Oni Sahroni | Daan Yahya | Republika

Konsultasi Syariah

Jual Beli Data Pribadi

Data pribadi sering diperuntukkan sebagai syarat transaksi untuk menjelaskan identitas konsumen atau mitra

DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

Assalamu’alaikum wr. wb. Banyak informasi tentang data pribadi yang diperjualbelikan oleh pihak tertentu. Bagaimana status data pribadi dalam fikih? Bagaimana jika diperjualbelikan -- Hardi, Aceh

Wa’alaikumussalam wr. wb.

Pada umumnya, data pribadi sering diperuntukkan sebagai syarat transaksi untuk menjelaskan identitas konsumen atau mitra. Dengan identitas tersebut, penjual bisa mengetahui identitas konsumen dengan jelas dan bisa diterima sebagai mitra.

Memperjualbelikan data pribadi seperti yang diserahkan konsumen saat transaksi itu tidak diperbolehkan (diharamkan) karena alasan berikut.

Pertama, karena data pribadi adalah hak milik orang lain yang tidak boleh dimanfaatkan apalagi diperjualbelikan. Merujuk pada tradisi, data pribadi itu sebuah kekayaan dan aset materiil yang melekat pada diri seseorang. Seperti seseorang yang memiliki data pribadi dan keterangan identitas lainnya, maka itu adalah hak miliknya yang bernilai seperti kekayaan materiil yang lain.

Menurut Standar Syariah Internasional AAOIFI dan Lembaga Fikih Islam OKI, setiap data pribadi yang diterima oleh mitra atau penjual dikategorikan sebagai hak yang dimiliki oleh si empunya yang bernilai materiil. (Standar Syariah Internasional AAOIFI Nomor 38 tentang at-Ta’amulat al-Maliah bi al-Internit dan Keputusan Lembaga  Fikih Islam OKI nomor 5 pada pertemuan V tahun 1988).

Karena dimiliki oleh si empunya, maka data pribadi tersebut tidak boleh diperjualbelikan layaknya komoditas. Jika terjadi, maka itu termasuk tindakan pencurian dan kezaliman yang terlarang sebagaimana firman Allah SWT, “…janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS al-Baqarah; 190).

 
Kesimpulan bahwa data pribadi itu dikategorikan hak yang dimiliki oleh si pemilik data itu merujuk kepada tradisi.
 
 

Kesimpulan bahwa data pribadi itu dikategorikan hak yang dimiliki oleh si pemilik data itu merujuk kepada tradisi (‘urf). Ibnu Taimiyah mengatakan, “Setiap ketentuan yang tidak ada batasannya baik dalam bahasa maupun syara, maka yang menjadi rujukan adalah tradisi setempat”. (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 3/272).

Kedua, data pribadi itu selain sebagai kekayaan materiil juga adalah rahasia yang tidak boleh disebarluaskan. Saat dimanfaatkan dan diperjualbelikan menjadi komoditas, maka telah menyebar luaskan rahasia si pemiliknya kepada pihak lain.

Ketiga, melanggar kesepakatan, karena data pribadi tersebut diserahkan sebagai prasyarat agar mitra tersebut diketahui identitasnya. Seperti para konsumen yang melakukan transaksi tertentu seperti pembelian online di perusahaan yang harus mengisi data pribadi.

Seperti halnya seseorang yang membeli nomor kontak dari sebuah perusahaan dengan mengisi data pribadi dalam platform, maka data pribadi tersebut itu harus disimpan dan tidak untuk disebarluaskan. Oleh karena itu, saat data pribadi menjadi komoditas dan diperjualbelikan, maka telah melanggar atau wanprestasi terhadap kesepakatan dalam perjanjian.

 
Saat data pribadi menjadi komoditas dan diperjualbelikan, maka telah melanggar atau wanprestasi terhadap kesepakatan dalam perjanjian.
 
 

Keempat, jual beli data pribadi tersebut juga dikategorikan pencurian dan penipuan atau dalam bahasa fikih memanfaatkan hak milik orang lain dengan cara yang tidak sah atau batil. Sebagaimana kaidah fikih, “Tidak boleh melakukan perbuatan hukum atas milik orang lain tanpa seizinnya”.

Dari keempat alasan tersebut, bisa disimpulkan bahwa tindakan jual beli itu adalah kezaliman, merugikan pemilik data pribadi, serta merusak tatanan dan pasar. Hal ini sebagaimana peraturan perundang-undangan.

“Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.” (Pasal 26 UU 11/2008 jo. 19/2016 ITE).

Selanjutnya, hal ini harus menjadi perhatian pihak-pihak terkait baik perusahaan yang harus komitmen dengan kesepakatan, tidak melakukan pemanfaatan, atau menjadikannya sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Begitu pula, nasabah harus hati-hati saat memilih perusahaan mitra. Begitu pula, otoritas harus memberikan pengawasan dan perlindungan khususnya kepada para konsumen dan masyarakat pada umumnya.

Wallahu a’lam.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat