Agama merupakan elemen pembentuk moral masyarakat. | DOK REUTERS Amr Abdallah Dalsh

Opini

Menyoal Moralitas dalam Pendidikan Nasional

Lingkungan harus membentuk moral sehingga peserta didik memiliki kepribadian yang baik.

DR ARFAN MUAMMAR, Direktur Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Tes penerimaan mahasiswa baru menjadi rutinitas tahunan. Tes penerimaan ini bersifat akademis dan terkadang berlatar belakang ekonomi. Gejala ini sangatlah umum, artinya orientasi sistem pendidikan kita sangat intelektualistis.

Di tingkat dasar dan menengah misalnya, penilaian kelulusan dilihat dari ujian akhir nasional, yang hanya mencakup tiga pelajaran: Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia dan Matematika. Pelajaran itu Pelajaran tersebut, cenderung bersifat intelektualistis. Padahal belum tentu siswa yang memiliki intelektualitas baik memiliki moralitas dan mental yang baik pula.

Lantas apa standar kelulusan moral dan mental itu? Bagaimana kepribadian dan tingkah laku siswa dalam sistem pendidikan nasional? Masihkan sistem penilaiannya bersifat intelektualistis?

Selama ini, penilaian kepribadian dan tingkah laku siswa hanya sebatas jam pelajaran. Padahal mereka berada di sekolah tidak lebih dari sepuluh jam. Tidak heran jika di luar sekolah siswa berprilaku negatif dan tidak produktif.

 
Selama ini, penilaian kepribadian dan tingkah laku siswa hanya sebatas jam pelajaran.
 
 

Memang, prestasi Indonesia dalam kejuaran sains akhir-akhir ini cukup menggembirakan. Akan tetapi di sisi lain, kenakalan remaja cukup menggelisakahkan. Kenyataan semacam ini seakan menghadapkan kita pada dua pilihan, yaitu: pendidikan yang intelektualistis atau pendidikan moralistis. 

Namun, itu bukanlah pilihan yang kaku. Memilih yang pertama berarti mengorbankan yang kedua, memilih yang kedua berarti kehilangan yang pertama. Intelektualitas tidak menjamin hilangnya sikap-sikap mental korupsi, kolusi, nepotisme dan kejahatan lainnya. 

Di sisi lain, moralitas yang kaku bisa mengesampingkan intelektualitas. Peserta didik menjadi kurang kreatif, bahkan sulit mengembangkan diri.

Orientasi pendidikan

Dunia pendidikan kita saat ini, hanya mengiginkan siswa-siswa yang cerdas, kreatif, kritis, dan berprestasi secara akademik. Tujuan pendidikan semacam ini dapat dilihat dalam pemikiran Ivan Illich dan Paulo Freire, misalnya. Padahal, tujuan pendidikan nasional adalah manusia Indonesia yang utuh, yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur.

Orientasi pendidikan tersebut terkadang mengalami pergeseran, khususnya ketika mencuatnya isu otonomi pendidikan. Di satu sisi otonomi pendidikan memberikan keleluasaan bagi sekolah untuk mengembangkan metode dan sistem pendidikan, tapi di sisi lain improvisasi metode dan sistem itu tidak terkontrol.

Di tingkat dasar dan menengah misalnya, terutama di pedesaan, sekolah mewajibkan siswinya untuk memakai jilbab dan pakaian yang sopan, sedangkan sekolah yang berada di perkotaan umumnya, tidak memiliki penekanan pada aspek ini. Tidak heran jika banyak ditemukan siswi yang tidak berjilbab dan berpakain kurang sopan.

 
Tujuan pendidikan nasional belum sepenuhnya terimplementasikan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan.
 
 

Di samping itu, tujuan pendidikan nasional belum sepenuhnya terimplementasikan dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan yang rupanya lebih menekankan aspek kognitif siswa. Jika pembelajaran kontekstual dapat disesuaikan dengan konteks lingkungan, maka akan berdampak positif bagi murid, khususnya pada pelajaran agama. 

Sayangnya, pembelajaran kontekstual saat ini lebih cenderung pada pembelajaran eksakta. Belum sepenuhnya menyentuh pelajaran agama, karena minimnya pembelajaran agama dibanding pelajaran lain.

Pelajaran agama di tingkat dasar dan menengah negeri memiliki porsi yang lebih sedikit di banding pelajaran eksakta. Paling hebat, siswa menerima pelajaran agama sekali dalam sepekan. Itu pun hanya beberapa jam. 

Akibatnya banyak siswa lulusan tingkat menengah belum sepenuhnya dapat membaca dan memahami Alquran. Pemberian porsi lebih pada pelajaran eksakta di tingkat dasar dan menengah menunjukkan orientasi sistem pendidikan kita saat ini adalah intelektualistis.

 
Banyak siswa lulusan tingkat menengah belum sepenuhnya dapat membaca dan memahami Alquran.
 
 

Paul Johnson dalam bukunya Intellectuals (1988) berpendapat, institusi yang baik belum tentu mampu mencetak orang-orang baik. Apalagi institusi yang buruk, sangat mungkin menghasilkan sumber daya manusia yang lebih parah lagi.

Orang-orang yang bermoral buruk tentu saja tidak akan memimpin manusia ke arah yang lebih baik, meski pun pemikirannya hebat. Sebab, selain memilki potensi berpikir yang besar, manusia adalah makhluk yang juga mengalami evolusi perilaku.

Selain itu Paul Johnson, juga mengupas habis moralitas dan sisi gelap kehidupan para intelektual tingkat dunia yang pemikirannya diikuti, dianut bahkan dipuja oleh banyak manusia. Sebut saja Rousseau, Shelley, Karl Marx, Henrik Ibsen, Tolstoy, Ernest Hemingway, Bertolt Brecht, Betrand Russel, Sartre, Edmund Wilson, Victor Gollancz dan Lillian Hellman. Ternyata kebesaran itu hanya sebuah fatamorgana, semu dan palsu. Sebab, di balik kebesaran para intelektual besar itu tersimpan perilaku-perilaku yang menyimpang.

Lalu apa sebenarnya arti intelektual bagi dunia modern, jika para pencetus dan peletak dasarnya menjadi orang-orang pertama yang mengingkari apa yang sudah dibuat? Bukankah hasil pemikiran adalah proses perbaikan perilaku dan moral? Apakah mungkin dipisahkan antara konsepsi ideal sebuah pemikiran dengan tata cara hidup para pemikirnya?

Oleh karena itu, harus dipahami jika peningkatan siswa hanya difokuskan kepada peningkatan intelektual, maka aspek lain akan terlupakan, sehingga siswa akan mengalami degradasi secara moral. Jika suatu generasi memiliki potensi intelektual yang tinggi tanpa diimbangi moral, maka negara hanya akan menghasilkan murid-murid yang profesional dalam pekerjaan sekaligus profesional dalam ketidakjujuran. Sangat disayangkan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat