
Opini
Amerika dan Lobi Yahudi
Kuatnya pengaruh lobi Yahudi di Amerika Serikat membuat Israel selalu dibela.
YURI O THAMRIN, Dubes RI untuk Belgia, Luksemburg, dan UE Periode 2016-2020
Aneh tapi nyata: apa pun yang terjadi, Amerika Serikat (AS) terus membela Israel tanpa kondisionalitas. AS memberi bantuan militer dan ekonomi pada Israel sebesar tiga miliar dolar AS setiap tahun, walaupun Israel bukan negara miskin.
Di forum PBB pun, AS selalu pasang badan meski Israel sering melanggar hukum internasional, seperti pembangunan permukiman Yahudi secara illegal di wilayah pendudukan Palestina.
Setiap calon Presiden AS selalu berlomba menunjukkan kedekatan personal pada Israel dan jarang sekali AS mengecam Israel meski negeri itu berkelakuan tak terpuji. Ada apa dengan perlakuan istimewa ini?
Apakah karena Israel sekutu strategis AS di Timur Tengah? Atau karena Israel menganut demokrasi serta memiliki nilai yang sama dengan AS? Klaim Israel sebagai "sekutu strategis" bagi AS mungkin benar pada saat Perang Dingin dulu.
Di forum PBB pun, AS selalu pasang badan meski Israel sering melanggar hukum internasional, seperti pembangunan permukiman Yahudi secara illegal di wilayah pendudukan Palestina.
Namun sekarang? Israel justru menjadi strategic liability (beban strategis) bagi AS karena membelanya habis-habisan membuat citra AS terpuruk di Timur Tengah bahkan di dunia.
Israel memang negara demokrasi mapan di Timteng tetapi perilakunya membantai bangsa Palestina jelas tak sejalan dengan nilai AS. Mengapa Israel terus dibela? Sebab, kuatnya pengaruh lobi Yahudi di AS (Mearsheimer dan Walt dalam The Israel Lobby and US Foreign Policy, 2008).
Lobi Yahudi adalah koalisi longgar (loose coalition) berbagai individu dan kelompok yang bersifat terbuka, bekerja sesuai hukum, canggih, dan sangat berdedikasi untuk memengaruhi kebijakan AS agar mendukung Israel.
Cara kerja
Lobi Yahudi mencakup berbagai organisasi berpengaruh seperti American Israel Public Affairs Committee (AIPAC), Conference of Presidents of Major American Jewish Organizations (CoP), Anti-Defamation League, Christians Zionist Group.
Strategi lain yang ditempuh lobi Yahudi adalah memengaruhi wacana dan persepsi publik agar simpati warga AS besar pada Israel.
Selain itu, ada Christians United for Israel, Washington Institute for Near East Policy (think tank) dan berbagai media seperti Weekly Standard dan New Republic.
Lobi Yahudi mendukung politisi-politisi AS dalam pemilu, dengan imbalan mereka bersimpati pada Israel. Juga memberikan insentif kepada pemegang jabatan publik agar mereka membantu kepentingan Israel.
Menurut Mearsheimer dan Walt (2008), uang tak diberikan langsung tapi dalam bentuk bantuan kampanye. Meski tak semua calon yang didukung lobi Yahudi menang pemilu, politisi di Kongres AS paham betul, sikap anti-Israel akan menyulitkan karier politik mereka.
Strategi lain yang ditempuh lobi Yahudi adalah memengaruhi wacana dan persepsi publik agar simpati warga AS besar pada Israel. Dalam kaitan ini, banyak media AS sangat pro-Israel, terutama dalam kolom editorial dan opini mereka.
Lobi Yahudi juga "mengganyang" opinion makers yang berani bersikap kritis terhadap Israel, mengecap mereka anti-Semit serta menyempitkan ketersediaan ruang media cetak dan elektronik bagi para pengkritik Israel itu.
Dampak kebijakan
Meirsheimer dan Walt (2008) menganalisis, lobi Yahudi berdampak buruk pada kebijakan luar negeri AS.
Akibatnya, AS terpaksa melakukan "state building" di Irak, berbiaya mahal, sangat menguras tenaga, dan justru memperbesar pengaruh Iran di kawasan.
Sebagai contoh, pembiaran AS terhadap upaya Israel membangun permukiman ilegal di wilayah pendudukan di Palestina menyebabkan kemarahan masyarakat Timteng dan berujung peningkatan serangan teror terhadap AS.
Termasuk serangan "911" terhadap Gedung WTC di New York pada 2001. Lobi Yahudi pun menjerumuskan AS pada "strategic blunder" di Irak akibat melengserkan Presiden Saddam Hussain.
Akibatnya, AS terpaksa melakukan "state building" di Irak, berbiaya mahal, sangat menguras tenaga, dan justru memperbesar pengaruh Iran di kawasan.
Bagaimana mengoreksi "bias" AS ini? Menurut Mearsheimer dan Walt (2008), AS mesti berhenti "memanjakan" dan memperlakukan Israel sebagai "a normal country" seperti relasi AS dengan Inggris, Prancis, Jerman, dan India (sesama negara demokrasi).
Terkait konflik Palestina-Israel, AS harus menjadi penengah yang adil (honest broker). Sebab, hanya dengan sikap ini, konflik tersebut bisa diselesaikan.
Opini akar rumput
Bagaimana pandangan rakyat AS? Dari berbagai survei, tampak dukungan luas rakyat AS pada Israel, tetapi juga tak ingin dukungan itu tanpa syarat.
Bagaimana pandangan rakyat AS? Dari berbagai survei, tampak dukungan luas rakyat AS pada Israel tetapi juga tak ingin dukungan itu tanpa syarat.
Dalam jajak pendapat oleh Anti-Defamation League (2005), 78 persen responden berpendapat, AS harus bersikap adil dalam konflik Palestina-Israel. Survei American for Peace Now (2007) menyebut, 87 persen Yahudi Amerika mendukung "solusi dua negara".
Pada survei oleh Universitas Maryland (2003), 70 persen responden setuju AS memotong bantuan untuk Israel jika menolak penyelesaian konflik secara adil.
Saat ini, rakyat AS condong melihat krisis di Gaza dalam perspektif racial justice, tecermin dari tagline, "Palestinian lives matter" seperti halnya "Black lives matter."
Dalam kaitan ini, the New York Times (15 Mei 2021) mengabarkan, protes faksi sayap kiri Partai Demokrat yang menuntut Presiden Joe Biden lebih serius menghentikan kebrutalan Israel.
Tampaknya, desakan dalam negeri yang kuat ini -- dan tentunya juga desakan internasional -- membuat Presiden AS lebih tegas mendesak Israel dan Hamas menghentikan kekerasan. Mudah-mudahan hal ini akan mempercepat terwujudnya gencatan senjata di lapangan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.