Pemulung memilah sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Rawa Kucing, Kota Tangerang, Banten, Selasa (21/7/2020). TPA seluas 34,8 hektar tersebut kini sudah digunakan 20,3 hektar dan diprediksi akan mampu menampung sampah di Kota Tangerang hingga tiga sam | FAUZAN/ANTARA FOTO

Bodetabek

Sampah Menggunung di TPA Rawa Kucing

TPA Rawa Kucing harus dikelola lebih profesional

OLEH EVA RIANTI 

Tumpukan sampah yang menggunung di tempat pembuangan akhir (TPA) Rawa Kucing sudah menjadi pemandangan sehari-hari warga sekitar. Gunungan sampah di Jalan Iskandar Muda, Kelurahan Kedaung Wetan, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang, Banten, ini tidak hanya secara visual mengganggu penglihatan, tapi juga memberi dampak yang luas terkait kualitas hidup masyarakat di sekitarnya.  

Kustini (42 tahun), yang rumahnya dekat dengan area TPA Rawa Kucing, menuturkan, sampah yang ada di TPA tersebut semakin bertambah dari waktu ke waktu. Dampaknya pun tidak sekadar bau menyengat yang saban hari dihirup, tetapi juga menimbulkan bencana berupa banjir.

Dalam dua tahun terakhir ini, dia menyebut, area permukiman kerap tergenang akibat diduga imbas dari tumpukan sampah di TPA Rawa Kucing. "Kalau hujan, banjir naik ke rumah warga, karena sekarang sampahnya itu penuh sampai ke belakang rumah warga,” kata Kustini saat ditemui Republika di kediamannya, Senin (21/6).

Kustini sudah tinggal di RT 05, RW 04, Kedaung Wetan, sejak 23 tahun lalu. Dia menyebut, kondisi parit yang meluap akibat sampah di TPA Rawa Kucing, mulai 2019 sempat memicu banjir parah. Dia beberapa hari merasa tidak nyaman karena bau busuk menyengat dan rumahnya dikepung banjir.

“Kalau sampah lagi dibalik (diolah) tiap siang malam, itu baunya naudzubillah. Memang sehari-hari menghirup begitu, yang terparah ini (dampaknya) bagi kami adalah banjir. Memang air yang masuk ke rumah hanya semata kaki, tapi itu bukan air hujan, tapi sampah limbah, warnanya hitam,” kata Kustini sambil sesekali melibas lalat-lalat yang beterbangan di sekitarnya.

Kondisi itu juga menyebabkan Kustini mengidap penyakit kulit, berupa bercak-bercak warna hitam di beberapa bagian tubuhnya. Dia menuturkan, berdasarkan keterangan dokter, ia mengalami alergi kulit yang disebabkan oleh polusi jalanan, sampah, dan makanan. Kustini mengaku, pernapasannya juga kerap terganggu. Hal yang sama juga dialami suami dan anaknya, serta 10 kepala keluarga (KK) yang menjadi tetangganya.

Dia mengaku, sempat jengah hidup di perkampungan dekat gunungan sampah. Hanya saja, ia tidak bisa berbuat banyak karena satu-satunya rumah yang dimilikinya hanya di kawasan tersebut. Kustini meminta Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang segera menangani tumpukan sampah TPA Rawa Kucing, yang terbukti berdampak buruk bagi warga sekitar.

Setidaknya, Kustini menawarkan dua opsi kepada Pemkot Tangerang. Pertama, melakukan pembebasan lahan untuk perluasan TPA. Kedua, memberi bantuan dana bagi warga terdampak, seperti yang diterima warga di sekitar area TPST Bantargebang, Kota Bekasi. Dia mengaku, sudah mendengar wacana pembebasan lahan sejak 2020. Namun, hingga sekarang belum ada tindak lanjutnya.

“Kalau memang mau ada pembebasan lahan, ya secepatnya, jangan janji-janji saja. Kalau belum pun, ya dikasih kebijaksanaan apa, misalnya dana berupa ganti rugi dari dampak bau sampah, atau dana buat berobat, atau membantu menangani banjir secara sigap," ujar Kustini.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by DLH KOTA TANGERANG (kebersihan_dlh_kotatng)

Penanganan sampah di TPA Rawa Kucing yang hanya ditumpuk mengundang kritik dari sejumlah komunitas peduli lingkungan. Aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta, Dede Ahdi menilai, Pemkot Tangerang lamban dalam mengelola sampah di wilayahnya.

"Untuk kasus TPA yang tidak terurus berarti ada masalah di internal pemdanya. Padahal, kebijakan atau aturan sudah bagus dibuat, tinggal merealisasikan,” kata Dede.

Dia menyampaikan, TPA Rawa Kucing yang merupakan tempat penampungan sampah utama Kota Tangerang seluas 34,8 hektare dan menampung 1.500 ton sampah per hari, kini telah melebihi kapasitas. Jika dibiarkan, hal itu menyebabkan rembesan sampah terus-menerus mencemari lingkungan dan berdampak buruk bagi warga sekitar, serta petani.

Dede menyebut, penurunan derajat kesehatan masyarakat dan risiko kerusakan lingkungan jangka panjang menjadi bom waktu bagi warga Kota Tangerang. Di sisi lain, sambung dia, program pemusnahan sampah melalui waste-to-energy yang menjadi Program Strategi Nasional belum juga dijalankan.

Dede memprediksi dalam waktu dekat Pemkot Tangerang segera mencari jalan keluar untuk membuang sampahnya di luar TPA Rawa Kucing. Seperti halnya yang dilakukan Pemkot Tangerang Selatan (Tangsel) yang akhirnya mengirimkan sampahnya ke Kota Serang yang jaraknya 100 kilometer sekali jalan, sehingga membebani APBD.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by DLH KOTA TANGERANG (kebersihan_dlh_kotatng)

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat