Kiai Miftah dari Tegal, Jawa Tengah, berjuang di ranah dakwah, pendidikan, dan bahkan jihad langsung melawan kolonialisme. | DOK BLOGSPOT

Mujadid

Kiai Miftah, Ulama Tawadhu dari Tegal

Masyarakat Muslim Tegal tidak akan melupakan nama Kiai Miftah karena jasanya.

OLEH MUHYIDDIN

 

 

"Tak hanya berdakwah, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo ini pun mendirikan berbagai sekolah Islam."

Perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran umat Islam, termasuk kalangan pesantren. Di Jawa Tengah, banyak ulama yang mengobarkan semangat para santri untuk turut berjihad fii sabilillah mengusir penjajah.

Salah seorang di antaranya adalah KH Miftah. Mubaligh yang alim dan rendah hati ini berasal dari Tegal. Pada zaman Revolusi, dia terkenal dengan julukan komandan santri. Para pengikutnya datang dari Pondok Pesantren Lirboyo.

Ia memimpin perjuangan kaum sarungan ini di Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945. Dalam palagan tersebut, keberanian kaum Muslimin memang teruji nyata. Pekik takbir mengiringi semangat mereka dalam mempertahankan kedaulatan RI. Hingga kini, momen tersebut dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Abdul Fatah dalam bukunya yang berjudul Kiai Miftah Tegal (2012) menuturkan kesaksian Kiai Abdul Muhyi, yakni seorang keponakan KH Miftah. Menurut Kiai Muhyi, jalannya Perang Surabaya diikuti umat Islam dari banyak pesantren di Jawa. Mereka berdatangan dari pelbagai pondok, termasuk Lirboyo.

Sementara, persenjataan yang berhasil direbut para pejuang dari tangan Jepang masih sedikit dan terbatas. Mereka yang tidak memiliki senjata api tetap berani berjibaku melawan musuh. Bahkan, lanjutnya, ada yang “hanya” membawa golok, bambu atau batang ketela runcing sebagai alat bertempur.

 
Salah seorang ulama yang turut memotori perjuangan dalam Perang Surabaya adalah Kiai Miftah.
 
 

Dan, salah seorang ulama yang turut memotori perjuangan tersebut adalah Kiai Miftah. Nama lengkapnya adalah Muhammad Miftah. Ia merupakan salah seorang mubaligh karismatik yang berasal Desa Kajen, Kecamatan Talang, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Tokoh ini lahir pada 6 Juni 1920 dari pasangan KH Mahmud dan Nyai Naimah.

Ia merupakan anak bungsu dari delapan bersaudara. Saudara-saudarinya adalah Nyai Mazinah, KH Mawardi, H Malawi, Nyai Mariah, Hajjah Solihah, Nyi Maemunah, dan Abdul Makin. Miftah dan kakak-kakaknya pun masih memiliki darah biru. Jika dirunut, silsilah ayahnya akan sampai pada Sultan Agung, penguasa Kerajaan Mataram Islam yang memerintah pada 1613-1645.

Saat Miftah masih berusia tiga tahun, ayahnya meninggal dunia. Tiga tahun kemudian, ibunya juga menyusul dipanggil oleh Allah SWT. Ia pun mengalami kesedihan yang mendalam. Perjalanan hidupnya untuk menjadi ulama besar dilaluinya dengan cobaan dan ujian.

Setelah kehilangan kedua orang tuanya, Miftah ikut bersama kakaknya, KH Mawardi di Pekalongan. Kakak beradik ini menghuni rumah di Jalan Kergon kenayagan Gang III No 15. Semangat sang anak yatim ini pun kembali bangkit untuk mewujudkan cita-cita ibunda tercinta. Almarhumah sangat berkeinginan untuk melihat anak-anaknya, termasuk Miftah, untuk menjadi generasi yang saleh serta bermanfaat bagi agama, bangsa, dan negara.

 
Perjalanan hidupnya untuk menjadi ulama besar dilaluinya dengan cobaan dan ujian.
 
 

Selain belajar kepada KH Mawardi, Miftah juga membantu pekerjaan sang kakak sehari-hari. Kiai Mawardi adalah seorang pengasuh pondok pesantren yang menjadi tempat sekitar 100 orang santri menuntut ilmu. Salah seorang gurunya adalah Syekh Kholil Bangkalan, Madura.

Di pondok pesantren kakaknya itu, Miftah muda memperdalam ilmu Alquran dan gramatika bahasa Arab. Proses belajar itu dijalaninya kurang lebih selama dua tahun. Setelah kegiatan mengaji pagi, Miftah biasanya ikut membantu berjualan es balok di kios milik Kiai Mawardi. Ia pun sering bekerja di kebun milik sang kakak untuk bercocok tanam atau sekadar membersihkan rumput-rumput liar.

Putra KH Mawardi, Kiai Abdul Muhyi, mengatakan, sejak di Pekalongan Miftah saat itu juga sudah mulai menghafal sejumlah kitab. Sebut saja, Jurumiah, Imriti, dan Alfiah Ibnu Malik. Karena itu, tak heran jika pada usia 11 tahun Miftah sudah berhasil mengingat isi Alfiah, sebuah kitab syair tentang tata bahasa Arab yang ditulis pada abad ke-13.

Setelah dua tahun belajar di Pekalongan, pemuda ini kemudian melanjutkan pendidikannya ke Pondok Pesantren Kempek Cirebon, Jawa Barat. Dari sana, Miftah meneruskan rihlah keilmuannya ke Pondok Pesantren Watu Congol, Magelang, yang diasuh oleh Mbah Dalhar. Setelah itu, barulah ia memantapkan hatinya untuk belajar ke Pondok Pesantren Hidayatul Mutadiin Lirboyo, Kediri.

 
Miftah belajar di pesantren Lirboyo kurang lebih 21 tahun lamanya.
 
 

Pada waktu itu, pengasuh Pesantren Lirboyo adalah KH Abdul Karim atau yang lebih dikenal sebagai Mbah Manab. Miftah belajar di pesantren tersebut kurang lebih 21 tahun lamanya. Ia dikenal sebagai seorang santri yang cerdas, tetapi selalu tawadhu. Pantang baginya untuk bersikap sombong atau merasa lebih alim daripada yang lain.

Selama menjadi santri, dia selalu menaati perintah kiainya. Karena itu, ia pun menjadi santri kesayangan Mbah Manab dan panutan seluruh santri Tegal di Lirboyo.

Layaknya santri yang sudah lama di pesantren, Kiai Miftah menjadi tempat mengaji para santri junior yang ingin menambah ilmu di Lirboyo. Ia mengajar mereka di kamarnya sendiri, alih-alih di masjid. Semua itu karena dia ingin selalu rendah hati di lingkungan pesantren.

Saat di Lirboyo, Kiai Miftah muda memang mendapat kepercayaan dari gurunya. Ia pun diberikan izin khusus oleh pengasuh untuk mengajar di pesantren. Padahal, persyaratan seorang santri untuk bisa mengajar saat itu sangatlah berat.

Tokoh panutan

Pengembaraannya yang cukup lama di pesantren Lirboyo membuahkan hasil. Kiai Miftah akhirnya menjadi seorang ulama yang mengamalkan ilmunya. Saat pulang ke kampung halaman, ia disambut dengan suka cita oleh warga setempat. Dia pun menjadi seorang tokoh panutan masyarakat, khususnya di kawasan Tegal.

Setelah pulang ke kampung halaman di Kajen, Kiai Miftah sempat menikah dengan putri salah satu tokoh Kajen yang bernama Malikha. Namun, saat pernikahannya baru berusia tujuh hari, Nyai Malikha berpulang ke rahmatullah.

Selama lebih dari setahun, Kiai Miftah hidup menduda. Karena kasihan melihat kondisi sang kiai, mertuanya kemudian menjodohkannya dengan seorang wanita bernama Nyai Hj Umi Kulsum. Sejak saat itu, ia pun mulai membina keluarga. Di tengah masyarakat pun, perannya kian besar sebagai pembimbing umat.

Awalnya sang istrilah yang pertama kali mengajarkan Alquran dan qir’aat kepada jamaah. Setelah itu, ada beberapa masyarakat yang mengusulkan agar Kiai Miftah juga ikut mengajar. Dengan begitu, pasangan ini menjadi guru keagamaan bagi masyarakat.

Akhirnya, Kiai Miftah memulai membuka majelis pengajian yang membahas Tafsir Jalalain di rumahnya sendiri. Setelah 10 hari mengajar di rumahnya, lokasi pengajian kemudian dipindah ke Masjid Al Rodloh. Demikianlah keadaannya sampai menjelang akhir hidupnya.

 
Kiai Miftah juga mengembangkan ilmu agama melalui pendidikan formal.
 
 

Kiai Miftah juga mengembangkan ilmu agama melalui pendidikan formal, di antaranya ia mendirikan Yayasan Taman Penawaja (pendidikan ahli sunnah waljamaah) yang membawahi pendidikan formal SMP dan SMA. Dalam perkembangannya Penawaja mendapatkan sambutan dan respon positif dari masyarakat.

Setelah berhasil mendirikan Yayasan Taman Penawaja, Kiai Miftah juga terlibat dalam mendirikan Perguruan Tinggi Islam di Kabupaten Tegal, yaitu Institut Agama Islam Bakti Negara Tegal. Ia juga mendirikan MTs Nahdaltul Ulama (NU) dan SMA NU Wahid Hasyim, MTs NU Sunan Kalijaga, dan Yayasan Amal Umat Islam (Yaumi).

Masyarakat Muslim Kabupaten Tegal tidak akan melupakan nama Kiai Miftah karena jasa-jasanya dalam pembangunan umat. Dengan segala konsekuen dan disiplinnya, ia juga pernah menjadi rais syuriah Pengurus Cabang NU Tegal hingga empat periode dari 1972 sampai 1984.

Baginya, hidup adalah perjuangan dan pengabdian. Itulah yang dijadikan semboyan dalam menjalani hidup. Dalam bukunya yang berjudul "Kiai Miftah Tegal", Abdul Fatah menjelaskan, beberapa kiprah dan perjalanan hidup Kiai Miftah selalu berorientasi pada perjuangan membangun umat agar menjadi manusia yang bernilai di hadapan Tuhan dan manusia.

 
Perjalanan hidup Kiai Miftah selalu berorientasi pada perjuangan membangun umat agar menjadi manusia yang bernilai.
 
 

Sifat perjuangan Kiai Miftah sudah tampak sejak di pesantren. Contoh konkretnya adalah ketika Kiai Miftah berangkat bersama para santri dalam mempertahankan kemerdekaan, bertempur melawan penjajah pada 10 November 1945 di Surabaya, yang akhirnya tanggal itu ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari pahlawan.

Menurut Abdul Fatah, jiwa perjuangan Kiai Miftah didorong oleh niat suci mencari ridha Allah Swt dan mengamalkan ajaran hadits Nabi SAW, "Khairunnasi anfa'uhum linnas", sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.

Selama hidupnya, Kiai Miftah telah menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Namun, setiap manusia tidak bisa menolak datangnya kematian.

Setelah melakukan pengabdian dan berjuang mewujudkan kemerdekaan, dai ini akhirnya dipanggil oleh Allah Ta’ala pada Senin, 7 Nopember 1994. Umat Islam, khususnya di Tegal, pun menangisi kepulangannya.

photo
Salah satu pesan KH Miftah kepada santri-santrinya ialah agar mereka selalu menjadi manusia yang menebar manfaat di tengah masyarakat. - (DOK ANTARA Aloysius Jarot Nugroho)

 

Jangan Tinggalkan Ilmu Agama

 

Semasa hidupnya, Kiai Muhammad Miftah mencurahkan seluruh ilmunya untuk membimbing umat Islam, khususnya yang di Tegal, Jawa Tengah, dan sekitarnya. Ulama tersebut juga menjadi tempat banyak orang untuk meminta nasihat. Beberapa petuah sang alim ditulis Abdul Fatah dalam bukunya yang berjudul Kiai Miftah Tegal (2012).

Misalnya, dalam pandangan Kiai Miftah, orang boleh belajar apa saja asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Karena itu, ia pun mendirikan sejumlah sekolah yang tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama, tetapi juga umum kepada para murid. Mereka mendapatkan banyak bekal untuk menempuh masa depan, seperti ilmu matematika, ekonomi, politik, dan lain-lain.

Bagaimanapun, Kiai Miftah tetap mewanti-wanti umat Islam agar tidak meninggalkan ilmu agama. Sebab, lanjutnya, ilmu apa saja yang dijiwai oleh agama akan membawa kemaslahatan umum. Sebaliknya, ilmu apa pun yang bertentangan dengan ajaran Islam akan membawa kemudharatan dan kerusakan di atas muka bumi.

 
Kiai Miftah tetap mewanti-wanti umat Islam agar tidak meninggalkan ilmu agama.
 
 

Karena itu, jauh-jauh hari sebelum lembaga pendidikan umum didirikan bersama tokoh masyarakat, Kiai Miftah selalu berpesan agar tidak meninggalkan pelajaran agama. Baginya, siswa yang belajar di sekolah-sekolah umum sangat perlu untuk dibekali ilmu agama.

Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Tegal KH Hambali Usman mengatakan, Kiai Miftah adalah seorang mubaligh yang mewariskan ilmu dan keteladanan. Ulama yang lahir pada 1920 ini dikenal sebagai seorang tokoh yang gemar bersilaturahim, zuhud, serta meluangkan waktu bertafakur mengingat Allah SWT.

“Kiai Miftah selalu menghargai dan menghormati yang lebih muda, tidak banyak bicara kecuali yang bermanfaat, tawadhu. Dirinya menerapkan pola hidup sederhana,” kata Kiai Hambali.

Dia meneruskan, Kiai Miftah adalah orang yang santun. Tak banyak bicara, tetapi sekali bicara maka kata-katanya selalu bermanfaat dan mengandung mutiara hikmah.

Kebanyakan ulama pewaris nabi memang mempunyai sifat pendiam seperti itu. Artinya, ia akan diam kalau memang tak perlu berbicara.

 
Tak banyak bicara, tetapi sekali bicara maka kata-katanya selalu bermanfaat dan mengandung mutiara hikmah.
 
 

Dalam bukunya, Abdul Fatah menjelaskan, Kiai Miftah memang tak banyak bicara bila tak diperlukan. Namun, ketika ditanya hukum agama, ia mampu menjelaskannya secara gamblang. Ketika ditanya soal hukum Islam, biasanya Kiai Miftah akan membuka kitab untuk ditunjukkan kepada si penanya. Hal ini untuk menunjukkan bahwa fatwanya tidak asal-asalan, tapi ada dasar pengambilannya.

Walaupun Kiai Miftah merupakan sosok ulama yang alim dan menguasai berbagai bidang ilmu keislaman, seperti fikih, tauhid, tasawuf, ilmu falak, dan ilmu alat, kedalaman ilmunya tidak menjadikannya sombong. Sebaliknya, ia justru lebih tawaduk, rendah hati, dan merasa belum alim.

Banyak yang bisa diteladani dari sosok Kiai Miftah. Apalagi, di zaman sekarang ini banyak orang yang baru alim sedikit dan berjasa pada umat, sudah merasa paling hebat dan merasa ditokohkan. Bahkan, menuntut orang lain untuk menghormatinya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat