ILUSTRASI Penjajahan yang terjadi di bumi Palestina bermula sejak usai Perang Dunia I. Banyak wilayah Kekhalifahan Turki Utsmaniyah di Asia Barat jatuh ke tangan Inggris. Termasuk di antaranya Palestina. | DOK AP Mahmoud Illean

Tema Utama

Akar Penjajahan di Palestina

Para pendiri Zionis internasional sesungguhnya adalah keturunan orang-orang dari luar Palestina.

OLEH HASANUL RIZQA

Sejak Hari Nakbah 15 Mei 1948, penjajahan Israel atas Palestina terus berlangsung. Palestina kini menjadi satu-satunya negara yang masih diduduki kekuatan kolonial. Pangkal nestapa ini adalah Zionisme politik yang bertumpu cuma pada serangkaian dalih.

Mulanya Penjajahan Atas Palestina

Pada masa amirul mukminin Umar bin Khattab, umat Islam untuk pertama kalinya membebaskan Yerusalem. Sejak itu, tanah suci ketiga setelah Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawarrah tersebut mengalami pergantian kekuasaan silih berganti.

Beberapa kali, kota ini jatuh ke tangan non-Muslim meskipun kemudian berhasil kembali berada di pangkuan Islam. Terakhir, Kesultanan Turki Utsmaniyah pada 1517 dapat menguasainya setelah mengalahkan Dinasti Mamluk.

Hingga tahun 1917 atau selama kira-kira empat abad, kekhalifahan yang berpusat di Konstantinopel (Istanbul) itu memerintah Yerusalem. Kota tersebut, bersama dengan Gaza dan Nablus, secara administratif masuk ke dalam wilayah Provinsi Suriah (Vilayet Syria).

Para sultan Turki menyadari signifikansi Yerusalem tidak hanya bagi umat Islam, melainkan juga Yahudi dan Kristen. Karena itu, kebijakan-kebijakan yang diterapkan di sana cenderung menghargai kemajemukan dan keterbukaan.

Terkait kaum Yahudi, arah politik Utsmaniyah berkali-kali menuai pujian. Salah satunya adalah uluran tangan Turki untuk kaum Yahudi yang terusir dari tempat tinggalnya di Andalusia (Spanyol). Yahudi Sephardi, demikian mereka disebut, pada abad ke-15 menjadi sasaran Inkuisisi Spanyol. Oleh sultan Turki, para pengungsi Sephardi itu dibolehkan tinggal di wilayah kekuasaannya, termasuk Yerusalem.

 
Oleh sultan Turki, para pengungsi Sephardi itu dibolehkan tinggal di wilayah kekuasaannya, termasuk Yerusalem.
 
 

Budi baik Turki itu menjadi memori abadi di benak sejumlah kaum Yahudi bahkan hingga abad modern. Pada 1870-an, sebuah organisasi Yahudi internasional yang berbasis di Paris, Prancis, Alliance Israelite Universelle, mengirimkan surat yang berisi ucapan selamat kepada Sultan Abdulhamid II.

Salah satu kutipannya mengenang kembali momen penyelamatan atas kaum Yahudi Sephardi, “Pada musim semi tahun 1492, kaum Yahudi yang diusir dari Spanyol menemukan perlindungan di Turki.” Demikian dikutip dari buku The Jews of the Ottoman Empire (1994).

photo
Lukisan karya Emilio Sala Francés yang menggambarkan pengusiran bangsa Yahudi dari Spanyol pada tahun 1492 - (DOK Wikipedia)

Akan tetapi, abad ke-20 menjadi saksi perubahan dramatis geopolitik di Turki Utsmaniyah. Pada 1908, Abdul Hamid II digulingkan dari kekuasaannya. Kendali pemerintahan dipegang militer. Pemimpinnya adalah Enver Pasha dan Talat Pasha. Keduanya membuka aliansi dengan Jerman, beberapa saat sebelum pecah Perang Dunia I (1914-1918).

Turki dan Jerman, bersama dengan Austria-Hongaria, tergabung dalam Blok Sentral. Musuh mereka adalah kubu Sekutu, yang terdiri atas antara lain Britania Raya, Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat (AS). Untuk melemahkan Utsmaniyah, Inggris mengajak bangsa Arab untuk memberontak terhadap Turki.

Di Hijaz, pemimpin Makkah kala itu telah bersepakat untuk melawan Utsmaniyah dengan sokongan Inggris. Britania Raya menjanjikan, bila Turki kalah, pihaknya akan mendukung Arab untuk menguasai wilayah Semenanjung Arab, Suriah, dan Irak. Janji itu termaktub dalam korespondensi antara Komisaris Tinggi Inggris di Mesir Sir Henry McMahon dan Syarif Hussein bin Ali selaku amir Makkah.

PD I berakhir pada 1918. Namun, setahun sebelumnya Inggris “terlanjur” membuat perjanjian dengan tokoh-tokoh Zionis Internasional. Gerakan ini dirintis pada 1897 oleh aktivis Yahudi dari Austro-Hongaria, Theodor Herzl. Dia dan para pendukungnya mendambakan negara bagi seluruh orang Yahudi, yang saat itu hidup terpencar-pencar di berbagai belahan dunia.

Sekira 200 orang mengikuti kongres pertama Gerakan Zionis Internasional di Basel, Swiss, pada 1897. Mereka bersepakat, negara Yahudi yang diimpikan itu akan bernama Israel. Dan, lokasinya pun ditetapkan, yakni di Palestina, yang kala itu masih menjadi bagian dari Turki Utsmaniyah.

photo
Theodor Herzl di Basel pada tahun 1897. - (DOK Wikipedia)

Strategi Zionis

Sebelum Turki jatuh dalam kekalahan di PD I, Herzl dan kawan-kawan sudah berupaya merebut Yerusalem untuk Yahudi. Berkali-kali, mereka menemui sultan Turki untuk mengutarakan maksudnya.

Berbagai rayuan disampaikan, tetapi tak pernah berhasil. Misalnya, pada 1902 delegasi Herzl kembali mendatangi Sultan Abdulhamid II.

Utusan Zionis Internasional ini menyodorkan sejumlah tawaran. Sebut saja, Zionis akan memberikan hibah sebesar 150 juta poundsterling untuk sultan pribadi. Selain itu, pihaknya akan melunasi semua utang pemerintah Utsmaniyah saat itu, yang mencapai 33 juta pounsterling.

Bagaimanapun, bujuk rayuan itu ditolak mentah-mentah oleh sang pemimpin Muslim.

Katanya kepada Herzl, “Sungguh, saya tidak akan melepas satu jengkal pun tanah Palestina. Sebab, tanah ini bukan milik pribadiku, tetapi umat. Biarlah kalian, Yahudi, menyimpan kekayaan yang banyak itu. Selama saya masih hidup, walaupun tubuhku terpotong-potong, kondisi itu lebih ringan daripada lepasnya Palestina dari umat.”

Jatuhnya kekuasaan Abdul Hamid II, yang ditambah pula dengan kondisi Turki yang kian merana di tengah PD I, membuat Zionis Internasional gembira. Target untuk mencaplok Yerusalem kian terbuka. Mereka pun mulai menjalankan pendekatan-pendekatan, terutama dengan Britania Raya sebagai anggota utama Sekutu.

photo
Sultan Abdul Hamid II yang memerintah di masa Kesultanan Turki Utsmaniyah - (DOK Wikipedia)

Pada 1917, Britania Raya merebut Palestina—wilayah antara Sungai Yordan dan pesisir Laut Mediterania—dari tangan kekuasaan Turki. Zionis melihat ini sebagai kesempatan besar. Apalagi, pada saat yang sama, Inggris pun menunjukkan keinginan yang kuat untuk menjalin hubungan jangka panjang dengan Yahudi.

Eve Spangler dalam Understanding Israel/Palestine (2015) menjelaskan beberapa alasannya. Dengan mendukung Yahudi, Inggris berharap kaum ini dapat semakin percaya diri untuk memberontak terhadap Kekaisaran Jerman, motor utama Blok Sentral.

Dalam kaitannya dengan sesama Sekutu, Inggris meyakini kebijakannya itu akan direspons positif oleh AS. Apalagi, presiden Woodrow Wilson memiliki dua penasihat tepercaya dari kalangan Yahudi, Louis Brandeis dan Felix Frankfurter. Pendukung Bolshevik Rusia pun tidak sedikit berasal dari kaum Yahudi.

Pada 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Britania Raya Arthur James Balfour mengirimkan sepucuk surat kepada tokoh Yahudi di Inggris, Lionel Walter Rothschild. Surat tersebut berisi dukungan penuh Inggris atas “tanah air nasional bagi orang Yahudi” di Palestina.

photo
James Arthur Balfour - (DOK Wikipedia)

Deklarasi tersebut memang disertai dengan pernyataan eksplisit: “tidak boleh ada hal-hal yang dapat merugikan hak-hak sipil dan keagamaan dari rakyat non-Yahudi.”

Akan tetapi, pada praktiknya Deklarasi Balfour kemudian menjadi tonggak awal penjajahan Zionis atas Palestina, negeri yang berpenduduk mayoritas Arab-Muslim alias non-Yahudi.

Maka sesudah PD I, para pemuka Arab seperti ditusuk dari belakang. Mereka tidak menyangka, kemenangan Sekutu pada 1918 justru menyisakan masalah baru, yakni masuknya gelombang migrasi Yahudi dari Eropa. Arus imigran itu semakin besar ketika Perang Dunia II (1939-1945) pecah. Strategi Zionis untuk mendekati Inggris demi menduduki Palestina selangkah lagi berbuah nyata.

photo
Lembaran asli surat Arthur Balfour kepada Walter Rothschild yang berisi Deklarasi Balfour. - (DOK Wikipedia)

Klaim menyesatkan

Penjajahan yang dialami bangsa Palestina bermula sejak tanah mereka dirampas dan dijadikan sebagai tempat berdirinya “negara” Israel pada 1948. Adanya Israel merupakan Zionis dalam wujud negara. Secara kebahasaan, zionis berarti mereka yang mendambakan “kembali ke Bukit Zion”, yakni sebuah kawasan geografis di Yerusalem, Palestina.

Sebelum 1897, zionisme sudah ada, tetapi wujudnya masih “kepercayaan tradisional". Dalam arti, orang-orang Yahudi mempercayai bahwa Tuhan telah berjanji kepada Nabi Musa untuk menganugerahkan Yerusalem kepada bangsa Yahudi. Karena itu, mereka meyakini, kota suci tersebut suatu saat akan menjadi miliknya untuk selama-lamanya.

photo
Peta dari dokumen Kementerian Luar Negeri Inggris nomor FO 371/4368 (November 1918) menampilkan Palestina di dalam wilayah Arab. - (DOK Wikipedia)

Sejak kongres di Basel, Swiss, pada 1897, mengemukalah apa yang disebut Zionisme politik. Ini tidak sama seperti yang diusung Yahudi tradisional atau “Yahudi asli". Zionisme tradisional meyakini, kembalinya mereka ke Bukit Zion hanya terjadi ketika sang Raja Yahudi alias juru selamat (messiah) telah datang di antara mereka. Messiah ini akan memimpin mereka untuk mengambil alih Yerusalem.

Sementara, zionisme politik yang diusung Herzl dan para pendukungnya memandang, pengambilalihan Bukit Zion (baca: Palestina) tidak perlu menunggu kedatangan sang juru selamat. Bagi mereka, kaum Yahudi harus aktif sendiri dan merebut “tanah yang dijanjikan” itu dengan cara apa pun. Perpecahan antara zionisme tradisional dan politik sebenarnya sudah tampak bahkan sebelum kongres di Swiss tersebut.

 
Faktanya, hampir seluruh pendiri Gerakan Zionis Internasional adalah keturunan Yahudi imigran dari Eropa, bukan Timur Tengah.
 
 

Faktanya, hampir seluruh pendiri Gerakan Zionis Internasional adalah keturunan Yahudi imigran dari Eropa, bukan Timur Tengah. Nyaris mereka semua pun adalah Yahudi Ashkenazi.

Ada berbagai hipotesis tentang asal mula Ashkenazi. Ernest Renan (1823-1892), filsuf Prancis yang juga pakar sejarah Semit mengemukakan Teori Khazaria. Mengutip karyanya, Judaism as a Race and as a Religion (1883), ia berpendapat, Yahudi Ashkenazi adalah keturunan bangsa Khazar yang pernah berjaya di Asia Tengah.

Mereka tidak berasal dari Kanaan (Palestina). Justru, asalnya adalah bangsa Turki—merujuk pada Asia Tengah, bukan negara Turki modern—yang kemudian memeluk agama Yahudi. Sesudah bangsa Mongol menyerbu Imperium Khazaria di utara Laut Kaspia, lanjut Renan, mereka pun bermigrasi ke Eropa. Bahasa yang dipakainya bukanlah Ibrani, seperti kebanyakan kaum Yahudi penghuni Kanaan, melainkan Yiddish.

 
Yahudi Ashkenazi adalah keturunan bangsa Khazar yang pernah berjaya di Asia Tengah.
 
 

Baru-baru ini, muncul riset tes genetik terkait Yahudi Ashkenazi. Itu dilakukan seorang ahli genetika dari Universitas John Hopkins School of Public Health, Eran Elhaik. Pada 2013, ilmuwan Israel ini mempublikasikan hasil penelitiannya dalam artikel “The Missing Link of Jewish European Ancestry: Contrasting the Rhineland and the Khazarian Hypothese".

Ia menemukan, genom orang Yahudi Ashkenazi didominasi komponen Khazaria hingga 30-38 persen. Sementara, komponen Timur Tengah-nya sangat kecil. Artinya, mereka sangat sulit untuk dianggap berasal dari Tanah Kanaan atau Palestina.

Elhaik juga mengungkapkan, adanya kesamaan genetika antara Yahudi Ashkenazi dan populasi Kaukasus bila ditinjau dari garis ayah, berdasarkan riset atas Y-Chromosom DNA, maupun garis ibu, bila dilihat dari Mitochondrial DNA.

Maka, bagaimana mungkin Yahudi Ashkenazi mengeklaim Yerusalem sebagai tanah airnya, padahal nenek moyang mereka berasal dari Asia Tengah atau Kaukasus?

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat