjid yang ditutup—seperti di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dulu. Sekarang, selain masjid yang ditutup untuk shalat Jumat, mal pun juga ditutup karena pandemi Covid-19 makin mengerikan.

Dulu, pernah kejadian, orang tak boleh sembahjang djoemahat. Bukan karena ada pandemi, melainkan gara-gara khutbah jumatnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Kejadiannya tercatat di Bukittinggi dan di Singkarak, pada 1934. Di Singkarak, kejadian ini memunculkan perpecahan.

Shalat Jumat dulu biasanya memang dibawakan dalam bahasa Arab. Pengaruh modernisasi membuat khutbah Jumat diberi terjemahan dalam bahasa daerah. Namun, biasanya penghulu menghalang-halangi penyampaian khutbah yang diterjemahkan ke dalam bahasa daerah ini.

Penghulu berada di bawah kendali bupati, sebagai aparat pemerintah kolonial yang bertugas melakukan pengawasan terhadap berbagai kegiatan keagamaan.

Penerjemahan khutbah dari bahasa Arab ke bahasa daerah atau Indonesia membuat jamaah bisa mengerti apa yang disampaikan khatib di mimbar. Ini yang tidak diinginkan oleh pemerintah kolonial.

 
Penerjemahan khutbah dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia ini yang tidak diinginkan oleh pemerintah kolonial.
 
 

“Penolakan penghulu yang bersangkutan untuk memberikan izin penerjemahan khutbah menyebabkan pemisahan diri beberapa jamaah di beberapa tempat,” tulis Lekkerkeker di buku Land en Volk van Java yang terbit pada 1938.

Demikianlah yang terjadi di Singkarak. Pelarangan penyampaian khutbah Jumat itu yang kata koran Bintang Timoer, “yang khutbahnya dibahasaindonesiakan” telah membuat sebagian jamaah mengadakan shalat Jumat dengan khutbah bahasa Indonesia di masjid lain, yaitu di Kampung Pasir. Namun, kegiatan ini juga dihalang-halangi.

Bintang Timoer menceritakan, masyarakat mencurigai pelarangan itu melibatkan pejabat di Solok. Solok merupakan distrik yang membawahi Singkarak. “Mereka yang melarang tadi pun kabarnya ada seorang yang beragama Islam pula, tapi dengan jalan apakah beliau itu berani melarang itu bersembahyang jumahat,” tulis Bintang Timoer.

Akibat pelarangan itu, menurut laporan koran yang dipimpin Parada Harahap itu, telah ada yang tidak shalat Jumat. “Yang mana hal ini, menurut agama Islam, barang siapa yang meninggalkan jumahatnya sampai tiga kali berturut-turut, maka orang itu di luar lingkungan Islam,” tulis koran Bintang Timoer.

Namun, mereka yang sudah tiga kali meninggalkan shalat Jumat itu melakukannya bukan karena kemauan sendiri. Karena ada yang melarangnya. “Tapi berhubung dengan kejadian seperti ini, kepada siapakah sebetulnya dipikulkan risikonya?” tanya koran Bintang Timoer.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat