Al-Asy | Dok Antara/Wahdi Setiawan

Tema Utama

Corak Pemikiran Imam al-Asy’ari

Al-Asy'ari yang ahli ilmu kalam ini memiliki pandangan moderat, pantang mengafirkan sesama Muslim.

OLEH HASANUL RIZQA

"Aku bersaksi bahwa aku tak pernah mengafirkan satu pun orang dari golongan ahlul qiblah (umat Islam)."

Aswaja merupakan akronim dari Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut KH Abul Fadhol dalam kitab Al-Lamma'ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah, kemunculan istilah Aswaja berawal dari meruncingnya perpecahan di kalangan generasi salaf.

Konflik yang berlatar politik itu terjadi beberapa tahun pascawafatnya Nabi Muhammad SAW, terutama sejak masa kepemimpinan Utsman bin Affan.

Puncaknya, khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, terpaksa berperang melawan pihak Muawiyah bin Abi Sufyan dalam Pertempuran Siffin pada 657 M. Akhirnya, para pendukung Ali pun terpecah sehingga memunculkan Khawarij.

Kubu ekstrem ini bahkan bersiasat membunuh sepupu Rasulullah SAW tersebut. Belakangan, nama khawarij disematkan bagi kelompok-kelompok mana pun yang berpikiran sama esktremnya, berlepas diri dari barisan umat, serta memakai cara-cara kekerasan untuk memaksakan tafsiran.

Dari kubu pro-Ali pun muncul barisan fanatikus yang disebut Syiah. Ada pula kelompok yang dinamakan sebagai Mu'tazilah. Mereka identik dengan rasionalitas dan logika keadilan serta prinsip tauhid, sebagaimana diyakininya sendiri.

Ketika Dinasti Umayyah dikalahkan Abbasiyah, aliran Mu’tazilah sempat berada di atas angin. Masa kejayaannya dikenang sebagai Era Mihnah (zaman persekusi).

 
Mereka adalah Muslimin yang mempertahankan sunah Rasulullah SAW serta mengikuti jalan para sahabat dalam soal akidah, ritual fisik, dan olah spiritual.
 
 

Sasaran persekusi itu adalah golongan Aswaja. Siapa saja mereka? Menurut Kiai Abul Fadhol, mereka adalah Muslimin yang mempertahankan sunah Rasulullah SAW serta mengikuti jalan para sahabat dalam soal akidah, ritual fisik, dan olah spiritual. Ketika Khalifah al-Mutawakkil berkuasa, Mu’tazilah mulai ditinggalkan elite penguasa. Malahan, secara terang-terangan pemimpin ke-10 Abbasiyah itu mendukung Aswaja. Maka bertumbuhlah geliat keilmuan dalam pelbagai bidang, mulai dari teologi, fikih, hadis, hingga tasawuf.

Mengutip penjelasan Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, Kiai Fadhol menjabarkan, pada masa itu ada banyak ulama yang berijtihad dalam menjelaskan pelbagai fenomena, seturut dengan Alquran dan Sunnah serta teladan para sahabat Nabi SAW.

photo
Pengunjung membaca kitab kuno bertema Islam di perpustakaan Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo, Solo, Jawa Tengah, Jumat (16/4/2021).Perbedaan pandangan di kalangan para mujtahid tentunya tak bisa dihindari lantaran pengetahuan dan analisis mereka yang berlainan. - (ANTARA FOTO/Maulana Surya)

Perbedaan pandangan di kalangan para mujtahid tentunya tak bisa dihindari lantaran pengetahuan dan analisis mereka yang berlainan. Semula, ada banyak pilihan mazhab dalam fikih, tetapi akhirnya tersisa empat saja.

Keempatnya itu masing-masing didirikan oleh Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Mereka tentu bukan sembarang ulama karena sangat memiliki kompetensi dalam banyak bidang ilmu Islam yang luas, semisal akidah, hadis, dan fikih. Akan tetapi, fokusnya kemudian berpusat pada fikih ubudiyah (praktik peribadahan) karena memang pada masa itu diskursus kajian fikih berada pada titik puncaknya.

 
Perbedaan pandangan di kalangan para mujtahid tentunya tak bisa dihindari lantaran pengetahuan dan analisis mereka yang berlainan.
 
 

Pada masa itu, muncul pula ulama-ulama yang masyhur akan pemikirannya dalam bidang olah batin atau tasawuf. Kiai Fadhol menerangkan, terdapat dua imam yang akhirnya menjadi rujukan kalangan Aswaja. Keduanya adalah Abu Qasim al-Junaidi al-Baghdadi dan Abu Hamid Muhammad al-Ghazali.

Masih dalam momentum meredupnya pengaruh Mu’tazilah, diskursus kalam mulai didominasi para pemikir yang moderat. Ada dua tokoh yang hingga kini terus dan selalu dihormati kalangan Aswaja. Mereka adalah Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Yang satu bermazhab Syafii, sedangkan yang lain bersandar pada Hanafi.

Wahyu dan akal

Salah satu corak pemikiran Aswaja ialah moderat. Kecenderungannya selalu mengambil jalan tengah atau titik keseimbangan di antara ekstrem-ekstrem. Sebagai seorang ulama besar ahli ilmu kalam, Abu Hasan al-Asy’ari pun memilih cara moderat, yakni seimbang antara akal dan wahyu.

M Rusydi dalam artikelnya, “Konstruksi Pemikiran Kalam al-Asy’ariah” (2014) menerangkan bagaimana pandangan sang alim. Menurut al-Asy’ari, akal tidak dapat mengetahui apakah suatu perbuatan itu baik atau buruk.

Pembedaan demikian hanya bisa diketahui melalui wahyu. Akal pun tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib. Tidak bisa pula akal mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk itu adalah wajib bagi manusia.

Yang juga patut dicamkan, akal memang dapat mengetahui adanya Tuhan. Namun, yang mewajibkan manusia untuk mengetahui Tuhan serta berterima kasih kepada-Nya hanyalah wahyu. Melalui wahyu pula, akal mendapatkan pengetahuan bahwa orang yang patuh kepada-Nya akan memperoleh ganjaran dan yang tidak taat akan mendapatkan hukuman.

 
Abu Hasan al-Asy’ari pun memilih cara moderat, yakni seimbang antara akal dan wahyu.
 
 

Dengan kata lain, al-Asy’ari menegaskan, wahyu-lah yang pertama-tama menentukan baik dan buruk. Akal tidak mempunyai kuasa dalam hal ini. Kalau wahyu, misalnya, menyatakan bahwa dusta adalah baik, tentulah berdusta merupakan sebuah kebaikan. Contoh lain, jika wahyu melarang kejujuran, sudah pasti berujar jujur menjadi buruk.

Selanjutnya, al-Asy’ari menunjukkan bahwa norma baik-buruk yang ditetapkan oleh akal—bukan wahyu—tidak dapat menjadi tolok ukur. Sebab, sifatnya adalah relatif dan dapat berubah-ubah sesuai dengan lingkungan, pengalaman dan lain-lain.

Apa yang dipandang hari ini oleh akal itu baik, belum tentu baik pula pada hari esok. Sebagai contoh, dalam pandangan akal, membunuh adalah perbuatan buruk. Namun, membunuh boleh menjadi baik dan bahkan wajib, misalnya, saat seseorang terancam nyawanya.

Lebih jauh lagi, pemahaman demikian dipakai untuk menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya. Akal manusia dapat mengetahui Tuhan, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban beribadah dan bersyukur kepada-Nya. Segala kewajiban orang itu sebagai hamba Tuhan hanya bisa diketahui melalui wahyu. Karena itu, demikian al-Asy’ari, sebelum turunnya wahyu tidak ada kewajiban-kewajiban dan tidak ada pula larangan-larangan bagi manusia.

Jika seseorang sebelum turunnya wahyu itu meyakini keberadaan-Nya, ia bisa disebut sebagai mukmin. Namun, orang itu tidak berhak mendapatkan ganjaran dari Tuhan. Kalaupun ia dimasukkan ke dalam surga, itu terjadi atas kemurahan hati Tuhan.

Sebaliknya, jika seseorang sebelum turunnya wahyu itu tidak percaya Tuhan, ia bisa disebut sebagai kafir tetapi tidak mesti mendapatkan hukuman. Kalaupun Tuhan memasukkannya ke dalam neraka, itu tidak merupakan hukuman.

photo
Sejumlah santri mengaji Alquran menggunakan penerangan lilin dan lampu minyak di masjid Pondok Pesantren Baitul Mustofa, Mojosongo, Solo, Jawa Tengah, Selasa (4/5/2021). Dalam memosisikan hubungan akal dan wahyu, Imam al-Asy'ari tidak hanya berpikir moderat.- (Maulana Surya/ANTARA FOTO)

Alhasil, menurut al-Asy’ari, wahyu memiliki kedudukan yang penting. Sekiranya wahyu tidak ada atau tidak diturunkan, manusia akan bebas berbuat sesuai yang dikehendakinya. Akibatnya, mereka bisa terjerumus dalam kekacauan.

Karena itu, salah satu fungsi wahyu ialah memberi tuntunan kepada manusia untuk mengatur kehidupan di dunia. Diutusnya para nabi dan rasul sudah semestinya menjadi suatu keniscayaan, tidak sekadar sesuatu yang boleh terjadi.

Dalam memosisikan hubungan akal dan wahyu, sang alim tidak hanya berpikir moderat. Sikap wasathiyah itu pun ditunjukkannya dalam lisan dan perbuatan. Inilah yang sekali lagi membedakannya dengan kalangan-kalangan ekstrem, semisal Mu’tazilah.

Salah satu wasiatnya ialah jangan mudah memvonis orang atau pihak lain sebagai kafir. Pesan itu disampaikannya kembali menjelang wafatnya pada tahun 323 Hijriyah atau 935 M. Kepada murid-muridnya, sang mujtahid mengingatkan mereka tentang bahaya takfiri. Nasihat tersebut dicatat Syamsuddin adz-Dzahabi dalam kitab Siyar ‘Alam an-Nubala’, seperti dinukil Muhammad Tholhah al-Fayyadl dalam tulisannya, “Biografi Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari: Sang-Penyelamat Umat” (2020).

photo
ILUSTRASI Suasana perpustakaan masjid di Jakarta. Nenurut adz-Dzahabi dalam kitabnya, Imam al-Asy'ari dan Syekh Ibnu Taimiyah sama-sama berpantang dari takfiri - (DOK REP Prayogi)

Diriwayatkan dari Zahir bin Khalid, bahwasannya ia menuturkan, “Ketika telah dekal ajal Abu al-Hasan al-Asy’ari di rumahku di Kota Baghdad, ia memanggilku. Aku pun mendatanginya. Abu al-Hasan al-Asy’ari berwasiat, ‘Aku bersaksi bahwa aku tak pernah mengafirkan satu pun orang dari golongan ahlul qiblah (umat Islam). Sebab, (mereka) seluruhnya menghadap kepada Zat yang disembah, Zat Yang Satu. Dan sesungguhnya perbedaan yang ada merupakan perbedaan dalam penjelasannya saja.’”

Al-Asy’ari kerap dianggap publik berseberangan dengan seorang ulama besar lainnya, Syekh Ibnu Taimiyah. Bagaimanapun, menurut adz-Dzahabi dalam kitab yang sama, keduanya sama-sama berpantang dari takfiri. Mereka tidak mau, tidak akan, dan tidak pernah secara gegabah menjatuhkan vonis kafir terhadap Muslim lain.

“Aku berpendapat bahwa dengan yang semacam inilah aku beragama. Demikian juga guru kami, Ibnu Taimiyah di akhir-akhir hayatnya berkata, ‘Aku tak mengafirkan seorang pun dari umat ini.’

Dia berkata, ‘Nabi Muhammad SAW bersabda, tidaklah menjaga wudhu kecuali seorang Mukmin, maka barangsiapa yang selalu shalat disertai wudhu, maka dia adalah orang Islam,’” tulis adz-Dzahabi.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (republikaonline)

Tujuh Ajaran Pokok

 

Abu Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari lahir di Kota Basrah pada 260 Hijriyah atau 873 Masehi. Putra seorang ulama hadis ini wafat di Baghdad kira-kira 63 tahun kemudian. Sepanjang hayatnya, keturunan sahabat Nabi SAW, Abu Musa al-Asy’ari, tersebut menekuni dunia dakwah dan pendidikan.

Salah satu peran pentingnya ialah sebagai seorang mutakalim besar. Pemikirannya membuka jalan bagi teologi Islam yang moderat, sekaligus menyingkirkan ekstrem-ekstrem dalam diskursus kalam, semisal aliran Mu’tazilah.

Di antara guru-gurunya adalah Imam al-Hafizh Zakariya bin Yahya al-Saji, Abu Khalifah al-Jumahi, Abdurrahman bin Khalaf al-Dhabbi, Sahal bin Nuh al-Bashri, Muhammad bin Ya'qub al-Maqburi, Imam Abu Ishaq al-Marwazi al-Syafi'i, dan Abu Ali Muhammad al-Jubba'i. Nama yang terakhir itu ialah bapak tirinya.

Darinya, Abu Hasan al-Asy’ari mengenal Mu’tazilah dan—sebagaimana disebut beberapa riwayat—sempat mengikuti aliran tersebut. Akan tetapi, saat berusia 40 tahun, dia memperoleh hidayah. Sejak itu, lelaki yang pernah mimpi bertemu Rasulullah SAW tersebut tidak hanya meninggalkan Mu’tazilah, tetapi juga menentangnya dengan dalil-dalil dan argumentasi-argumentasi yang mengena.

Pemikiran teologis yang dicetuskan al-Asy’ari pada gilirannya menjadi dasar dari manhaj Asy’ariyah. Sekurang-kurangnya, terdapat tujuh ajaran pokok dalam hal ini. Semuanya termaktub dalam kitab Al-Luma’ Fi ar-Radd ‘ala Ahl az-Ziyagh wa al-Bida (Bekal dalam Menjawab Orang-orang yang Menyimpang dan Melakukan Bid’ah) dan Al-Ibanah ‘an Ushul ad-Diyanah (Uraian tentang Dasar-dasar Agama).

photo
Al-Asyari yang ahli ilmu kalam ini memiliki pandangan moderat, pantang mengafirkan sesama Muslim. - (Dok Antara/Prasetia Fauzani)

Pertama, sifat Allah SWT. Kedua, kedudukan Alquran. Alquran adalah kalam Allah (firman Allah SWT) dan bukan makhluk. Karena Alquran adalah perkataan Allah SWT, pastilah Alquran bersifat qadim. Pada poin inilah, al-Asy’ari menentang konsep //khalq al-Qur’an// yang digadang-gadang Mu’tazilah, khususnya pada Era Mihnah (zaman persekusi).

Ketiga, persoalan melihat Allah SWT di akhirat. Menurutnya, Allah SWT akan dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala. Sebab, Allah SWT mempunyai wujud.

Keempat, ihwal perbuatan manusia. Perbuatan-perbuatan manusia diciptakan oleh Allah SWT. Walaupun al-Asy’ari mengakui adanya daya dalam diri manusia, daya itu tidak efektif. Kelima, antropomorfisme. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah SWT mempunyai mata, muka, tangan, dan sebagainya, seperti disebut dalam Alquran. Akan tetapi, tidak diketahui bagaimana bentuknya.

Keenam, pembahasan tentang dosa besar. Orang Mukmin yang berdosa besar tetap dianggap Mukmin selama masih beriman kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia hanya digolongkan sebagai orang fasik atau durhaka. Tentang dosa besar, perkara itu diserahkan kepada Allah SWT, apakah dosanya akan diampuni atau tidak.

Ketujuh, keadilan Allah SWT. Allah SWT adalah Zat yang menciptakan seluruh alam semesta. Allah memiliki kehendak mutlak terhadap ciptaan-Nya. Karena itu, Dia dapat berbuat sekehendak-Nya. Ia dapat saja memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, sebaliknya dapat pula memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat