Jamaah melaksanakan shalat tarawih di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, beberapa waktu lalu. Pemerintah Arab Saudi membuka Dua Masjid Suci untuk jamaah lokal dengan penerapan protokol kesehatan. | DOK Saudi Press Agency

Khazanah

Hukum Shalat pada Waktu Terlarang

Imam Nawawi berkesimpulan bahwa waktu terlarang untuk shalat hanya berlaku untuk shalat sunah mutlak yang tidak punya sebab.

OLEH IMAS DAMAYANTI 

Ada beberapa waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat. Kapan sajakah waktu-waktu terlarang itu? Bagaimana pula hukumnya jika tetap melaksanakan shalat pada waktu tersebut?

Imam Nawawi menjelaskan bahwa para ulama sepakat untuk mengharamkan shalat setelah shalat Subuh. Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW: “Laa shalata ba’da as-subhi hatta tartafi’a as-syamsu wa laa shalata ba’da al-ashri hatta taghiba as-syamsu.” Artinya, “Tidak ada shalat setelah shalat Subuh sampai matahari meninggi dan tidak ada shalat setelah Ashar sampai matahari tenggelam.”

Selain itu, dilarang pula melaksanakan shalat ketika matahari berada di atas kepala. Yakni, ketika matahari berada tidak condong ke timur ataupun ke barat sehingga matahari tergelincir ke barat. Lalu, dilarang pula melaksanakan shalat dari mulai matahari terbit hingga meninggi dan dari matahari mulai tenggelam hingga tenggelam sempurna.

Imam Nawawi berkesimpulan bahwa waktu terlarang untuk shalat hanya berlaku untuk shalat sunah mutlak yang tidak punya sebab. Adapun shalat sunah yang memiliki sebab masih diperbolehkan untuk dilaksanakan dengan ketentuan syariat.

Adapun landasan dari implikasi hukum terkait shalat pada waktu-waktu terlarang, antara lain, hadis dari Uqbah bin Amir RA: “Terdapat tiga waktu yang Rasulullah SAW melarang kami untuk shalat atau menguburkan orang yang mati di antara kami. Yaitu pertama, ketika matahari terbit (muncul) sampai meninggi, kedua adalah ketika matahari berada di atas kepala hingga tergelincir ke barat, ketiga adalah ketika matahari akan tenggelam hingga tenggelam sempurna.” Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Muslim.

Sementara, dalam buku Waktu dan Tempat Shalat karya Ustaz Isnan Ansory dijelaskan, Imam as-Shan’ani menjelaskan bahwa larangan mengerjakan shalat pada waktu-waktu terlarang berimplikasi hukum haram. Maka, shalat yang dilakukan pada waktu-waktu tersebut dinilai tidak sah dan dapat menyebabkan dosa.

Imam as-Shan’ani berpendapat, larangan untuk shalat pada tiga waktu tersebut bersifat umum untuk shalat fardhu maupun shalat sunah. Adapun implikasi dari larangan tersebut adalah haram sebagaimana hukum asal dari larangan haram.

Hanya, larangan shalat fardhu dikecualikan berdasarkan hadis: “Siapa pun yang tertidur, waktunya adalah ia teringat.” Maka, atas dasar itu, larangan tersebut hanya terkait shalat sunah, bukan shalat fardhu.

Adapun untuk shalat yang dilarang pada waktu terlarang di luar Masjidil Haram, menurut Imam as-Shan’ani, hal itu bergantung pada jenis shalat yang dilakukan. Misalnya, para ulama umumnya berpendapat bahwa shalat fardhu yang diqadha boleh dilakukan pada waktu yang terlarang.

Misalnya, jika seseorang terlupa dari melaksanakan shalat Zhuhur. Kemudian ia baru teringat setelah shalat Ashar dilakukan. Maka, shalat Zhuhurnya dapat diqadha setelah Ashar. Para ulama umumnya berpendapat demikian kecuali ulama dari kalangan Hanafiyah yang tetap memakruhkannya.

Para ulama hanya berselisih pendapat mengenai shalat sunah yang memiliki sebab apakah boleh dilakukan di waktu tersebut. Seperti shalat Tahiyatul Masjid, sujud tilawah, shalat Khusuf, shalat Id, hingga sujud Syukur dan shalat jenazah. Ulama dari kalangan Mazhab Syafii menyatakan, boleh melakukan jenis-jenis shalat tersebut pada waktu terlarang.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat