Sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Pakuan, Bogor menggelar aksi berkabung di Lapangan Banpres, Universitas Pakuan, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/10/2019). Aksi tersebut digelar | ARIF FIRMANSYAH/ANTARA FOTO

Kabar Utama

Belum Direvisi, RKUHP Terus Disosialisasikan

Pembahasan pasal RKUHP mengenai penghinaan presiden memicu perdebatan di parlemen.

JAKARTA – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) menggencarkan sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meski demikian, Kemenkumham dan DPR mengakui, rancangan beleid yang ramai mendapatkan penolakan itu sampai saat ini belum direvisi.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri atas puluhan organisasi memantau bahwa sejak awal tahun ini, Kemenkumham telah menyelenggarakan 11 kegiatan sosialisasi RKUHP. Di antaranya di Medan, Sumatra Utara, pada 23 Februari 2021; kemudian Semarang, Jawa Tengah, pada 4 Maret 2021; Bali pada 12 Maret 2021; Yogyakarta pada 18 Maret 2021; dan Ambon, Maluku, pada 26 Maret 2021.

Setelah itu Makassar, Sulawesi Selatan, pada 7 April 2021; Padang, Sumatra Barat, pada 12 April 2021, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 20 April 2021; Surabaya, Jawa Timur, pada 3 Mei 2021; Lombok, NTB, pada 27 Mei 2021; dan terkini di Manado, Sulawesi Utara, pada 3 Juni 2021. 

Dari 11 kota tersebut, pemerintah hanya intensif menyebarkan lima materi yang sama dibawakan oleh tim perumus di setiap kota. Sementara itu, akses untuk objek utama dari sosialisasi tersebut, yakni draf RKUHP, baru diberikan hanya kepada para peserta sosialisasi di Manado. 

Aliansi juga mendapati draf RKUHP yang disebarkan kepada peserta sosialisasi di Manado tidak mengandung perubahan sama sekali dengan draf RKUHP yang ditolak oleh masyarakat pada September 2019 lalu. Oleh karena itu, aliansi yakin 24 poin permasalahan RKUHP yang telah dipetakan sebelumnya hingga saat ini masih ada atau tidak diperbaiki.

Di antara pasal yang disosialisasikan adalah soal penghinaan kepala negara. Dalam draf September 2019, “tindak pidana” itu diatur dalam pasal 218 sampai 220. Diatur dalam rancangan itu bahwa “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden” diganjar hukuman penjara maksimal 3,5 tahun penjara dengan denda maksimal Rp 200 juta.

Sedangkan, dalam pasal 220 diatur bahwa jika tindakan itu disebarkan melalui teknologi informasi, ancaman hukuman maksimal bertambah menjadi 4,5 tahun penjara. Tak ada perubahan apa pun dalam draf yang dibagikan ke peserta sosialisasi di Manado.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej sebelumnya mengiyakan kegiatan sosialisasi tersebut. Ia menyatakan bahwa kota yang jadi lokasi sosialisasi meliputi juga Jakarta sehingga total 12 kota disambangi.

Wamenkumham mengatakan, sosialisasi dilakukan dengan metode campuran, yakni luar jaringan (luring) sekitar 80 peserta dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat dan virtual atau dalam jaringan (daring). Peserta yang mengikuti sosialisasi RUU KUHP terdiri atas perguruan tinggi, aparat penegak hukum, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat. “Sosialisasi dilakukan oleh tim ahli dan DPR,” kata dia, dilansir Antara, akhir pekan lalu.

Pembahasan RKUHP memicu gelombang aksi unjuk rasa pada akhir 2019 lalu. Sejumlah pasal dalam RKUHP dinilai mengancam kebebasan sipil dan mengembalikan otoritarianisme. 

Menyusul gelombang unjuk rasa yang menimbulkan korban jiwa itu, Presiden Joko Widodo menunda pembahasan RKUHP pada 20 September 2019. Saat itu, Presiden memerintahkan pendalaman lebih lanjut atas rancangan undang-undang yang bakal menggantikan KUHP itu.

Pihak pemerintah sejauh ini mengaku belum sempat merevisi draf RKUHP. Meski begitu, Kemenkumham berharap RKUHP itu dapat segera mendapatkan persetujuan dari DPR pada tahun ini. "Belum (revisi). Masih belum menemukan waktu yang tepat," kata Kepala Bagian Humas Kemenkumham Tubagus Erif, di Jakarta, Selasa (8/6).

Dia mengatakan, draf RKUHP sebelumnya gagal disahkan setelah masyarakat mendesak agar draf tersebut tidak disahkan saat memasuki tingkat paripurna DPR. Draf yang beredar saat ini juga belum final karena masih akan dibahas secara bersama di DPR dan masuk prolegnas prioritas DPR periode ini.

Pemerintah, ungkap Tubagus, memang mempunyai konsep penyempurnaan terhadap RUU KUHP. Namun, belum pernah ada pembahasan formal dan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR. "Pemerintah saat ini tetap berpegangan pada draf 2019 sebagai bahan sosialisasi. Harapannya, periode ini bisa tuntas," katanya.

Dia mengakui, pemerintah akan lebih menggencarkan sosialisasi draf RKUHP yang ada saat ini. Beberapa pasal yang dianggap bermasalah nanti akan kembali dibahas bersama agar ketika kesepakatan akhir sudah diambil, sehingga berbagai permasalahan itu clear.

"Dalam kebijakan publik, pro-kontra pasti akan selalu ada. Harapannya, yang mendukung jauh lebih banyak daripada yang menolak,” ujarnya.

 
photo
Seorang pelajar berbicara dengan anggota kepolisian saat melakukan long march menuju gedung DPRD Sulsel di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (26/9/2019). Aksi yang diikuti sejumlah pelajar dari sekolah se-Kota Makassar tersebut turut menolak UU KPK hasil revisi dan RKUHP. ANTARA FOTO/Abriawan Abhe/wsj. - (ANTARA FOTO)

Anggota Panitia Kerja RKUHP di DPR, Arsul Sani menyampaikan bahwa parlemen juga baru akan menemui Menkumham Yasonna Laoly untuk membahas kelanjutan RKUHP. "Besok kami bicarakan di rapat dengan Menkumham," kata Arsul kepada Republika, Selasa (8/6).

Arsul enggan memberi bocoran tenggat waktu kapan RKUHP mesti disahkan. Ia berjanji akan menanyakan kepada Menkumham mengenai hal itu. "Ya, besok dibicarakan," ujar wakil ketua PPP tersebut.

Arsul menjelaskan, saat pembahasan pasal RKUHP mengenai penghinaan presiden, terjadi perdebatan panjang di parlemen. Sebab, sebelumnya telah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal-pasal penghinaan presiden di KUHP yang berlaku saat ini. 

"Dari perdebatan panjang, maka akhirnya muncul kesepakatan bahwa pasal tersebut tetap ada, tetapi sifat deliknya harus diubah dari delik biasa yang sebelumnya ada di KUHP saat ini menjadi delik aduan sebagaimana pasal penghinaan terhadap orang biasa," kata Arsul.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat