Deretan permukiman penduduk dengan latar belakang gedung bertingkat tersamar kabut polusi udara di Jakarta, Selasa (20/4/2021). | Aprillio Akbar/ANTARA FOTO

Opini

Tarif Pajak Karbon

Berapa pun tarif pajak karbon mesti mengedepankan misi pengendalian lingkungan.

HARYO KUNCORO, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Reformasi perpajakan terus bergulir di Tanah Air. Dari sekian banyak usulan reformasi fiskal yang termaktub dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diajukan pemerintah, pajak karbon tampaknya merupakan hal baru.

Introduksi jenis pungutan anyar itu guna memaksimalkan pendapatan negara. Target lebih spesifiknya, pengurangan emisi gas rumah kaca. Target penurunan efek rumah kaca nasional pada 2030 sebesar 834 juta ton ekuivalen karbon dioksida.

Hasrat memungut pajak karbon di Indonesia juga sejalan dengan praktik di banyak negara. Sekitar 40 negara memiliki beberapa bentuk pajak karbon. Jepang, Singapura, Prancis, dan Cile memberlakukannya dengan tarif antara 3 sampai 49 dolar AS per ton emisi karbon.

Tarif pajak karbon dalam RUU KUP, Rp 75 ribu per ton. Subjek pajak karbon, orang pribadi atau badan yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas menghasilkan emisi karbon. Dengan tarif sebesar itu, pemasukan negara mencapai Rp 57 triliun.

 
Hasrat memungut pajak karbon di Indonesia juga sejalan dengan praktik di banyak negara. Sekitar 40 negara memiliki beberapa bentuk pajak karbon.
 
 

Kendati dalam tataran praktis terjustifikasi, penerapan pajak karbon di Indonesia masih menghadapi persoalan konseptual. Dalam statusnya sebagai ‘pajak’, pungutan karbon semestinya berlaku pada semua emiten.

Sementara itu, pajak karbon menyasar subjek pajak besar, seperti industri pembangkit listrik, kertas, dan semen. Atribut ‘pajak’ yang melekat pada pajak karbon juga memiliki implikasi fiskal tersendiri.

Pemungutan pajak dan alokasi belanjanya adalah hak negara. Pembayar pajak tidak bisa menuntut imbal prestasi. Artinya, tidak ada jaminan penerimaan pajak karbon dialokasikan pada upaya mitigasi dampak negatifnya.

Kalaupun ada jaminan, persoalan tidak berhenti sampai di sini. Tarif Rp 75 ribu atau setara 5 dolar AS per ton, tampaknya diadopsi dari  negara lain. Adopsi tarif dari luar negeri dengan denominasi rupiah memunculkan risiko gejolak nilai tukar.

Artinya, efektivitas tarif pajak terhadap pengurangan emisi karbon tidak lagi utuh. Kekhawatiran inefektivitas pajak karbon sejatinya tidak perlu terjadi. Dalam perspektif teoretis, penentuan tarif karbon bisa didekati dari harga pasar dan nonpasar.

 
Artinya, efektivitas tarif pajak terhadap pengurangan emisi karbon tidak lagi utuh.
 
 

Pendekatan harga pasar yang sebenarnya, dikalkulasi dari penurunan produktivitas sebagai akibat eksternalitas negatif dari karbon. Berangkat dari sini, perhitungan harga karbon berkembang dengan mengacu pada nilai yang hilang (foregone earning).

Nilai yang hilang diukur berdasarkan output yang bisa dihasilkan saat tidak terkena polusi karbon atau kesempatan yang hilang (opportunity cost) jika produktivitas tadi dikerahkan di lain sektor.

Biaya di atas secara kuantitatif memang bisa ditentukan. Hanya, kedua cara itu condong melihat ke luar (outward-looking), yang semua asumsinya belum tentu berlaku penuh. Komparabilitas produktivitas di satu sektor dengan sektor lain, misalnya, masih bisa diperdebatkan.

Dengan kelemahan di atas, pendekatan melihat ke dalam (inward-looking) layak diajukan. Metodenya berbasis biaya pemulihan modal insani agar kondisinya sama persis saat belum terpapar eksternalitas negatif karbon. Perkiraan biaya pencegahannya pun bisa diturunkan.

Metode harga nonpasar bisa digunakan lewat preferensi masyarakat. Meski representatif, metode ini subjektif. Ketiadaan parameter yang tegas membuat metode ini menghasilkan tarif pajak karbon berada di bawah atau di atas nilai sesungguhnya.

Alhasil, kompromi atas kedua pendekatan di atas sangat potensial menjadi solusi tengah yang efisien, sekaligus membuka peluang bagi kehadiran negara. Pemerintah menetapkan batas maksimum keseluruhan emisi karbon.

Batas ini dapat diturunkan bertahap hingga level target yang ditentukan. Pihak emiten tetap memperoleh kelonggaran atau semacam lisensi untuk menghasilkan sejumlah karbon dalam batas tertentu.

Lisensi didistribusikan lewat lelang terbuka atau dialokasikan secara bebas. Emiten peserta lelang dengan penawaran harga tertinggi dinyatakan menang. Jika emiten lain mengeluarkan karbon lebih dari lisensi yang dimilikinya, ia harus membeli lebih banyak ‘surat izin’.

 
Berapa pun tarif pajak karbon dan pendekatan mana pun yang digunakan pemerintah bersama parlemen, mesti mengedepankan misi pengendalian lingkungan. 
 
 

Lisensi ini dapat dibeli dari emiten lain yang tak membutuhkan. Kuota emisi karbon semacam ini bisa diperjualbelikan. Harga lisensi ditentukan  mekanisme pasar.

Kembali ke pokok persoalan semula, apakah tarif pajak karbon Rp 75 ribu per ton sudah mengarah ke titik ekuilibrium bagi konsumen dan produsen? Adopsi tarif pajak dari negara lain dengan lingkungan berbeda bisa jadi tidak efektif jika diterapkan di Indonesia.

Maka itu, pemerintah perlu mengkaji dan menjelaskan kepada publik mengenai tarif pajak karbon yang diusulkan. Pemahaman publik niscaya turut menentukan keberhasilannya. Penentuan tarif pajak karbon secara sepihak terkesan simplistis plus oversimplifikasi permasalahan.

Intinya, kebijakan berbasis riset banyak bicara di sini. Kebijakan harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bukti empiris menunjukkan, imbas kegagalan kebijakan pemerintah secara makro jauh lebih dahsyat dibandingkan kegagalan pasar.

Berapa pun tarif pajak karbon dan pendekatan mana pun yang digunakan pemerintah bersama parlemen, mesti mengedepankan misi pengendalian lingkungan. Toh bumi dan alam bukan warisan nenek moyang, melainkan titipan anak cucu. Bukan begitu? 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat