Pedagang sembako dan sayur melayani pembeli di Pasar Tebet Timur, Jakarta Kamis (10/6/2021). Rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap kebutuhan pokok dianggap akan menambah kerugian masyarakat. | Prayogi/Republika.

Kabar Utama

Kala RUU Pajak Bikin Gaduh

RUU tersebut diusulkan oleh DPR dan pemerintah pada 17 Desember 2019.

"Telur saja naik dari Rp 25 ribu tiba-tiba Rp 28 ribu kita berasa banget," keluh Gana Buana (30 tahun), ibu rumah tangga dan pemilik toko kue Ebury Street, kepada Republika, Jumat (11/6).

"Walaupun hanya satu persen (kenaikan harga), itu pun tetap berat untuk orang yang masih berjuang, yang terseok-seok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," kata Glienmourinsie (32 tahun), ibu lainnya, menimpali.

Keduanya berbicara soal kekhawatiran yang sama dari kabar soal draf revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Berselang hari dari beredarnya draf tersebut, rerupa penolakan mengemuka.

Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyatakan siap berangkat ke Jakarta untuk berunjuk rasa menolak. Demikian juga para buruh dan petani yang menyampaikan keberatan melalui asosiasi masing-masing.

Adapun yang mereka persoalkan, Pasal 4A draf RUU KUP itu mengisyaratkan penghapusan bahan-bahan pokok dari daftar objek bebas pajak pertambahan nilai (PPN). Artinya, beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah, dan sayur bakal dikenai PPN yang jumlahnya dalam draf itu diusulkan sebesar 12 persen.

photo
Pedagang sembako dan sayuran melayani pembeli di Pasar Subuh, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Jumat (11/6/2021). Pemerintah terus berupaya mengoptimalkan penerimaan negara melalui sektor perpajakan, dengan berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 13 kategori bahan pokok. - (ANTARA FOTO/ADENG BUSTOMI)

Selain itu, ayat (3) Pasal 4A mengatur bahwa jasa pendidikan bakal dikenai PPN. Jasa pendidikan yang dimaksud dalam pasal ini, sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 011 Tahun 2014 tentang Kriteria Jasa Pendidikan yang tidak Dikenai PPN adalah PAUD, SD, SMP, SMA/SMK, hingga bimbingan belajar.

Pasal ini langsung mendapat penolakan dari Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. PP Muhammadiyah diketahui telah bertahun-tahun menyediakan pendidikan melalui lebih dari 5.000 sekolah di seantero nusantara.

"Jika kebijakan PPN itu dipaksakan untuk diterapkan, yang nanti akan mampu menyelenggarakan pendidikan selain negara yang memang memiliki APBN justru para pemilik modal yang akan berkibar dan mendominasi. Sehingga, pendidikan akan semakin mahal, elitis, dan menjadi ladang bisnis layaknya perusahaan," ujarnya kepada Republika, kemarin.

Haedar mengatakan, di daerah terdepan, terpencil, dan tertinggal (3T), pendidikan masih tertatih-tatih menghadapi segala kendala dan tantangan. "Di mana letak moral pertanggungjawaban negara atau pemerintah dengan penerapan PPN yang memberatkan itu?" ujarnya.

Menurut Haedar, konsep pajak progresif di bidang pendidikan secara ideologis menganut paham liberalisme absolut yang bertentangan dengan Pancasila. "Masalah ini agar direnungkan secara mendalam oleh para elite di pemerintahan," katanya.

Bagaimana asal mula draf rancangan regulasi yang membuat gaduh itu? Republika menelusuri, pemerintah sudah menyelesaikan laporan akhir penyelarasan naskah akademik pada 2015 lalu.

Revisi regulasi perpajakan tersebut dinilai penting mengingat rasio pajak Tanah Air yang tergolong rendah. Tahun lalu, rasio terhadap produk domestik bruto (PDB) itu bahkan diproyeksikan pada angka satu digit. Rasio pajak Indonesia, menurut OECD dan ADB, merupakan salah satu yang peling rendah di dunia.

Kemudian merujuk catatan legislasi DPR, RUU tersebut diusulkan oleh DPR dan pemerintah pada 17 Desember 2019. Saat itu tak ada progres pembahasan RUU KUP karena pemerintah dan DPR sibuk menyelesaikan omnibus law UU Cipta Kerja.

Kemudian pada rapat kerja Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU Prioritas 2021 pada 9 Maret 2021, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan bahwa Fraksi Golkar mengajukan usulan baru tentang RUU KUP. Ia kemudian meminta tanggapan Komisi XI dan perwakilan pemerintah soal usulan itu.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly yang hadir kala itu mendukung dan menyatakan koordinasi telah dilakukan dengan Kemenko Perekonomian soal kembali dibahasnya RUU tersebut. DPR dan pemerintah kemudian menyepakati rencana revisi RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan itu masuk prolegnas. Posisinya pada nomor 31 dari 33 RUU, menggantikan RUU Pemilu.

Baru kemudian beredar draf yang saat ini menuai penolakan pada Rabu (9/6). Menteri Keuangan Sri Mulyani tak menyangkal isi draf tersebut. Namun, menurut dia, draf RUU KUP tersebar ke publik dengan aspek-aspek yang terpotong dan tidak secara utuh sehingga menyebabkan kondisi menjadi kikuk. 

"Situasinya menjadi agak kikuk karena ternyata kemudian dokumennya keluar karena memang sudah dikirimkan kepada DPR juga, yang keluar sepotong-sepotong," kata dia saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jumat (11/6).

 
Dari sisi etika politik, kami belum bisa menjelaskan sebelum ini dibahas.
SRI MULYANI INDRAWATI, Menteri Keuangan
 

Meski demikian, dia menuturkan, pemerintah masih belum bisa menjelaskan secara detail mengenai isu ini. "Dari sisi etika politik, kami belum bisa menjelaskan sebelum ini dibahas. Karena ini adalah dokumen publik yang kami sampaikan kepada DPR melalui surat presiden," ujarnya.

Dia menjelaskan, RUU KUP dibacakan terlebih dahulu dalam sidang paripurna yang kemudian akan dibahas bersama Komisi XI. “Itu semua kita bawakan dan akan kita presentasikan secara lengkap by sector, by pelaku ekonomi. Mengapa kita menurunkan pasal itu, background-nya seperti apa. Itu semua nanti kami ingin membahas secara penuh dengan Komisi XI," katanya.

Sri Mulyani kemudian meminta maaf kepada Komisi XI DPR atas beredarnya draf RUU KUP di masyarakat. "Kenapa ada policy seolah-olah itu sudah naik (pajaknya) padahal tidak," katanya.

 
Kenapa ada policy seolah-olah itu sudah naik (pajaknya) padahal tidak.
SRI MULYANI INDRAWATI, Menteri Keuangan
 

Badan Anggaran (Banggar) DPR membenarkan akan membahas revisi aturan perpajakan pada masa sidang kali ini. "Akan ada perkembangan pembahasan untuk RUU KUP yang akan bergulir. Insya Allah pada sidang kali ini, tentu di Komisi XI," ujarnya saat rapat panitia kerja (panja) asumsi dasar dan kebijakan fiskal dengan pemerintah, Kamis (10/6). 

Meski demikian, sejauh ini pihak DPR mengeklaim belum mendapat draf tersebut. "Sampai sekarang belum dibahas di Bamus (Badan Musyawarah DPR), kita belum terima draf dari pemerintah," kata Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Golkar, Dito Ganinduto. 

Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, juga mengeklaim belum menerima draf revisi undang-undang tersebut. "Kalau sampai meja pimpinan saja belum, apalagi sampai ke komisi terkait," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (11/6).

DPR, kata Dasco, juga terkejut dengan adanya wacana untuk mengenakan pajak pada barang dan jasa lewat revisi UU KUP. Ia memastikan, para legislator tak akan membiarkan hal tersebut terealisasi. 

photo
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (kanan) bersiap mengikuti rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (10/6/2021). - (Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO)

Keadilan

Pihak Kementerian Keuangan tak menyangkal bakal mengenakan pajak bagi bahan-bahan pokok. Menurut Pihak kemenkeu dan Direktorat Jenderal Pajak (DJP), rencana yang tertuang dalam draf revisi kelima Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) itu untuk keadilan rakyat.

Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo menyatakan, skema pajak yang direncanakan memberikan rasa keadilan dengan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk barang mewah atau sangat mewah.

“Juga pengenaan tarif lebih rendah untuk barang-barang dan jasa tertentu yang dibutuhkan masyarakat berpenghasilan rendah," kata dia kemarin. Lebih dari itu, terkait RUU KUP pihak Ditjen Pajak belum bersedia menjelaskan. 

Sedangkan Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menyatakan, selama ini, kelompok menengah atas juga menikmati PPN nol persen pada kelompok barang dan jasa tertentu, termasuk kebutuhan pokok. Yustinus mengatakan kondisi ini juga terjadi terhadap seluruh jasa kesehatan baik, bagi orang miskin ataupun operasi plastik bagi kalangan tertentu. 

Hal yang sama juga dikenakan jasa pendidikan yang dikenakan PPN baik sekolah negeri atau sekolah private mahal sekalipun. "Menurut hemat kami ini tidak adil dan tidak fair, sehingga kita kehilangan kesempatan memungut pajak dari kelompok kaya untuk diredistribusi ke orang miskin. Saya sepakat bahwa kita harus selektif, targeted hanya instrumen yang berbeda," ujarnya saat webinar Arah Kebijakan Pajak di Kala Pandemi, Jumat (11/6). 

Dia juga mencontohkan beras premium maupun beras dari Bulog, yang saat ini sama-sama tidak dikenakan PPN. "Padahal daya beli konsumennya berbeda, jenis, harga, daya beli berbeda, kita masukkan dalam keranjang sama itu jadi problem," ungkapnya.

Sementara Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memaparkan bahwa  Kemenkeu  mencatat rasio perpajakan terhadap produk domestik bruto (PDB) mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Tercatat pada 2019 di posisi 9,76 persen dan merosot menjadi 8,33 persen pada 2020

photo
Dua ekor kucing berbaring di dekat beras-beras yang dijual di Pasar Minggu, Jakarta, Kamis (10/6/2021). Kementerian Keuangan menyatakan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk soal penerapannya pada bahan kebutuhan pokok atau sembako masih menunggu pembahasan lebih lanjut setelah pemerintah berencana menjadikan bahan pokok sebagai objek pajak. - (ADITYA PRADANA PUTRA/ANTARA )

“Ini yang membuat kami harus berpikir keras mengenai bagaimana membuat perpajakan kita itu semakin sesuai dengan struktur perekonomiannya. Kita tahu ekonomi tumbuh dan pertumbuhan sektoral beda-beda," ujarnya.

Febrio menuturkan pemerintah menghadapi sejumlah tantangan dalam meningkatkan rasio pajak meliputi, basis pajak belum terungkap sepenuhnya. Selain itu, kepatuhan pembayaran pajak belum optimal. 

Tahun depan, pemerintah menargetkan rasio perpajakan sebesar 8,37 persen sampai 8,42 persen terhadap PDB. Angka itu meningkat dari target tax ratio pada tahun ini sebesar 8,18 persen dari PDB.

Apabila mengeluarkan komponen bea dan cukai, maka rasio pajak saja cenderung stagnan dalam lima tahun terakhir. “Ini juga yang akan kami lihat sama dengan logika perpajakan keseluruhan, bagaimana caranya agar pertumbuhan penerimaan pajak itu semakin mencerminkan kondisi ekonomi dan struktur ekonomi," ucapnya. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat