Safari
Tetap Dekat dengan Museum
Masa depan museum terkait dengan teknologi digital, asalkan tak terjebak transformasi yang kopong.
OLEH GUMANTI AWALIYAH
Berwisata jadi sarana untuk mempelajari sejarah dan budaya suatu bangsa. Namun, museum dapat menjadi salah satu pilihan tepat untuk mengenali sejarah dan budaya suatu tempat. Karenanya, museum menjadi sumber materi pendidikan yang efektif bagi anak-anak.
Dihadapkan dengan pandemi Covid-19, banyak museum terpaksa tutup. Merujuk pada survei International Council of Museums (ICOM) dari UNESCO, disebutkan lebih dari 10 persen museum (1.600 museum) di 107 negara diperkirakan tidak dibuka lagi. Di Afrika, Asia, dan Arab, lebih dari seperempat museum dikhawatirkan tutup.
Sementara sejummlah program baru mandek di museum di Filipina, Montenegro, Irak, dan Indonesia. Lebih dari 80 persen program berkurang dan hampir sepertiga museum terpaksa mengurangi stafnya.
“Museum diharapkan bisa adaptif dengan kondisi zaman saat ini. Untuk melangkah ke zaman baru perlu eksperimen dan inovasi yang sangat erat kaitannya dengan teknologi digital. Namun tidak menutup kemungkinan kegiatan nondigital juga bisa tetap di kolaborasikan,” kata Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar dalam seminar daring tentang masa depan museum, beberapa waktu lalu.
Menurutnya, museum harus tetap eksis dengan mengadopsi potensi kreatif budaya dan menjaga ikatan dengan publik, meski pandemi. Museum DPR, contohnya, berinovasi dengan media digital dan nondigital sebagai media interaktif museum. “Kombinasi ini dilakukan agar pengunjung mendapatkan pengalaman, kesan rekreatif serta edukatif,” kata Indra.
Wakil Ketua MPR sekaligus Wakil Ketua Bagian Pendanaan di Yayasan Museum Mitra Jakarta, Lestari Moerdijat, sepakat bahwa masa depan museum terkait dengan teknologi digital. “Kita itu sekarang hidup berdampingan dengan generasi muda yang perilaku dan cara pandangnya sangat jauh berbeda. Jadi sebenarnya, sebelum pandemi Covid-19 juga sudah ada urgensi untuk melakukan inovasi,” kata Lestari.
Rekomendasi yang disarankan untuk menjadikan museum di masa depan adalah menempatkan koleksi secara online, mengorganisasi perjalanan virtual, dan melibatkan komunitas di media sosial yang dapat diakses pengunjung.
Namun, dia meminta agar museum tak terjebak transformasi digital yang kopong. Pemulihan dan pengemasan ulang museum harus dapat menciptakan nilai baru yang mendekatkan museum dengan publik secara kreatif dan inovatif.
Kurator dan Sejarawan Independent, Sadiah Boonstra, juga menilai bahwa transformasi digital penting dilakukan oleh museum, tanpa mengesampingkan interaksi secara offline. Selain mentransformasikan koleksi ke dalam bentuk digital, museum juga harus bisa berinovasi dengan menggelar tur museum secara virtual.
“Akses pada koleksi di museum secara daring menjadi penting. Ke depannya, museum-museum bergerak menuju pembuatan program hibrida, dalam arti sebagian daring dan sebagian offline,” jelas Sadiah.
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud-Ristek Fitra Arda mengatakan, inovasi di museum dapat dilakukan lewat digitalisasi dan penguatan narasi. Kolaborasi pun dilakukan dengan museum, komunitas, dan pendidik.
“Selama pandemi semua hal serba digital, bahkan proses belajar mengajar yang mudah diakses oleh peserta didik dari rumah,” kata Fitra saat dihubungi Republika, Kamis (27/5).
Cara ini dilakukan oleh Museum Listrik dan Energi Baru Taman Mini Indonesia Indah (TMII). “Kami menampilkan apa yang dipelajari dan dibutuhkan anak-anak di sekolah, dan kita desain menarik agar siswa antusias. Ini namanya Museum Goes to School,” kata Koordinator Bidang Program Publik Museum Listrik Adang Suryana.
Tak mau ketinggalan, Museum Nasional juga menggelar beberapa program dan tur virtual selama pandemi Covid-19. Kepala Museum Nasional Siswanto menjelaskan, program tersebut untuk menjawab kerinduan pendidik dan pelajar terhadap museum.
“Tantangan ini kami jawab dengan pameran virtual benda-benda legendaris dan bersejarah Pangeran Diponegoro yang baru dikembalikan Belanda,” ucap Siswanto.
Digitalisasi Manuskrip Kuno
Siapa yang tak kenal batik sebagai warisan tak benda kebudayaan dari Indonesia? Tentunya masyarakat dunia sudah mengetahui penetapan UNESCO tersebut, termasuk keistimewaan pada motif batik. Beragamnya motif batik bahkan sudah diajarkan kepada para siswi di Indonesia sejak bangku SMP.
Namun, rupanya ada banyak motif batik yang hilang. Putri kelima Sultan Hamengkubuwono X, Gusti Kanjeng Ratu Bendoro mengetahui itu lewat penelitian pada 72 manuskrip era Hamengkubuwono II saat Raffles menjajah Indonesia. Manuskrip itu masih ada di Inggris, yaitu di British Library dan Raffles Foundation, karena negara itu belum menandatangai perjanjian mengembalikan barang jarahan.
“Kita pelajari manuskrip-manuskrip yang secara digitalisasi kembali ke kita,” ungkap Gusti Bendoro dalam webinar virtual bertajuk ‘Masa Depan Batik Indonesia: Upaya Pelestarian Melalui Museum’, beberapa waktu lalu.
Pada 2018, pihaknya menggandeng filantropis untuk mendigitalisasi 72 manuskrip tersebut dan untuk itu perlu dana besar. Di 2019, tim mendapatkan dan membuka lembaran-lembaran itu, dan ternyata ada beberapa motif yang sudah hilang, antara lain motif Sembagen Ombakingtoya, Pusparaga, dan Kawungsari.
"Motif-motif dalam manuskrip itu ada bentuknya berupa keterangan tulisan saja, tidak ada gambarnya. Jadi hanya deskripsi,” papar mantan finalis Miss Indonesia 2009 itu.
Gusti Bendoro mengatakan, Keraton Yogyakarta punya banyak ruang museum, namun dalam tiga tahun ini banyak yang didekorasi ulang supaya lebih kekinian desain interiornya. Salah satu ruangannya adalah ruang batik yang pada 2022 diubah menjadi ‘ruang hidup’ (living museum).
"Tema dari ruang batik ini jadi daur hidup. Ruang ini akan menjelaskan cara pemakaian batik yang benar dan pesan doa dari sebuah kain jarik,” ungkap Gusti Bendoro lagi.
Sebagai warisan budaya, batik tentunya harus tetap dilestarikan. Itu sebabnya, Kepala Museum Batik Pekalongan 2006-2011, Zahir Widadi mengatakan, Museum Batik Indonesia Taman Mini Indonesia Indah (TMII) harus menyikapi kondisi sosial maupun kultural paling terkini dalam upaya pelestarian batik.
Banyak hal yang beralih dalam batik ini. Contohnya, pergeseran nilai budaya batik ke nilai ekonomi dan banyak yang ingin dijadikan industri modern. Apalagi, saat ini batik yang menjadi identitas daerah, kini menjadi personal branding. "Batik harusnya menjadi kebiasaan sosial, lalu berubah menjadi busana sehari-hari,” papar dia dalam kesempatan yang sama.
Museum Batik Indonesia, kata dia, tentu perlu mengedukasi masyarakat. Apalagi, selain mengedukasi, museum juga diharapkan menjadi salah satu cara melestarikan batik lewat pameran dan konservasi. Terlebih lagi, aset batik di museum ini sudah jarang dan perlu perlakukan khusus terkait kelembapan dan lain-lain.
Upaya pelestarian lainnya adalah dengan memasyarakatkan penggunaan batik. “Sejak diakui UNESCO, setiap Jumat masyarakat sepakat mengenakan batik,” ucap Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Hilmar Farid dalam kesempatan yang sama.
Saat ini, kata dia, Museum Batik Indonesia dalam proses perampungan, terutama soal kelembagaan di bawah Badan Layanan Umum (BLU) Museum. Dia berharap, dengan cara itu, upaya pelestarian batik semakin baik, bisa lewat pameran, juga konservasi koleksi batik Indonesia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.