Inilah mengapa Mu’tazilah bertolak belakang dengan paham kaum Jabariyah atau penganut fatalisme. | Pxhere

Tema Utama

Doktrin dan Ajaran Mu’tazilah

Dalam peradaban Islam, kaum Mu’tazilah pernah memaksakan pendapat bahwa Alquran adalah makhluk.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Salah seorang ulama besar dari generasi tabiin adalah Hasan al-Bashri (642-748 M). Ayahnya pernah bekerja sebagai pembantu Zaid bin Tsabit, seorang sahabat yang juga dikenal sebagai juru tulis Nabi Muhammad SAW.

Adapun ibundanya memiliki riwayat sebagai hamba sahaya milik Ummu Salamah, seorang ummahat al-mu'minin. Bahkan, saat masih bayi Hasan sempat disusui oleh istri Rasulullah SAW itu.

Walaupun kedua orang tuanya adalah mantan budak, lelaki kelahiran Kota Madinah al-Munawarrah itu tumbuh besar di tengah kasih sayang para keluarga dan sahabat Nabi SAW. Hasan sejak kecil sangat senang mendengarkan kajian-kajian keilmuan di Masjid Nabawi. Pernah suatu ketika, Umar bin Khattab mengelus kepalanya dan mendoakannya agar kelak menjadi seorang yang fakih dalam urusan agama.

Saat berusia 14 tahun, Hasan pindah ke Kota Basrah, Irak. Di sinilah, dia kemudian menetap dan mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada kaum Muslimin hingga akhir hayatnya. Gelar al-Bashri di belakang namanya mengacu pada kota tersebut.

Sebagai seorang alim, Hasan al-Bashri sangat memahami kecenderungan zaman saat itu. Pada abad pertama Hijriyah, masalah dosa besar dan status keimanan atau kekufuran pembuat dosa besar hangat diperbincangkan oleh umat Islam, khususnya generasi muda dan terpelajar. Hal itu mencuat terutama sejak kemunculan kelompok Khawarij, yang lalu direspons oleh kaum Murji’ah.

 
Sebagai seorang alim, Hasan al-Bashri sangat memahami kecenderungan zaman saat itu.
 
 

Suatu hari, sang syekh sedang menjadi pembicara dalam majelis keilmuan di Masjid Basrah. Salah seorang hadirin bertanya kepadanya tentang bagaimana kedudukan orang yang telah berbuat dosa besar (murtakib al-kabair). Kalau menurut Khawarij, seorang murtakib al-kabair dinilai telah kafir. Sebaliknya, kaum Murji’ah menilainya tetap beriman atau mukmin.

Saat Hasan sedang berpikir untuk menjawab pertanyaan tersebut, tiba-tiba seseorang berseru lantang. Dialah Washil bin ‘Atha’ (699-748 M). Orang itu menyatakan tidak setuju dengan pendapat Khawarij maupun Murji’ah. Menurutnya, seorang murtakib al-kabair bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada di antara posisi keduanya (al-manzilah baina al-manzilataini) baik di dunia maupun akhirat kelak.

Washil meyakini, orang berdosa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi karena telah menyimpang dari ajaran Islam, tapi belum bisa pula digolongkan sebagai kafir lantaran masih memercayai Allah SWT dan Rasul-Nya. Ia menyebutnya sebagai kaum fasik.

photo
Basrah Titik Timbul Mu’tazilah - (AP)

Jika meninggal dalam keadaan belum bertobat, seorang fasik akan dicampakkan ke dalam neraka dan kekal di dalamnya. Namun, siksaan yang diberikan untuknya lebih ringan dibandingkan dengan yang dialami orang kafir di neraka.

Karena tidak setuju dengan pendapat Hasan al-Bashri, Washil berdiri dan meninggalkan majelis tersebut. Bahkan, lelaki itu kemudian membentuk majelis pengajian sendiri.

Merespons peristiwa tersebut, Hasan kemudian berkata, “Washil telah mengasingkan diri dari kami” (i’tazala ‘anna). Washil dan para pengikutnya kemudian disebut sebagai Mu’tazilah, yang namanya secara kebahasaan berakar dari kata i’tazala.

Prof Harun Nasution dalam Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran (1995) mengatakan, ada riwayat lain tentang asal mula nama Mu’tazilah. Menurut riwayat ini, nama aliran tersebut tidak berasal dari ucapan Syekh Hasan al-Bashri, melainkan kata i’tazala yang kerap dipakai sebagai sebutan untuk orang-orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik pada zaman khalifah Utsman bin Affan hingga Ali bin Abi Thalib. Di antara mereka ialah Abu Husain, yang dengannya Washil bin ‘Atha’ banyak berinteraksi.

 
Washil diriwayatkan banyak penulis sebagai sosok yang unik. Ia dikenal sebagai seorang yang cadel.
 
 

Washil diriwayatkan banyak penulis sebagai sosok yang unik. Ia dikenal sebagai seorang yang cadel lantaran lidahnya tidak lancar mengucapkan huruf ra (“r”). Akan tetapi, ketidakmampuannya itu diubahnya menjadi kelihaian berbahasa.

Dalam arti, ia mampu menyingkirkan huruf ra dari seluruh kata yang diucapkannya. Sebagai contoh, bila hendak mengatakan ‘kebaikan’ (al-birr), maka ia mengucapkan kata al-qamhu dalam bahasa Arab-Kufah yang juga sama artinya.

Contoh lainnya, kalau ingin mengatakan ‘menggali’ (al-hafr), maka diucapkannya kata an-nabsy. Bahkan, dikisahkan bahwa lelaki ini pernah menyampaikan khutbah panjang tanpa sekalipun menggunakan kata yang ada huruf ra.

Menurut Harun, para pengikut Washil lebih suka menyebut diri sebagai Ahl at-Tauhid wa Ahl al-‘Adl. Bagaimanapun, mereka tidak menolak nama Mu’tazilah. Seorang pemuka Mu’tazilah al-Qadhi Abdul Jabbar, sebutan mu’tazilah merupakan pujian karena mereka dianggap mengasingkan diri (i’tazala) dari yang salah dan tidak benar. Bahkan, seorang tokoh Mu’tazilah lainnya, Ibnu al-Murtadha, mengeklaim orang-orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu.

photo
Dalam peradaban Islam, kaum Mu’tazilah pernah memaksakan pendapat bahwa Alquran adalah makhluk. - (Pxhere)

Prinsip-prinsip

Kaum Mu’tazilah menamakan diri sebagai Ahl at-Tauhid wa Ahl al-‘Adl karena dua inti ajaran Washil bin ‘Atha’. Pertama, Washil mengajarkan tentang peniadaan sifat-sifat Allah. Bagi mereka, sifat-sifat Mahamengetahui, Mahapengasih, Mahapenyayang, dan sebagainya—yang dapat diketahui manusia dari 99 Asmaul Husna—bukanlah sifat Allah, tetapi aspek dari Zat Allah.

Bagi mereka, bahwa Allah mengetahui bukan dari sifat pengetahuan, tetapi melalui Zat-Nya. Dalam kata-kata al-Huzhail, seorang pemuka Mu’tazilah, “Tuhan Mahamengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan Allah adalah Zat-Nya.” Demikian seterusnya. Allah Mahakuasa dengan kekuasaan dan kekuasaan Allah adalah Zat-Nya; Allah Mahapengasih dengan kasih dan kasih Allah adalah Zat-Nya.

Menurut Harun, yang dituju kaum Mu’tazilah dengan peniadaan sifat-sifat Allah ialah pengesaan diri Allah. Mereka memberi gambaran esa kepada diri Allah, diri yang tidak disusun dari lapisan-lapisan sifat, tetapi dari suatu zat yang mempunyai berbagai aspek. Karena itulah, mereka merasa absah mengeklaim sebagai ahl at-Tauhid.

Adapun atribut Allah yang dijunjung kaum Mu’tazilah ialah kemaha-adilan-Nya. Allah, menurut mereka, bersikap adil dan bijaksana sehingga tidak dapat berbuat zalim. Paham kemaha-adilan Allah menghendaki agar manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan melalui daya yang diciptakan Allah dalam dirinya.

Dengan demikian, konsekuensinya adalah bahwa manusia bertanggung jawab penuh atas segala tindakannya. Jika mereka ingkar dan berbuat dosa, ancamannya adalah neraka. Bila mereka beriman dan berbuat baik, surga ganjarannya.

 
Inilah mengapa Mu’tazilah bertolak belakang dengan paham kaum Jabariyah atau penganut fatalisme.
 
 

Inilah mengapa Mu’tazilah bertolak belakang dengan paham kaum Jabariyah atau penganut fatalisme. Karena manusia sendiri yang berbuat jahat atas daya dan kehendaknya sendiri, maka paham kemahaadilan Allah dapat dipertahankan.

Dalam pandangan aliran ini, meskipun Allah sanggup memasukkan orang berdosa besar ke dalam surga dan menjerumuskan orang mukmin ke dalam neraka, Dia mustahil melakukan itu karena bertentangan dengan keadilan-Nya. Allah berjanji memberikan ganjaran kepada orang yang taat dan mengancam untuk menyiksa orang-orang yang durhaka. Allah wajib menepati janji-Nya.

Kaum Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat Allah selain Maha Esa dan Maha Adil. Dalam pandangan mereka, kalau Allah dikatakan mempunyai banyak sifat (selain Maha Esa dan Maha Adil), maka dalam diri Allah terdapat unsur yang banyak; yaitu unsur zat yang disifati dan unsur-unsur sifat yang melekat pada zat. Ambil contoh, kalau Allah dikatakan memiliki 20 sifat, maka—menurut Mu’tazilah—Allah akan “terdiri atas 21 unsur.” Kalau 40, maka 41 unsur. Kalau 99, maka 100 unsur; dan seterusnya. Padahal, lanjutnya, Allah Maha Esa. Zat Yang Maha Esa itu bersifat Maha Adil.

 
Masa yang penuh kekacauan itu dikenal sebagai Era Mihnah.
 
 

Konsekuensi dari argumen-argumen Mu’tazilah itu bermuara pada beberapa keyakinan. Mereka meyakini, Allah tidak bisa dilihat dengan mata kepala ketika manusia sudah berada di surga-Nya kelak. Sebab, menurutnya, Allah tidak bisa dipersamakan dengan makhluk-Nya, yakni sifat “bisa dilihat.” Menurut kaum Mu’tazilah, ayat-ayat tajasum dalam Alquran yakni ayat-ayat yang seolah menggambarkan Allah mempunyai bentuk fisik harus ditakwilkan sedemikian rupa.

Prinsip lainnya yang digaungkan mereka ialah Al-Amr bi al-ma'ruf wa an-nahy'an al-munkar. Setiap Muslim, menurut Muktazilah, wajib melakukan perbuatan yang makruf serta menjauhi perbuatan yang mungkar.

Berpegang pada hal itu, sejarah mencatat, kelompok tersebut justru kemudian jatuh pada ekstremisme—yang pelaksanaannya banyak didukung penguasa-penguasa zalim.

Di suatu rentang periode dalam peradaban Islam, kaum Mu’tazilah pernah memaksakan pendapat bahwa Alquran adalah makhluk. Siapa pun yang menentang pendapat itu, lantas dihukum raja yang pro-Mu’tazilah. Masa yang penuh kekacauan itu dikenal sebagai Era Mihnah (zaman persekusi).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat