Priyantono Oemar | Daan Yahya | Republika

Kisah Dalam Negeri

Pencurian Buku yang Justru 'Menguntungkan' Balai Pustaka

Ia menyimpulkan, telah ada pencurian, tapi ia membiarkan lubang itu seperti berharap ada pencurian lagi.

OLEH PRIYANTONO OEMAR

Suatu pagi di bulan Juni 1937, Van Cleef melihat ada lubang di lantai kayu gudang Balai Pustaka (didirikan pada 1908 dengan nama Volkslectuur). Kepala Percetakan Balai Pustaka itu lalu memeriksa buku-buku.

Ternyata, ia mengetahui ada buku yang hilang. Ia menyimpulkan, telah ada pencurian, tapi ia membiarkan lubang itu seperti berharap ada pencurian lagi.

Benar. Esok harinya, buku yang hilang bertambah. Dengan dibiarkanya lubang itu, pencuri mengira aksi mereka belum diketahui. Meski membiarkan lubang itu, Van Cleef melaporkan pencurian itu ke polisi. Ketika polisi menyelidiki, jumlah yang telah dicuri mencapai 6.385 buku.

Pada 1937 masih merupakan tahun sulit bagi Balai Pustaka setelah terkena imbas krisis ekonomi sejak 1930. Pada 1929 penjualan buku Balai Pustaka masih mencatat 340 ribu buku. Sejak 1930, mengalami penurunan, hingga puncaknya pada 1935 yang hanya menjual 140 ribu buku dengan nilai 70 ribu gulden.

Pada 1937 ada peningkatan penjualan, tetapi belum bisa menyamai penjualan 1929. Pada 1937 itu buku yang terjual mencapai 200 ribu dan meningkat lagi pada 1938 mencapai 320 ribu buku.

 
Dengan penjualan 1937 dan 1938 yang memperlihatkan perbaikan, Balai Pustaka selamat dari penutupan.
 
 

Menghadapi masa-masa sulit itu, muncul tekanan agar pemerintah menutup saja Balai Pustaka. Namun, dengan penjualan 1937 dan 1938 yang memperlihatkan perbaikan, Balai Pustaka selamat dari penutupan. Kondisi ekonomi masyarakat pada 1937-1938 itu dicatat De Locomotief, belum membaik.

Kesibukan terus berlangsung di Balai Pustaka kendati terjadi pengurangan karyawan. “Pekerjaan ini tidak pernah berhenti,” tulis De Sumatra Post menggambarkan aktivitas di kantor Balai Pustaka, gedung Tuin du Bus. Penerbitan naskah baru dan penerbitan ulang terus dilakukan.

Balai Pustaka mengadakan kompetisi penulisan novel dan karya ilmiah populer. Sebanyak 400 karya telah masuk hingga Fabruari 1937.

photo
Kios Balai Poestaka di Purwokerto pada masa Hindia Belanda - (DOK Wikipedia)

Di luar itu, karya novel, drama, buku manual, juga terus masuk ke redaksi Balai Pustaka, meski Balai Pustaka mengurangi pengawas bahasa di Bagian Redaksi. Dari lima orang menjadi dua orang.

Pengurangan anggaran juga dilakukan. Sebelum krisis, anggaran Balai Pustaka bisa mencapai 700 ribu gulden, tapi setelah krisis anggarannya hanya 250 ribu gulden dengan pendapatan hanya 150 ribu gulden.

Pemerintah memberikan subsidi anggaran mencapai 140 ribu gulden pada 1935, 80 ribu gulden pada 1936, dan 40 ribu gulden pada 1937. Pengoperasian Balai Pustaka tetap dilakukan lantaran buku-buku Balai Pustaka telah dianggap menjadi makanan ruhani masyarakat.

 
Di tengah krisis ekonomi dengan daya beli yang telah menurun, pribumi di Hindia Belanda masih saja belanja buku.
 
 

Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie menyatakan rasa penasarannya, di tengah krisis ekonomi dengan daya beli yang telah menurun, pribumi di Hindia Belanda masih saja belanja buku. Selama krisis, Balai Pustaka tetap melayani penerbitan dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Sunda, selain penerbitan berbahasa Belanda. Volksalmanac dalam bahasa Melayu, Jawa, Sunda, disebut-sebut tetap laris seperti kue.

Almanak terbaru yang diterbitkan Balai Pustaka di masa krisis adalah Almanac Goeroe. Buku ini berisi tentang pedagogi berikut informasi sekolah-sekolah dan informasi lainnya yang terjual sebanyak 70 ribu buku.

Sejak awal pendirian hingga pertengahan 1936, menurut catatan Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie, Balai Pustaka telah menerbitkan 1.250 judul buku. Berbagai jenis buku diterbitkan, bahkan tentang cara bertani pun ada.

“Setiap tahun ratusan lebih naskah diterima untuk evaluasi, tetapi hanya sebagian kecil yang memenuhi syarat untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka,” tulis Algemeen Handelssblad.

 
Setiap tahun ratusan lebih naskah diterima untuk evaluasi, tetapi hanya sebagian kecil yang memenuhi syarat untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka
 
 

Buku-buku baru disimpan di kantor Balai Pustaka, sedangkan buku-buku lama ditata rapi di gudang. Saat terjadi pencurian, buku-buku yang ditata di bagian depan masih terlihat rapi sehingga jika tak memeriksa ke belakangnya, tak bakal tahu ada buku yang telah dicuri. Buku-buku lama ini sering dijadikan hadiah untuk pembelian buku baru senilai minimal satu gulden.

Namun, ada banyak koleksi yang tak laku yang halamannya sudah menguning karena sudah tersimpan 10-20 tahun yang harus dimusnahkan. Biasanya dibakar. Nah, buku-buku yang dicuri itu, menurut Van Cleef, banyak yang seharusnya dimusnahkan, tetapi belum sempat dilakukan.

Dengan adanya pencurian itu, Balai Pustaka tak perlu lagi keluar biaya untuk pembakaran buku. Lumayan, menghemat anggaran di masa krisis. Cleef digambarkan De Locomotief sangat senang dengan pencurian buku-buku lama ini. “Pencurian ini menghemat biaya pembakaran,” tulis De Locomotief.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat