Sejumlah santri bertadarus (membaca Alquran) saat mengikuti Pesantren Kilat di Rumah Quran Al-Fatih, Jatibening, Jawa Barat, Rabu (21/4/2021). Di buku karya Syekh Manna al-Qaththan dipaparkan ilmu-ilmu Alquran secara komprehensif. | Prayogi/Republika.

Kitab

Menyelami Ilmu Alquran

Buku karya Syekh Manna al-Qaththan ini memaparkan ilmu-ilmu Alquran secara komprehensif.

OLEH HASANUL RIZQA

Alquran merupakan petunjuk untuk seluruh manusia. Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW ini adalah sumber ilmu dan hukum. Karena itu, mengetahui dan memahaminya adalah suatu keniscayaan.

Dalam khazanah keilmuan Islam, disiplin yang secara khusus membahas tentang Alquran dinamakan sebagai ‘Ulumul Qur’an. Cabang ilmu ini menguraikan secara perinci tentang berbagai hal yang berhubungan dengan kandungan dan pemaknaan atas Alquran. Sebagai contoh, metode dan bentuk penafsiran Alquran atau penjelasan hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya.

Untuk kalangan pemula, buku karangan Syekh Manna al-Qaththan ini sangat pas dibaca demi memahami seluk beluk ‘Ulumul Qur’an. Fii ‘Ulum al-Qur’an, demikian judulnya, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. Buku terjemahan itu diterbitkan oleh Pustakan al-Kautsar dan telah naik cetak belasan kali hingga kini.

Secara keseluruhan, buku yang ditulis oleh dosen dan pembimbing Studi Pascasarjana, Universitas Imam Muhammad bin Su'ud al-Islamiyah ini terdiri atas 26 bab. Bagian pembukaannya membahas definisi ilmu Alquran, pertumbuhan dan perkembangannya.

Bab ini juga memaparkan pengertian tentang wahyu, Alquran, serta surah-surah Makkiyah dan Madaniyah. Syekh al-Qaththan pun menambahkan tentang aspek-aspek kesejarahan dari turunnya Alquran, semisal sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) serta pengetahuan mengenai ayat yang pertama dan terakhir turun.

Bab-bab berikutnya mengupas tentang turunnya Alquran; pengumpulan Alquran dan pengurutannya; turunnya Alquran dengan tujuh huruf; qiraat dan qurra; kaidah-kaidah yang dbutuhkan seorang mufasir; perbedaan antara al-muhkam dan al-mustasyabih; dan lafazhal-'am (umum) dan al-khash (khusus).

Setelah itu, Syekh al-Qaththan lebih jauh membahas tentang nasikh dan mansukh; mutlaq (bebas) dan muqayyad (terikat); al-manthuq (pengucapan) dan al-mafhum (pemahaman); serta kemukjizatan Alquran. Ia juga menguraikan beberapa penggunaan bahasa dalam Alquran, seperti amtsal (perumpamaan), qasam (sumpah), dan jadal (debat). Tak ketinggalan, isi Kitabullah ini yang kaya akan kisah-kisah pun turut diperbincangkan.

Adapun lima bab terakhir buku ini membicarakan tentang upaya-upaya terjemah Alquran, tafsir dan takwil. Sang syekh menjabarkan apa saja syarat seseorang bisa disebut sebagai mufasir. Selain menuturkan biografi sejumlah ahli tafsir kenamaan, dirinya juga menyajikan sejarah asal mula ilmu tafsir dan perkembangannya pada abad ini.

Buku ini sangat penting dibaca oleh kaum Muslimin. Seperti ditegaskan oleh penulis, buku ini pertama diterbitkan dalam rangka memenuhi keinginan kaum Muslimin untuk mengetengahkan pembahasan ringkas pentingnya studi ilmu-ilmu Alquran. Sehingga, para pemuda Muslim yang tidak berkesempatan memperdalam studi Islam, dapat dengan mudah mendapatkan pengetahuan yang wajib diketahui dan mencukupkannya dari membaca banyak referensi dalam ilmu ini, termasuk juga dalam memahami berbagai metodenya.

photo
Umat Muslim membaca Alquran saat beriktikaf pada sepuluh malam terakhir Ramadhan 1442 H di Masjid Pusdai, Kota Bandung, Senin (3/5/2021) dini hari. Pada 10 hari menjelang berakhirnya bulan Ramadhan, umat Islam melakukan iktikaf untuk meraih malam kemuliaan (Lailatul Qadar) dengan membaca Alquran, Shalat Tahajud (malam) dan berzikir. Foto: Republika/Abdan Syakura - (REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA)

Ihwal turunnya ayat

Dalam satu bagian dari buku Fii ‘Ulum al-Qur’an, Syekh Manna al-Qaththan menunjukkan bahwa asbabun nuzul tidak sekadar mengenai sebab-sebab turunnya ayat. Sebab, ada kalanya satu sebab saja menjadi pendahulu dari turunnya lebih dari satu ayat.

Demikian pula, ada ayat yang lebih dahulu turun daripada hukum syariat tentangnya. Dan, terdapat pula ayat yang turun lantaran orang tertentu, bukan hanya peristiwa.

Contoh untuk kasus pertama ialah perkataan Ummu Salamah, seorang istri Nabi SAW. Suatu hari, sang ummul mu'minin bertanya kepada suaminya, “Wahai Rasulullah, mengapa kami (kaum perempuan) tidak disebutkan dalam Alquran seperti halnya kaum laki-laki?”

Maka sesudah itu, turunlah surah al-Ahzab ayat 35, yang artinya, “Sungguh, laki-laki dan perempuan Muslim, laki-laki dan perempuan Mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, ….”

Turun pula ayat-ayat lain seiring dengan pertanyaan Ummu Salamah kepada Rasulullah SAW. Di antaranya adalah an-Nisa ayat 32, yang berarti, “Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan.”

Kemudian, surah Ali Imran ayat 195, artinya, “Sesungguhnya Aku (Allah) tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain. Maka orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka.”

Sementara itu, ayat-ayat Alquran yang turun mendahului hukumnya, menurut Syekh al-Qaththan, cenderung menggunakan lafaz umum (mujmal). Hal ini merujuk pada kajian yang dilakukan az-Zarkasyi, seperti termuat dalam kitab Al-Burhan. Turunnya surah al-A’la ayat 14 dijadikannya sebagai sebuah contoh.

Ayat itu berarti, “Sesungguhnya, beruntunglah orang yang membersihkan diri.” Az-Zarkasyi mengatakan, ayat tersebut dipandang sebagai dalil untuk zakat fitrah. Untuk diketahui, al-A’la termasuk golongan surat Makkiyah. Dengan demikian, firman Allah Ta’ala ini turun sebelum kewajiban zakat disyariatkan kepada umat Nabi SAW, yang ketika itu belum hijrah ke Madinah.

Contoh lainnya ialah surah al-Qamar ayat 45, yang artinya, “Golongan itu pasti akan dikalahkan dan akan mundur ke belakang.” Sama seperti al-A’la, ayat tersebut masuk kelompok Makkiyah. Untuk menjelaskannya, pakar tafsir mengutip kesaksian Umar bin Khattab dalam Perang Badar.

“Aku tidak mengerti golongan mana yang akan dikalahkan itu. Namun, ketika terjadi pertempuran Badar, aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Golongan itu pasti akan dikalahkan dan akan mundur ke belakang'.” Benar saja, dalam perang yang terjadi tahun kedua Hijriyah itu, kaum musyrikin menderita kekalahan besar.

Soal Terjemah

Pada bab lainnya, Syekh al-Qaththan menerangkan tentang hukum terjemahan atau menerjemahkan Alquran. Seperti diketahui, Kitabullah tersebut turun dengan bahasa Arab. Rasulullah SAW sendiri adalah seorang Arab. Dan, yang pertama-tama menerima dakwah beliau adalah bangsa Arab walaupun pada hakikatnya risalah Islam diperuntukkan bagi semua umat manusia.

Menurut sang penulis, kata terjemah dapat digunakan dalam dua arti, yakni harfiah dan tafsiriyah. Terjemah harfiah berarti mengalihkan lafaz-lafaz dari satu bahasa ke dalam lafaz-lafaz serupa dalam bahasa lain.

Hal itu dilakukan sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. Adapun terjemahan tafsiriyah atau maknawi ialah menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.

Lebih lanjut, sang syekh menegaskan, kondisi Alquran berada pada puncak bahasa Arab, baik dalam hal kejelasan (fashahah) maupun keelokan susunannya (balaghah). Kitab suci ini memiliki susunan dan makna-makna yang unik sehingga tidak dapat dibandingkan dengan tulisan atau bacaan apa pun dan mana pun juga.

Di antara segi kemukjizatan Alquran ialah susunan redaksinya yang begitu indah, lain daripada yang lain. Tidak mengherankan bila begitu besar pengaruhnya terhadap perkembangan bahasa Arab.

 
Di antara segi kemukjizatan Alquran ialah susunan redaksinya yang begitu indah, lain daripada yang lain.
 
 

Atas dasar itu, Syekh al-Qaththan mengingatkan pembaca tentang haramnya menerjemahkan Alquran secara harfiah. Sebab, Alquran adalah mukjizat dengan lafaz dan maknanya. Membacanya pun dinilai sebagai suatu ibadah. Allah tidak berfirman kecuali dengan Alquran yang kita baca dalam bahasa Arab.

Maka, walaupun seorang penerjemah sudah ahli dalam bidang penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa sasaran, penerjemahan Alquran secara harfiah dipandang telah mengeluarkan Alquran dari keadaannya sebagai Kalamullah.

Mengenai penerjemahan Alquran secara maknawi, ada berbagai pendapat dari para ulama. Sebagian ulama membatasi kebolehan penerjemahan seperti itu sesuai dengan kadar yang dibutuhkan dalam menyampaikan dakwah. Syekh al-Qaththan sendiri memberikan batasan, yakni dakwah yang berkenaan dengan tauhid dan rukun-rukun ibadah saja. Bagi yang tertarik memahami makna Alquran, mereka dianjurkan untuk pertama-tama menguasai bahasa Arab.

Begitu luasnya cakupan dalam disiplin ‘Ulumul Qur’an. Fii ‘Ulum al-Qur’an dapat menjadi referensi yang bagus untuk para pemula, termasuk kalangan santri atau mahasiswa studi Islam, yang ingin mendalami bidang tersebut. Melalui buku setebal 486 halaman ini, pembaca dapat menyerap gambaran tentang pokok-pokok pembahasan mengenai ilmu-ilmu Alquran.

photo
Melalui buku ini, Syekh Manna al-Qaththan mengajak pembaca untuk lebih dalam menyelami ilmu Alquran. - (DOK PRI)

DATA BUKU

Judul: Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an (terjemahan atas Fii ‘Ulum al-Qur’an)

Penulis: Syekh Manna al-Qaththan

Penerjemah: H Aunur Rafiq el-Mazni

Penerbit: Pustaka al-Kautsar

Tebal: xix + 486 halaman

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat