Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Dulu Pernah Ada Partai Pancasila yang Ikut Pemilu

Partai Pancasila tidak mendapatkan kursi di parlemen maupun di konstituante

OLEH PRIYANTONO OEMAR

 

Pada sebuah pertemuan Masyumi di Balai Prajurit Manado pada 27 September 1954, seorang pemuda masuk ketika Wakil Ketua II Masyumi Kasman Singodimedjo hendak naik mimbar. “Merdeka! Hidup Bung Karno, hidup Pancasila,” teriak pemuda itu.

Tak ada keterangan mengenai motif aksi pemuda itu, tetapi pemuda itu kemudian ditangkap oleh tentara. “Seorang perwakilan dari Partai Kristen Indonesia pada pertemuan Masyumi telah menyatakan permintaan maafnya atas kejadian itu,” kata Kasman seperti dikutip De Nieuwsgier, 2 Oktober 1954.

Pancasila pada 1950-an masih hangat-hangatnya. Dimunculkan 1 Juni 1945, Pancasila kemudian ditetapkan sebagai dasar negara.

Pada 5 Oktober 1954 AH Hartono mendirikan partai dengan nama Partai Pancasila. Partai ini juga menyematkan simbol-simbol yang ada di burung Garuda yang menggambarkan hari kemerdekaan. Pengurus pusat ada 17 orang, struktur kepengurusan memiliki delapan departemen, dan majelis partai beranggotakan 45 orang.

Partai Pancasila, menurut laporan Preangerbode, hanya mendapat 100.519 suara pada pemilu parlemen (29 September 1955) dan 80.203 suara di pemilu konstituante (15 Desember 1955)--belum termasuk hasil perhitungan dari Ciparay. Partai ini tidak mendapatkan kursi di parlemen maupun di konstituante. Pada 1957, Partai Pancasila berfusi dengan Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS).

Baik pada pemilu parlemen maupun pemilu konstituante, GPPS memperoleh dua kursi. GPPS memperoleh 219.895 suara pada pemilu parlemen, berada di posisi ke-13. Pada pemilu konstituante, juga berada di urutan ke-13 dengan 152.892 suara.

 
Pada 1957, Partai Pancasila berfusi dengan Gerakan Pembela Panca Sila 
 
 

Partai Komunis Indonesia (PKI) memperoleh posisi keempat di daftar pemenang pemilu. Menjelang pemilu parlemen, PKI mengakui Pancasila sebagai dasar negara--diperkuat di Sidang Konstituante 1957.

“Keputusan yang diambil PKI baru-baru ini untuk menerima Pancasila tidak lain adalah taktik untuk menarik orang-orang yang menganut Pancasila dan kemudian membawa mereka ke ateisme," kata Wakil Ketua II Masyumi, Kasman Singodimedjo, kepada pers di Jambi, seperti dikutip Java-Bode, 2 Desember 1954.

Di luar urusan pemakaian Pancasila sebagai dasar negara dan nama partai, Pancasila dipakai pula untuk nama kelompok yang harus berhadapan dengan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Pada 1950, di Kalimantan, ada kelompok yang menamakan dirinya Patriot Pancasila. Kelompok ini memulai aktivitasnya pada 20 November 1950.

Pada mulanya, cuma membagi selebaran yang menyatakan Patriot Pancasila akan membasmi pejabat korup dan mantan mata-mata Belanda. Pun akan memberantas prostitusi dan perjudian serta mendorong dibentuknya koperasi. Namun, di kemudian hari, Patriot Pancasila membuat keonaran.

 
Pada sebuah malam Desember 1950, misalnya, Patriot Pancasila melakukan aksi sapu bersih di pelabuhan di kota Samarinda.
 
 

Pada sebuah malam Desember 1950, misalnya, Patriot Pancasila melakukan aksi sapu bersih di pelabuhan di kota Samarinda. Baku tembak dengan aparat pun terjadilah.

Mereka juga mencuri perahu motor Sultan Kutai yang beberapa hari kemudian ditemukan oleh APRI di dekat Muara Muntai. Barak polisi dan tentara di Samarinda juga ditembaki oleh Patriot Pancasila.

Akibat ulah Patriot Pancasila ini, di Samarinda sempat diberlakukan jam malam yang baru dicabut pada 12 Januari 1951. Pencabutan jam malam ini dilakukan setelah APRI memperoleh kesepakatan dengan satuan-satuan bersenjata Patriot Pancasila.

Namun, pentolan Patriot Pancasila melarikan diri ke pedalaman. Idjuh, ketua Patriot Pancasila, ditangkap polisi di pedalaman Banjarmasin pada Januari 1954. Sejumlah granat dan revolver disita polisi. Anak buah Idjuh melarikan diri, tetapi ada yang tertembak.

Setelah mendapat pengakuan kemerdekaan dari Belanda, ancaman keamanan memang masih mengganggu Indonesia. Saat memperingati Hari Pahlawan 1955, Presiden Sukarno menyebut, potensi memecah belah bangsa masih terus muncul, bahkan dengan mencari dukungan dari luar negeri. Partai Pancasila muncul mendukung pidato Sukarno ini.

Selain harus menghadapi ancaman-ancaman ini, pemerintah juga harus bekerja untuk ekonomi. Pada 1950, pendapatan per kapita Indonesia masih 16 dolar AS. Saat itu, pendapatan per kapita Amerika Serikat sudah mencapai 1.700 dolar.

 
Pada Desember 1950 itu, pemerintah menetapkan harga jual beras impor Rp 1,17 per kilogram.
 
 

Pada Desember 1950 itu, pemerintah menetapkan harga jual beras impor Rp 1,17 per kilogram. Namun, ketetapan ini tidak dipatuhi para pedagang. Yayasan Bahan Pangan menemukan harga jual beras impor mencapai Rp 1,4 per kilogram.

Para pedagang beralasan, beras impor tak disukai masyarakat, mereka harus menjual di atas harga yang ditetapkan pemerintah karena ada biaya tambahan pengolahan kembali.

Meski dalam kesulitan ekonomi, Menteri Keuangan Ong Eng Die, ketika berada di Amerika Serikat pada Oktober 1954, menyatakan, ekonomi Indonesia pada posisi yang cukup baik setelah masa-masa sulit selama perjuangan kemerdekaan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat