KH Agus Sunyoto (1959-2021) berpandangan, cara-cara menangani wabah pun dapat dilakukan dengan terus merawat tradisi. | DOK IST

Hiwar

KH Agus Sunyoto: Lawan Pandemi dengan Hidupkan Tradisi

Kiai Agus Sunyoto berpandangan, cara-cara menangani pandemi bisa dilakukan dengan terus merawat tradisi.

 

Wabah sudah menjadi suatu fenomena yang dikenal masyarakat sejak dahulu kala. Menurut budayawan Nahdlatul Ulama (NU) KH Agus Sunyoto, pandemi Covid-19 dapat dipandang sebagai momen sadar sejarah. Dalam arti, masyarakat perlu menghidupkan kembali tradisi-tradisi lama, yang sejalan dengan protokol kesehatan dan tentunya ajaran Islam.

Penulis buku Atlas Wali Songo (2016) itu juga mengingatkan, peradaban Islam merintis cara-cara antisipasi wabah. Nabi Muhammad SAW menganjurkan, “Apabila kamu mendengar (wabah) penyakit berjangkit di suatu negeri, janganlah kamu masuk ke negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, jangan pula kamu lari (keluar) daripadanya.” Sarjana Muslim Ibnu Sina atau Avicenna (980-1037) dikenang sejarah sebagai penemu metode karantina.

Dalam konteks Indonesia, pencegahan wabah dilakukan melalui tradisi kalangan pesantren. Menurut Kiai Agus, pelantunan doa dan shalawat dapat menjadi cara memerangi wabah. Ambil contoh, shalawat “Li Khomsatun” yang diijazahi sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari.

“Saat itu, Indonesia terkena wabah besar-besaran,” ujarnya.

Rubrik “Hiwar” kali ini khusus menyajikan bincang-bincang kami dengan KH Agus Sunyoto. Sosok yang pernah memimpin Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) itu wafat pada Selasa (27/4/2021) di Surabaya, Jawa Timur.

Beberapa pekan sebelum wafat, wartawan Republika Muhyiddin sempat melakukan wawancara dengan akademisi STAINU Jakarta tersebut. Berikut cuplikan bincang-bincang terakhir kami dengannya, yang menyoroti persoalan wabah dalam sejarah.

Sebagai seorang pemerhati sejarah, bagaimana Anda memandang fenomena wabah?

Kalau kita lihat, wabah itu semacam penyakit menular yang biasanya terjadi di wilayah daratan. Artinya, wabah itu sebetulnya khusus di wilayah kontinental. Dalam sejarah, yang paling parah terkena wabah biasanya di wilayah benua. Misalnya, Eropa, Asia, Afrika, maupun Amerika. Di wilayah-wilayah tersebut, kalau penduduknya terkena wabah, sangat cepat sekali menularnya.

Sementara, kalau wilayah kepulauan itu biasanya tidak sampai meluas. Sebab, masing-masing daerah terpisah oleh laut. Sifat pulau yang terpisah-pisah itulah yang menjadikan wabah tidak sampai meluas, seperti halnya di kawasan benua.

Apakah itu berarti fenomena wabah di Indonesia terbilang “unik”?

Dalam catatan sejarah, wabah yang terjadi di Indonesia itu biasanya lokal saja. Misalnya, di Jawa Timur atau Jawa Tengah saja. Tidak sampai meluas ke luar daerah. Itu sebabnya, catatan-catatan tentang wabah biasanya terjadi di wilayah benua atau wilayah daratan.

Namun, sekalipun begitu, di wilayah kepulauan juga ada wabah. Ini yang disebut dengan pegebluk. Nah, orang-orang zaman dulu mempunyai cara sendiri untuk mengatasi wabah.

Seperti apa metode penduduk Nusantara dahulu dalam menghadapi wabah?

Salah satu cara yang lama sekali itu adalah melakukan upacara di pantai. Sebab, orang-orang dahulu mempunyai keyakinan bahwa penguasa wabah itu adalah Dewa Baruna. Dialah yang dianggap penguasa laut. Dia dianggap menguasai segala macam jenis makhluk-makhluk kecil, yang dalam bahasa sekarang seperti virus atau bakteri.

Dalam pengetahuan medis kini juga akhirnya diketahui, pantai adalah barrier (pembatas) untuk menahan laju perkembangan virus. Itu sebabnya, banyak orang yang menganggap, pantai jangan ditutup untuk kegiatan-kegiatan wisata dan lain-lain. Sebab, justru aneka macam jenis virus itu akan mati di wilayah pantai.

Nah, orang dulu sudah memahami anggapan itu. Karena itu, ada upacara-upacara khusus yang mereka gelar untuk mengatasi penyakit di pantai. Mereka juga merapal doa-doa dan mantra-mantra. Itu zaman dulu.

 

Bagaimana dengan penanganan wabah pada masa Islam?

Rasulullah SAW mengajarkan doa untuk menangkis keberadaan wabah. Dari doa inilah, kemudian berkembang ke mana-mana. Rasulullah SAW juga berpesan, kalau terjadi wabah di suatu daerah dan kalian mengetahui itu, maka cepat-cepatlah meninggalkan daerah itu. Namun, kalau kalian sudah berada di kawasan yang terkena wabah, jangan sekali-kali keluar. Artinya, jangan kita kemudian menulari orang banyak.

Jadi, ajaran Rasulullah untuk menghadapi wabah itu ada dua, berdoa dan menghindari tempat yang terkena wabah. Inilah yang kemudian menjadi pegangan orang-orang Islam.

 

Pesan Nabi SAW terkait dengan pentingnya isolasi sebaran wabah?

Pada praktiknya kemudian, kita mengenal sosok Ibnu Sina. Dia menjadi dokter Muslim pertama yang memperkenalkan isolasi. Jadi, kalau suatu daerah terkena wabah penyakit, itu harus diisolasi selama 40 hari. Dalam bahasa Arab, arba’in. Karena itu, istilah yang lazim waktu itu, kalau ada wabah, maka penduduknya disuruh melakukan arba’in saja.

Metode yang digunakan Ibnu Sina itu ternyata ampuh untuk melokalisasi meluasnya wabah. Metode itulah yang kemudian masuk ke wilayah Yunani, Romawi, dan ditiru pula oleh dokter-dokter di sana. Mereka terbuka wawasannya, kalau terjadi wabah itu, harus diisolasi selama 40 hari.

Istilah dalam bahasa Arab itu, arba’in, kemudian diubah ke dalam bahasa Latin menjadi quarantum. Arti harfiahnya, empat puluh. Dan, sekarang itu dikenal dengan istilah quarantine, karantina. Jadi itu sebetulnya metode dari Ibnu Sina.

Bagaimana komunitas pesantren melawan wabah?

Melakukan doa-doa. Itu sebabnya, di kalangan pesantren, misalnya, membaca doa atau shalawat “Li khamsatun". Jadi, begitulah tradisi-tradisi di pesantren kalau terjadi wabah.

Biasanya, orang-orang dahulu ramai keliling kampung sambil membaca doa-doa. Kalau umat Islam, keliling sambil membaca shalawatan dan membunyikan tetabuhan.

Sementara, di keraton-keraton Jawa biasanya mereka mengarak bendera Kiai Tunggul Wulung, bendera hitam. Bendera itu dibawa keliling keraton sambil membaca doa dan mantra. Dengan doa atau suara-suara nyanyian, shalawatan, terbangan, dan musik-musik itu, mereka berkeliling mengarak bendera.

Di keraton itu juga ada anjuran agar semua masyarakat memasak makanan khusus. Artinya, mereka harus mengonsumsi makanan yang sehat. Itulah tradisi budaya masa kuno untuk terhindar dari wabah.

 
Di keraton itu juga ada anjuran agar semua masyarakat memasak makanan khusus. Artinya, mereka harus mengonsumsi makanan yang sehat.
 
 

Mungkin, orang dulu tidak paham apa itu virus atau bakteri. Namun, sekarang terbukti bahwa untuk menjaga imunitas itu harus memperbanyak konsumsi makanan yang sehat.

 

Tentang “Sholawat Li Khamsatun”, bagaimana sejarahnya?

Itu memang tradisi pesantren. Yang dahulu diketahui memberikan ijazah tersebut, salah satunya adalah KH Hasyim Asy’ari, antara tahun 1918 hingga 1920. Saat itu, Indonesia terkena wabah besar-besaran. Jumlah korbannya mencapai lebih dari 1 juta jiwa.

Kemudian, KH Hasyim Asya’ri mengajarkan doa “Li Khamsatun". Alhamdulillah pesantren akhirnya tidak menjadi salah satu korban pandemi yang menyebar luas waktu itu. Namun, tentu selain doa, kita tetap perlu menjaga protokol kesehatan, seperti yang dicontohkan Ibnu Sina sejak abad-abad silam.

Mengapa dianjurkan banyak berdoa untuk melawan wabah?

Rasululllah SAW mengajarkan doa. Para wali dan ulama pun demikian. Belakangan, kita paham bahwa ternyata untuk menghadapi virus yang ukurannya super kecil itu tidak bisa menggunakan logika berpikir ala fisika klasik Newtonian. Logikanya harus menggunakan fisika kuantum.

Nah, di situlah kita baru paham. Mengapa harus berdoa? Berdasarkan teori fisika kuantum, ternyata yang bisa mendorong agar virus—makhluk yang ukurannya sangat kecil itu—menghindar adalah partikel yang lebih kecil daripada virus.

Partikel yang lebih kecil daripada virus itu salah satunya adalah suara. Yang juga lebih kecil lagi daripada virus adalah partikel cahaya. Dengan cahaya (matahari), kita harus berjemur dan lain-lain. Itu juga akan dapat menghindarkan diri kira dari virus korona.

 
Setelah kita amati, ternyata santri dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah lepas dari bersuara.
 
 

Lalu, mengapa sangat jarang wabah menyerang ribuan santri di suatu pesantren? Setelah kita amati, ternyata santri dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah lepas dari bersuara. Mulai dari kegiatan shalat Subuh, menunggu imam datang, mereka selalu membaca syi’iran, shalawatan dan sebagainya.

Pada pagi hari, mereka sarapan. Saat masuk kelas, mereka kembali mengeluarkan suara dengan menghafal kitab-kitab, seperti Amtsilah at-Tashrifiyah—makanya dikenal tradisi tashrifan.

Setelah itu, mereka juga menghafal Jurumiyah dan Alfiyah. Bahkan, menghafal Alquran. Semua itu tak lepas dari pengungkapan melalui suara. Itulah sebabnya, barangkali, santri sangat jarang tertular meskipun ribuan jumlahnya.

 

Saat maraknya Covid-19 kini, pemerintah menggalakkan 3M, apakah ada tradisi seperti itu pada zaman dahulu?

Kalau sudah ada wabah, orang-orang dulu itu langsung isolasi mandiri. Masyarakat praktis tidak berani keluar rumah. Selain itu, dulu di setiap rumah itu juga selalu ada tempat air atau gentong. Orang yang mau masuk, bertamu ke rumah, pasti mencuci tangan dan mencuci kaki terlebih dahulu. Itu tradisi kuno yang sekarang tampaknya sudah hilang.

Ketika melakukan isolasi mandiri, orang-orang dulu juga tetap merasa aman. Sebab, masing-masing rumah mempunyai lumbung. Bahkan, ada juga lumbung desa untuk persediaan makanan orang sedesa. Kalau sekarang, kita hanya bisa mengandalkan pemerintah. Artinya, orang-orang dulu itu sebenarnya kemandiriannya lebih kuat.

 

Imbauan terhadap masyarakat di tengah pandemi?

Pertama, tetap ikuti protokol kesehatan. Saya juga menganjurkan untuk menghidupkan lagi tradisi-tradisi kita. Misalnya, mengisi hari-hari itu dengan bersuara, seperti berdoa, berzikir, dan kegiatan lain yang mengeluarkan suara. Saya kira, itu yang juga penting.

Dalam arti, masyarakat dapat lebih meningkatkan amaliyah ibadah mereka. Membaca tahlil, surah Yasin, atau surah-surah pendek Alquran. Pokoknya, berdoa dengan tidak lepas daripada bersuara. Pada pagi, sertai dengan berjemur kalau ada (sinar) matahari. Kemudian, tentu mengonsumsi makanan yang bergizi.

Mari kita tingkatkan iman dan meningkatkan ketakwaan kita dengan memperbanyak amaliyah ibadah, terutama mengingat Allah. Saya berpikir bahwa wabah ini seperti bencana banjir pada zaman Nabi Nuh. Yang bisa selamat saat itu hanyalah mereka yang lari kepada Allah. Karena itu, kita pun harus bisa meningkatkan amaliyah ibadah kita, hanya berserah diri kepada Allah.

photo
Almarhum KH Agus Sunyoto hingga akhir hayatnya terus berjuang di ranah kultural dan keagamaan. Sosok yang pernah memimpin Lesbumi PBNU itu pun didaulat menjadi pahlawan literasi Nahdliyin. - (DOK Nahdlatul Ulama)

Sang Pahlawan Literasi Nahdliyin

Pertengahan Ramadhan 1442 Hijriyah diwarnai kedukaan. Kabar duka itu datang dari Jawa Timur. Pemerhati sejarah yang juga ketua Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) PBNU KH Agus Sunyoto meninggal dunia pada Selasa, 27 April 2021.

Sebelum mengembuskan napas terakhir, akademisi STAINU Jakarta itu sempat menjalani perawatan medis di Rumah Sakit Angkatan Laut dr Ramelan Surabaya.

Kiai Agus Sunyoto lahir di Surabaya, 21 Agustus 1959. Alumnus IKIP Negeri Malang itu tergolong kalangan budayawan yang produktif menulis. Salah satu karya fenomenalnya adalah buku Atlas Wali Songo. Isinya menjabarkan secara akademis ihwal penyebaran Islam di Nusantara. Tesisnya berusaha meyakinkan publik bahwa Wali Songo adalah fakta sejarah, bukan dongeng.

Karya-karya lainnya yang bisa dibaca khalayak adalah Resolusi Jihad, Banser Berjihad Melawan PKI, Sunan Ampel: Taktik dan Strategi Dakwah Islam di Jawa, serta Suluk Abdul Jalil: Perjalanan Ruhani Syeh Siti Jenar. Kepiawaiannya dalam dunia menulis tak hanya melulu bidang nonfiksi. Ranah sastra pun digelutinya.

Karya-karya fiksinya banyak dipublikasikan dalam bentuk cerita bersambung di berbagai media massa. Sebut saja, di Jawa Pos “Anak-Anak Tuhan” (1985); “Orang-Orang Bawah Tanah” (1985); dan “Ki Ageng Badar Wonosobo” (1986).

Wafatnya Kiai Agus menimbulkan duka bagi masyarakat Muslim Indonesia, terutama yang menggemari dunia sejarah Islam di Nusantara. Wabilkhusus lagi, warga Nahdliyin.

 
Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama Jawa Timur menetapkan almarhum sebagai pahlawan literasi.
 
 

Baru-baru ini, Lembaga Ta’lif wan Nasyr (LTN) Nahdlatul Ulama Jawa Timur menetapkan almarhum sebagai pahlawan literasi. Sebab, sang kiai dipandang sebagai seorang sejarawan NU yang selalu konsisten, istikamah, dalam berdakwah melalui tulisan.

“Terus terang kami merasa kaget juga dengan wafatnya beliau (Kiai Agus Sunyoto). Kami mengenang beliau sebagai sosok yang punya konsen dan perhatian luar biasa terutama pada penulisan sejarah, di kalangan Nahdliyin dan Islam tradisionalis di Indonesia,” ujar Ketua LTN NU Jawa Timur, Gus Ahmad Najib kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Menurut dia, Kiai Agus Sunyoto merupakan salah satu pioner di dalam menggali sejarah Islam tradisional dan sejarah lokal yang berkembang di masyarakarat, terutama yang berkaitan dengan sejarah Walisongo sebagai penyebar Islam di Nusantara.

Gus Najib menjelaskan, sebelumnya mungkin banyak sejarawan yang meragukan tentang sejarah Walisongo. Sebagaian dari mereka bahkan menyatakan bahwa Walisongo hanyalah mitos dan dongeng belaka. Namun, tuduhan tersebut akhirnya dijawab oleh Kiai Agus Sunyoto melalui karyanya yang berjudul Atlas Walisongo.

“Sehingga dengan karya tersebut orang menemukan jawaban secara ilmiah tentang keberadaan Walisongo dan pengaruh dakwahnya di Nusantara ini,” jelasnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat