Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021). | Prayogi/Republika.

Kabar Utama

DPR dan Pemerintah Sepakat Kebut Lagi RKUHP

Pasal-pasal RKUHP yang menjadi sorotan akan segera dibahas DPR dan Pemerintah

JAKARTA – Komisi III DPR dan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sepakat memsukkan Rencangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun ini. Pasal-pasal yang menjadi sorotan akan segera dibahas kedua pihak.

Hal tersebut menjadi kesimpulan dalam rapat Komisi III dengan Kemekumham, Rabu (9/6). "Komisi III DPR dan Menteri Hukum dan HAM bersepakat untuk segera menindaklanjuti penyelesaian RKUHP maupun yang telah menjadi prioritas pada 2021 dalam rangka mewujudkan penataan sistem peradilan pidana yang terpadu," kata Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Golkar, Adies Kadir, di Kompleks Parlemen Senayan, Rabu (9/6).

Hal senada juga disampaikan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharief Hiariej selepas rapat. "Jadi tadi ada kesepakatan bahwa ini (RKUHP) akan segera dimasukkan sebagai RUU Prioritas 2021," kata Edward.

Dia mengatakan, karena RKUHP merupakan carry over atau RUU peralihan dari periode DPR 2014-2019, maka yang akan dibahas hanya pasal-pasal yang belum tuntas. 

RKUHP dirancang untuk menggantikan KUHP saat ini yang merupakan beleid warisa sejak kolonial Belanda. Draf terkini sudah selesai dirancang sejak 2015 oleh Kemenkumham dan terus direvisi. Saat hendak dirampungkan pembahasan di DPR pada 2019, rancangan regulasi itu ramai mendapat penolakan dari masyarakat.

Aksi unjuk rasa menolak rancangan undang-undang itu yang berbarengan dengan penolakan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebabkan sedikitnya empat pengunjuk rasa gugur. Presiden Joko Widodo kemudian menunda pembahasan pada Desember 2019 sembari memerintahkan perbaikan naskah.

Di antara yang ditolak pengunjuk rasa adalah keberadaan pasal penghinaan kepala negara dalam RKUHP. Pasal yang diadopsi dari peraturan Kerajaan Belanda soal larangan penghinaan pada raja dan ratu itu sedianya sudah dihapuskan dalam KUHP terkini seturut putusan Mahkamah Konstitusi pada 2006.

Keberadaan pasal tersebut kembali dibela Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly dalam rapat kemarin. "Mengkritik presiden sah, sekritik-kritiknya lah, kritik kebijakannya, apanya, sehebat-hebatnya kritik. Bila perlu, tidak puas ada mekanisme konstitusional juga ada, kok," kata Yasonna. 

Namun Yasonna menegaskan, yang tidak boleh dilakukan adalah ketika presiden diserang secara personal. Menurutnya kebebasan menyampaikan pendapat tidak bisa diartikan boleh bebas-sebebasnya karena hal tersebut merupakan tindakan anarkistis. "Saya kira kita harus ada batas-batas yang harus kita jaga sebagai masyarakat Indonesia yang beradab," ujarnya. 

photo
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/6/2021). - (ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto)

Yasonna menambahkan, Presiden Joko Widodo juga tidak masalah dengan pasal tersebut. "Mungkin saja satu di antara kita jadi presiden atau bos-nya Pak Habiburohman (anggota Komisi III Fraksi Gerindra), kita biarkan itu? Kalau bosnya Pak Benny (Kaharman anggota Fraksi Demokrat) masih lama barangkali," kata politikus PDIP itu berkelakar.

Yasonna H Laoly juga mengeklaim masyarakat merespons baik RKUHP yang saat ini tengah disosialisasikan pemerintah. "Bahwa ada perbedaan pendapat itu adalah suatu yang lumrah terutama terakhir ini ada satu hal yang agak hangat di media," kata Yasonna.

Yasonna menambahkan, saat ini pemerintah sudah melakukan roadshow ke 11 daerah. Terakhir sosialisasi akan dilakukan di Jakarta. Sosialisasi terhadap RUU Permasyarakatan (RUU PAS) juga masih dilakukan pemerintah. 

Anggota Komisi III DPR Arsul Sani dalam raker tersebut juga meminta pimpinan Komisi III DPR, ketua kelompok fraksi (Kapoksi) dan Menkumham mendorong RKUHP masuk dalam Prolegnas Prioritas 2021. Dia khawatir jika DPR dan Pemerintah saling menunggu, maka pembahasan RKUHP tidak akan pernah maju. 

Arsul Sani memahami adanya perdebatan di publik terkait pasal penghinaan presiden di RKUHP. Arsul mengungkapkan alasan pasal itu dipertahankan lantaran di KUHP terdapat pasal pidana menghina presiden, kepala pemerintahan atau kepala negara lain yang sedang berkunjung ke Indonesia.

"Masak menghina Presidennya sendiri dibiarkan begitu saja. Nah itu salah satu argumentasinya," kata Arsul kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/6).

Arsul menjelaskan agar pasal itu tidak menabrak putusan MK, maka di dalam pasal penghinaan presiden itu sifat deliknya diubah. Sebelumnya penegak hukum bisa menindak langsung jika ada dugaan tindakan penghinaan presiden. Setelah diubah menjadi delik aduan, maka harus ada yang bisa mengadu yaitu presiden secara pribadi.

Dia mengatakan, banyak negara demokrasi seperti Indonesia tetap mempertahankan "lese majeste", yaitu ketentuan pidana tentang penyerangan terhadap pemegang kekuasaan khususnya kepala negara. Arsul memberi contoh di Denmark diancam penjara empat tahun, lalu Islandia dengan ancaman pidana empat tahun, dan di Belgia ada UU buatan tahun 1847 yang menyebutkan menghina kepala negara diancam pidana tiga tahun.

Sedangkan anggota Komisi III DPR RI Habiburokhman menyarankan agar pasal terkait penghinaan presiden-wakil presiden yang diatur dalam RKUHP dialihkan menjadi ranah perdata sehingga penyelesaian kasusnya tidak melibatkan kepolisian dan kejaksaan yang merupakan rumpun eksekutif.

Dia menilai selama pasal terkait penghinaan presiden-wapres masih dalam ranah pidana maka tuduhan pasal tersebut digunakan untuk menghabisi orang-orang yang berseberangan dengan kekuasaan akan terus timbul. Karena itu, menurut dia, seobjektif apapun proses peradilannya namun kalau kasusnya ditangani kepolisian dan kejaksaan yang masuk rumpun eksekutif, berbagai dugaan akan selalu muncul.

Ia juga mengkritisi sosialisasi yang dilakukan Kemenkumham. "Saya juga tanyakan teknis carry over (RKUHP) seperti apa, kalau hanya tindak lanjuti dari periode lalu maka langsung kita ke tingkat dua. Karena itu percuma Kemenkumham keliling Indonesia ke 11 kota meminta masukan terkait RKUHP," ujarnya. 

Presiden dan DPR Wajar Dikritik

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai kritik terhadap kepala negara dan lembaga negara merupakan hal wajar. Ia tak sepakat dengan rencana penghidupan pasal penghinaan presiden dan lembaga negara dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

Asfinawati mendesak pemerintah dan parlemen menaati prinsip demokrasi. Ia menyayangkan semangat demokrasi yang kian redup dalam pembahasan RKUHP. "Presiden, DPR itu memang harus dikritik karena lembaga publik. Kalau enggak boleh dikritik maka namanya bukan demokrasi lagi," kata Asfinawati kepada Republika, kemarin.

Asfinawati menyinggung secara khusus perubahan yang diklaim dimuat dalam pasal penghinaan Presiden terbaru. Menurutnya, delik aduan yang dicantumkan tak tepat karena jabatan Presiden bukan mewakili individu. "Delik aduan lebih baik, meski tetap aneh karena esensinya Presiden kan lembaga negara, bukan orang," ujar Asfinawati.

Selain itu, Asfinawati mengkritisi pasal-pasal kontroversial dalam RKUHP. Diantaranya sanksi penjara bagi pelaku lelucon bila korbannya melapor, tukang gigi tanpa izin praktik, pelaku kumpul kebo dan pelaku penodaan agama. "Ini menunjukkan watak represif politik saat ini. Dan berkehendak mengatur ruang privasi warga," ucap Asfinawati.

Menurutnya, pembahasan RKUHP membuktikan suara masyarakat tak dianggap penting lagi oleh pemerintah dan parlemen. "Yang terlihat oleh publik konsisten ini, konsisten dengan pembahasan RUU lain seperti revisi UU KPK, omnibus law Cipta Kerja. Masyarakat tidak didengarkan," kata Asfinawati.

Asfinawati mengakui adanya urgensi terhadap RKUHP. Namun menurutnya alasan urgensi itu tak lantas mengubah semua isi KUHP. "Soal mendesak kan tidak harus dengan perubahan langsung seluruhnya, bisa per bagian sehingga esensi keadilan lebih muncul," ujar Asfinawati.

Selain itu, Asfinawati menolak argumentasi bahwa pembahasan hingga pengesahan RKUHP penting sebagai bentuk kepastian hukum. Ia merasa sebagian pasal dalam RKUHP justru sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). "Kan ada putusan MK yang sudah mengubah beberapa pasal juga UU sektoral yang di-RKUHP malah coba dikodifikasi," singgung Asfinawati.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari puluhan organisasi juga mengkritisi RKUHP. Mereka menilai pembahasan dan sosialisasi RKUHP jauh dari prinsip transparansi. Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri atas puluhan organisasi memantau bahwa sejak awal tahun ini Kemenkumham telah mengadakan 11 kegiatan sosialisasi RKUHP. 

Aliansi mendapati draf RKUHP yang disebarkan kepada peserta sosialisasi ternyata draf yang tanpa ada perubahan sama sekali dengan draf RKUHP yang ditolak oleh masyarakat pada September 2019 lalu. "Jika tidak ada sedikit pun perubahan, lantas apa yang dibahas oleh pemerintah? Sebagai catatan juga, pembahasan RKUHP di pemerintah pasca September 2019 belum pernah dilaporkan kepada publik," tulis Aliansi.

Aliansi menyebut pelaksanaan sosialisasi RKUHP oleh pemerintah tak melibatkan elemen masyarakat sipil dan pihak-pihak yang akan terdampak keberlakuan RKUHP.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat