ILUSTRASI Pajak dapat menjadi bentuk kezaliman bila tidak dilaksanakan sesuai syariat. | DOK PXHERE

Kisah

Imam Nawawi Tolak Pajak yang Zalim

Baibars lalu meminta kepada Imam Nawawi untuk menandatangani naskah fatwa tentang pajak.

OLEH HASANUL RIZQA

Nama lengkapnya adalah Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf an-Nawawi ad-Dimasyqi. Pakar fikih mazhab Syafii tersebut lebih dikenal dengan sebutan Imam Nawawi.

Ia lahir di Desa Nawa, dekat Kota Damaskus, Suriah, pada tahun 631 Hijriyah. Karena itu, gelarnya adalah an-Nawawi, sesuai dengan kampung halamannya. Pada 24 Rajab 676 H, mubaligh yang tidak menikah hingga akhir hayatnya itu meninggal dunia dalam usia 45 tahun.

Tidak hanya keilmuannya yang mumpuni, dirinya pun dikenang lantaran keberaniannya dalam bersikap. Baginya, batas antara kebenaran dan kebatilan begitu jelas. Tidak ada kompromi di antara keduanya.

Bahkan, tangan besi kekuasaan tidak menggentarkannya sedikit pun. Sebab, yang ditakuti dan ditaatinya hanyalah Allah SWT. Kisah berikut ini menggambarkan keteguhannya dalam memberikan fatwa yang berdasarkan keilmuan walaupun keputusannya tersebut tidak disukai pemerintah.

 
Baginya, batas antara kebenaran dan kebatilan begitu jelas. Tidak ada kompromi di antara keduanya.
 
 

Pada masa itu, Dinasti Mamluk yang berpusat di Mesir menjadi satu-satunya kekuatan Islam yang belum dipukul mundur balatentara Mongol. Sementara, Dinasti Ayyubiyah di Syam kian melemah seiring dengan adanya intrik politik di jajaran elitenya. Seorang jenderal Ayyubiyah kemudian membelot ke Mamluk. Dialah Ruqnuddin Baibars al-Bunduqdari.

Sultan Saifuddin Quthuz di Kairo menyambut baik bergabungnya Ruqnuddin Baibars ke dalam barisannya. Sebab, keandalan panglima tersebut tidak usah diragukan lagi dalam mengonsolidasi pengaruh di seluruh Syam. Tak menunggu waktu lama, daerah di sisi timur Mediterania itu jatuh ke tangan Mamluk. Baibars diangkat menjadi gubernur jenderal.

Bagaimanapun, Sultan Quthuz masih mencemaskan ancaman Mongol yang hendak menyerbu Syam. Raja Mamluk itu menugaskan Baibars untuk menyusun kekuatan militer di kawasan setempat agar siap menghadapi bangsa asing tersebut. Saat sedang menyiapkan strategi dan pasukannya, bekas jenderal Ayyubiyah ini menemukan masalah pelik.

Syam bertahun-tahun dipimpin para sultan Ayyubiyah yang terpecah-belah. Perpecahan di tataran elite politik ini sampai merambat ke ranah luar sipil. Alhasil, banyak petinggi militer yang hanya sibuk melindungi kepentingan kliennya, alih-alih mengurus pertahanan dalam negeri.

 
Syam bertahun-tahun dipimpin para sultan Ayyubiyah yang terpecah-belah. Perpecahan di tataran elite politik ini sampai merambat ke ranah luar sipil.
 
 

Maka begitu Syam dikuasai Mamluk, Baibars harus membangun konsolidasi militer dari nol. Setelah banyak petinggi militer setempat memihak pada Mamluk, tantangan berikutnya ialah pada sisi modal. Banyak peralatan perang yang rusak atau hilang akibat lama terabaikan.

Dari Sultan Quthuz, datang perintah untuk menerapkan pajak atas rakyat demi membiayai kebutuhan jihad. Kebijakan itu pernah diambil di Mesir, negeri pusat kekuasaan Mamluk.

Saat itu, sang sultan sendiri mengumumkan bahwa seluruh pejabat, mulai dari struktur terendah hingga elite, wajib menyerahkan sebagian besar hartanya ke Baitul Mal. Efeknya, jumlah dana yang dapat dihimpun untuk keperluan perang melonjak pesat.

 
Dari Sultan Quthuz, datang perintah untuk menerapkan pajak atas rakyat demi membiayai kebutuhan jihad.
 
 

Keadaannya agak berbeda di Syam. Baibars mendapatkan penolakan dari Imam Nawawi mengenai aturan pajak tersebut. Mulanya, sang gubernur jenderal hanya mendengar desas-desus tentang keengganan kaum ulama untuk menerbitkan fatwa terkait kebijakan ini. Karena itu, ia pun mengumpulkan seluruh ahli fikih setempat.

Kepada mereka, dia meminta fatwa agar penguasa boleh menarik pajak dari rakyat guna membantu persiapan jihad. Para alim yang ditemuinya itu lalu memberikan fatwa yang diminta. Baibars belum bisa bernapas lega karena Imam Nawawi tak dijumpainya di sana.

“Panggil Imam Nawawi ke sini segera!” perintahnya kepada seorang petugas.

Beberapa saat kemudian, ulama yang dimaksud pun datang. Baibars lalu meminta kepadanya untuk menandatangani naskah fatwa tentang pajak itu. Tidak seperti kebanyakan ahli fikih setempat, Imam Nawawi menolaknya.

“Tapi pajak ini untuk keperluan jihad fii sabilillah melawan agresor, balatentara Mongol yang hendak menyerbu Syam!” ujar Baibar.

“Bertakwalah kepada Allah! Sungguh aku tahu bahwa engkau memiliki seribu budak. Setiap budakmu membawa emas. Dua ratus budak perempuanmu engkau beri masing-masing perhiasan gelang emas,” tutur Imam Nawawi dengan tenangnya.

 
Jika sudah begitu, barulah saya akan memfatwakan boleh mengambil pajak dari rakyat.
 
 

“Berikan semua hartamu itu kepada Baitul Mal (untuk membiayai jihad --Red), maka tinggallah para budakmu, lelaki dan perempuan, tanpa sedikit pun emas perhiasan. Jika sudah begitu, barulah saya akan memfatwakan boleh mengambil pajak dari rakyat,” sambungnya lagi.

Merah padamlah wajah Baibars. Sambil menahan amarah, ia meminta Imam Nawawi untuk pergi dari Syam. Menurutnya, sang alim cenderung membawa perpecahan di dalam negeri. “Keluarlah dari negeriku!” katanya.

“Saya mendengar dan menyanggupinya,” jawab ulama besar itu.

Sejak saat itu, Imam Nawawi hijrah dari Damaskus. Selanjutnya, sang imam menetap di desa tempat kelahirannya, Nawa. Di sanalah dia mengajar dan membimbing umat Islam hingga tutup usia.

Namun, kepergian Imam Nawawi dari ibu kota Syam merisaukan kaum Muslimin setempat. Setelah perang melawan Mongol usai, beberapa tokoh masyarakat menghadap ke Baibars. Mereka memintanya untuk mengizinkan sang ahli fikih mazhab Syafii kembali ke Damaskus.

Izin diberikan. Para tokoh ini lalu menemui Imam Nawawi di Desa Nawa. Akan tetapi, yang diminta tidak bersedia memenuhi ajakannya. “Saya tidak akan masuk ke Damaskus selama Baibars masih berkuasa di sana.”

Baik Baibars maupun Imam Nawawi wafat pada tahun yang sama. Keduanya “hanya” berselang kira-kira lima bulan, yakni Baibars pada Juli, sedangkan sang imam pada Desember 1277.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat