Pakar sosiologi politik dan agama dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dr Zuly Qodir. | DOK UMY

Hiwar

Dr Zuly Qodir, Partai Islam Tinggal Nama?

Zuly Qodir mengatakan, medsos harus diberdayakan untuk hal positif, termasuk menyebarkan syiar Islam.

Di tengah suasana pandemi Covid-19, isu-isu politik ternyata masih mewarnai pemberitaan. Dalam skala nasional, tidak sedikit elite yang bahkan sudah menyebut persiapan “jelang” pemilihan presiden (pilpres) mendatang.

Kata jelang itu memang seyogianya diapit tanda kutip. Sebab, rentang waktu antara kini dan 2024 masih sangat lama.

Menurut pakar sosiologi politik Dr Zuly Qodir, fenomena tersebut otomatis mempengaruhi citra partai-partai politik (parpol) dalam persepsi masyarakat. Selain persoalan itu, akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu juga menyoroti kecenderungan watak feodalistis dari mayoritas parpol.

“Parpol-parpol dan para elitenya itu rata-rata hanya ingin membangun dinastinya sendiri. Kalau dia mendirikan partai, seakan-akan partai itulah milik keluarganya, keturunannya,” kata ilmuwan yang juga aktif di Persyarikatan Muhammadiyah ini.

Padahal, berpolitik pun perlu menunjukkan sifat modern dan religius. Penekanan yang sama ditujukan kepada partai-partai yang selama ini mengaku berasaskan Islam. Sosok kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, tersebut melihat, embel-embel sebagai partai Islam tidak akan cukup untuk menarik simpati umat saat ini.

“Memilih partai tidak hanya melihat pada asasnya, tapi juga kinerja,” ujarnya.

Bagaimana seharusnya parpol Islam menghadirkan dirinya di tengah kaum Muslimin saat ini? Apakah sebutan “partai Islam” masih akan laku? Untuk menjawabnya, berikut adalah wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, dengan peraih gelar doktor dari Universitas Gadjah Mada (UGM) itu. Bincang-bincang dilakukan via sambungan telepon beberapa waktu lalu.

Walau pandemi, isu politik tetap saja “nyaring” dan beberapa elite politik bahkan sudah menyuarakan persiapan pemilihan umum. Bagaimana menurut Anda?

Memang, terkadang syahwat politikus kita itu terlalu tinggi. Mereka lebih suka berbicara tentang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 daripada memikirkan masyarakat yang sedang menghadapi Covid-19. Apalagi, pandemi hingga kini trennya tidak menurun.

Mestinya elite politik kita itu lebih fokus mengurus bagaimana agar vaksinasi lebih merata di seluruh Indonesia, bisa membuat rakyat makan dengan baik, serta tetap bekerja walaupun ada pembatasan-pembatasan. Setelah masyarakat tenang, barulah kalau mau siap-siap pada 2023 untuk kepentingan Pilpres, monggo.

Padahal, ajang Pilpres 2024 masih jauh. Menurut Anda, ada apa dengan elite politik?

Kalau saya membacanya, elite politik kita itu khawatir sekali tidak mendapatkan gerbong politik. Jadinya, mereka berancang-ancang dari sekarang. Sebetulnya, ancang-ancang untuk 2024 itu bagus sebagai hak politik mereka, misalnya, untuk memperkenalkan diri kepada publik. Tapi, tidak perlu terlalu berlebihan.

Maksud saya, silakan saja kalau mereka mau konsolidasi untuk 2024, tapi harus tetap mengutamakan persoalan bangsa ini sekarang, khususnya terkait pandemi Covid-19. Konsolidasinya itu bisa dilakukan secara internal, tidak usah kemudian dipublikasikan. Dengan begitu, masyarakat tidak berpikiran, para elite politik memikirkan rakyat hanya ketika membutuhkan suara.

Bagaimana Anda melihat karakteristik partai-partai politik belakangan ini?

Hampir secara keseluruhan partai-partai politik di Indonesia kini oligarkis. Sudah sangat feodal. Nyaris tidak ada parpol (partai politik) yang mengarahkan untuk berpolitik secara modern. Parpol-parpol dan para elitenya itu rata-rata hanya ingin membangun dinastinya sendiri. Kalau dia mendirikan partai, seakan-akan partai itulah milik keluarganya, keturunannya, atau anak buahnya sendiri. Siapa saja yang tidak cocok akan disikat.

Kita bisa melihat itu di hampir seluruh partai politik. Siapa yang merasa mendirikan, dialah yang merasa menanam saham terbesar. Nah, kalau begini, parpol-parpol tidak akan menjadi modern. Ya, hanya ada satu atau dua partai yang sebetulnya bisa diharapkan untuk tidak menjadi “partai keluarga.”

Dalam situasi tersebut, apa kabar parpol-parpol Islam?

Partai-partai Islam tampaknya berkecenderungan mengikuti suara mayoritas. Sebab, parpol-parpol yang disebut nasionalis-religius itu oligarki dan feodal. Nah, maka partai-partai Islam pun memperlakukan dirinya seperti itu.

Artinya, parpol Islam mengalami semacam “krisis identitas”?

Saya agak sulit membedakan mana kultur khas partai Islam dan mana kultur khas partai nasional-religius. Sebab, di Indonesia keduanya sama saja berlakunya. Sama-sama mengejar kekuasan dan ingin bergelimang di dalam kekuasaan itu. Jadi, sulit membedakan karakter khas dari keduanya.

Kalau belakangan, kecenderungannya antara dua komposisi partai ini (parpol nasionalis-religius dan parpol Islam –Red) mau bersatu. Kemudian, mengooptasi apa yang dia dinginkan. Yaitu sebanyak mungkin mendapatkan keuntungan secara materiil dan dalam meraih kekuasaan.

Jadi, sulit menyatakan secara tegas mana yang partai Islam dan mana yang, sebut saja, partai non-Islam. Itu mungkin kecuali dalam hal asas. Partai yang berasaskan Islam sekarang itu, yang saya tahu, hanya PPP dan PKS. Sedangkan PAN dan PKB sudah tidak lagi. Lalu, apakah kita akan mengatakan PAN dan PKB bukan partai orang Islam?

Kalau menurut saya, tetap mereka partai Islam. Bahkan, Golkar pun partainya orang Islam. Sebab, pemilih terbesar di Indonesia adalah memang orang Islam. Mereka (parpol-parpol) pun menggunakan nama Pancasila-religius dan berdasarkan pada nilai-nilai keislaman. Semua partai mengatakan begitu karena pemilihnya paling banyak umat Islam.

Apakah itu berarti suara umat Islam kian terpecah?

Kalau mau dibilang terpecah, sebenarnya dari dulu juga seperti itu. Kalau dulu (zaman Orde Baru), peserta pemilu //kan// hanya ada tiga. Memang, partai yang berhaluan Islam hanya PPP. Kemudian, orang Islam yang memiliki insting pada gerakan politik Islam, secara jelas masuk PPP. Ada juga orang Islam yang sama memiliki insting politik, tetapi masuk ke Golkar. Sedikit memang yang ke PDI.

Nah, pasca-Reformasi, muncul banyak partai Islam. Itu salah satu risiko politik. Karena partainya banyak, orang yang Nahdliyin cenderung ke PKB. Sebagian lagi yang Muslim ke PPP. Yang agak Masyumi, ke PAN. Sebagian lagi dulu itu ke PBB.

Sekarang bagaimana kalau dipikirkan, apakah kalau partai Islam hanya satu, maka umat akan menjadi satu? Tidak juga. Pada eranya Soeharto, ada satu partai, tetapi PPP kalah terus.

Kondisinya tidak berbeda dengan sekarang?

Saya menduga, kalau nanti menggunakan (sebutan) partai Islam atau partai berasas Islam, itu suaranya sedikit. Sudah terbukti. PKS itu sejak berdirinya sampai sekarang paling banter suaranya hanya kira-kira delapan persen. Kalau begitu, apakah bisa disebut fenomena ini sebagai kegagalan partai Islam?

Bisa jadi. Namun, ini sekaligus merupakan kemenangan umat Islam. Artinya, umat di Indonesia memilih partai tidak hanya melihat pada asasnya, tapi juga kinerja yang dilakukan, yaitu kerja yang sesuai dengan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan.

Sampai sekarang, banyak elite politik tersangkut kasus korupsi. Tidak ada bedanya antara partai yang berasaskan Islam maupun yang tidak. Sebab, mereka sebetulnya tidak bekerja di atas nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan.

Pilpres 2019 sudah lewat, tetapi rivalitas sepertinya tidak ikut berlalu di masyarakat?

Itu memang kayak dipelihara dan selalu dimunculkan. Saya percaya, dalam perkembangannya, minimal pada tahun 2024 isu keagamaan akan tetap dipakai walaupun tidak akan begitu laku. Buktinya, perlahan-lahan “cebong dan kampret” juga sudah tidak begitu laku kecuali dalam kelompok-kelompok yang kecil.

Nanti (Pilpres 2024), masyarakat pemilih itu semakin lama akan kian cerdas bahwa (rivalitas) itu hanya untuk kepentingan elite. Masyarakat lama-lama menilai bahwa ini cuma komodifikasi, jualannya para elite politik; jualannya mereka yang ada di parpol-parpol untuk mendulang dukungan.

Elite politik yang masih menjaga “kubu-kubuan” semu itu akan bagaimana?

Jika ada kelompok yang suka memperuncing perbedaan, seperti “cebong versus kampret” itu, maka partainya akan mengalami kekalahan yang fatal. Kalau saya merasanya begitu. Tapi ya (memperuncing perbedaan) itu akan tetap digunakan untuk membangkitkan emosi di kalangan pendukungnya.

Barangkali “kubu-kubuan” itu akan tetap laku di jagat media sosial (medsos), terlebih dengan fenomena pendengung (buzzer)?

Buzzer politik inilah yang seringkali mempengaruhi publik. Nah, ini sekali lagi akan semakin mencerdaskan masyarakat bahwa ada banyak orang yang dibayar dan kerjanya memang sesuai dengan pesanan. Jadi, mereka bermedsos dengan membawa narasi-narasi yang telah diarahkan.

Fenomena ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di luar negeri pun, para buzzer juga banyak sekali dan dikerahkan. Misalnya, yang mendukung Donald Trump kemarin. Itu juga akan selalu mengampanyekan yang baik-baik dari Trump. Begitu juga apa yang dilakukan buzzer lawan politiknya, Joe Biden. Bahkan, buzzer di Indonesia ini belajarnya kepada mereka, kepada Amerika, Inggris, Jerman, Prancis dan lain-lain. Karena ini memang fenomena global.

Seberapa besar pengaruh medsos dalam pendidikan politik, menurut Anda?

Sekarang ini, medsos tidak bisa dielakkan memiliki pengaruh. Namun, sebetulnya itu hanya mempengaruhi mereka yang tidak begitu cerdas dalam bermedia sosial. Misalnya, mereka yang gampang sekali mendapatkan informasi yang sifatnya hoaks, palsu, dan tidak jelas.

Perlahan-lahan, masyarakat sekali lagi akan semakin cerdas bahwa media sosial itu oleh sebagian kelompok hanya digunakan sebagai ajang meraup keuntungan sebanyak mungkin. Katakanlah, kubu “cebong”, dia pasti bagikan berita-berita yang tidak baik tentang “kampret.” Begitupun sebaliknya. Nah, masyarakat yang tidak ada di keduanya—atau bahkan dalam kedua kubu ini—lama-lama akan bosan juga. Mereka akan paham bahwa ada isu yang sengaja dibesar-besarkan.

Jangan lupa bahwa sekitar 34 juta orang adalah para pemilih muda. Mereka sangat canggih menggunakan media siosial. Karena itu, yang terpengaruh di medsos justru yang tua-tua, mereka yang tidak begitu canggih bermedia sosial.

Adakah harapan bahwa politik dan kekuasaan bisa menjadi alat—bukan tujuan—untuk mewujudkan baldatun thayyibatun warabbun ghafur?

Elite politik kita harus mempunyai etika kemanusiaan dan kebangsaan. Kemanusiaan berarti menunjukkan sopan santun, kesederhanaan, dan kejujuran. Adapun etika kebangsaan, ya saling menjaga silaturahim, tidak saling membenci.

photo
Zuly Qodir mengatakan, medsos harus diberdayakan untuk hal positif, termasuk menyebarkan syiar Islam. - (Dok UMY)

Hikmah di Masa Pandemi, Dakwah via Medsos

Zaman terus berubah. Maka dari itu, kemampuan beradaptasi akan menentukan tangguh tidaknya seseorang atau sebuah lembaga dalam menghadapi tantangan. Menurut akademisi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Dr Zuly Qodir, tantangan besar pada masa sekarang ialah kecanggihan teknologi komunikasi. Terutama, kecepatan dan melimpahnya informasi di media sosial (medsos).

Medsos bak pisau bermata dua yang siap menghunus penggunanya. Di satu sisi, kegunaannya sangat besar. Akan tetapi, mudaratnya pun tidak sedikit. Dan, saat ini gawai (gadget) sudah menjadi kebutuhan. Apalagi dengan timbulnya pandemi, pengurangan aktivitas fisik di luar rumah (outdoor) cenderung membuat orang lebih akrab dengan gawainya.

Zuly mengatakan, medsos seyogianya diberdayakan dengan sebaik mungkin untuk hal-hal yang positif, termasuk misalnya menyebarkan syiar Islam. Dakwah pada masa kini tidak cukup dan tidak mungkin hanya mengandalkan tatap muka.

Apalagi, pilihan media untuk menjadi sarana menyebarkan kebaikan makin beragam. Dari yang tidak berbayar alias gratis, seperti Instagram, Twitter, Facebook, dan Youtube, hingga yang berbayar lewat Zoom, Google Meet atau platform konferensi video lainnya. Masing-masing platform pun memiliki konsumennya sendiri.

 
Hemat saya, perlu menggalakkan dakwah lewat media sosial. Kontennya yang ringan-ringan dan pendek-pendek, itu bisa jadi pilihan
 
 

“Hemat saya, perlu menggalakkan dakwah lewat media sosial. Kontennya yang ringan-ringan dan pendek-pendek, itu bisa jadi pilihan,” ujar pria kelahiran Banjarnegara, 22 Juli 1971, itu saat dihubungi Republika baru-baru ini.

Sebagai sebuah organisasi masyarakat (ormas) Islam yang besar dan kaya akan pengalaman, Muhammadiyah tentunya mampu memanfaatkan medsos untuk kepentingan dakwah. Namun, Zuly memandang, persyarikatan ini masih harus meningkatkan daya jangkaunya di dunia maya agar lebih banyak lagi audiens yang tertarik.

Zuly sendiri banyak menuangkan gagasannya dengan aktif di Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Sering ia jumpai, percakapan di pelbagai platform medsos justru diwarnai sebaran hoaks.

“Pandemi ini ada hikmahnya juga untuk bagaimana memperkuat dakwah lewat media sosial. Jadi bukan hanya yang hoaks-hoaks,” katanya.

Selain melakukan dakwah secara lisan di media sosial, tambah dia, Muhammadiyah juga perlu menggalakkan dakwah lewat tulisan, baik melalui media massa maupun media sosial.

“Dengan menulis bisa menyebarkan gagasan yang baik, sehingga masyarakat makin cerdas. Ini menurut saya juga harus menjadi bagian gerakan dakwah Muhammadiyah,” ucapnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat