Warga berjualan di depan rumahnya yang semipermanen di pinggir rel Pejompongan, Jakarta, Selasa (2/2/2021). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim kebijakan yang diambil pemerintah sudah cukup tepat dalam menekan angka kemiskinan di masa pandemi | Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO

Dialektika

Keluarga Miskin dalam Pusaran Pandemi Covid-19

Dampak pandemi Covid-19 terhadap keluarga miskin dan bagaimana mereka bertahan.

OLEH YUSUF WIBISONO, Direktur IDEAS; FEBBI MEIDAWATI, Peneliti IDEAS; MELI TRIANA DEVI, Peneliti IDEAS; SITI NUR ROSIFAH, Peneliti IDEAS

 

Pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia sejak Maret 2020 telah menciptakan kerusakan ekonomi skala besar. Dalam waktu singkat, jutaan orang kehilangan pekerjaan, tidak bisa lagi melakukan pekerjaan rutin mereka.

Kemiskinan pun melonjak, dari 24,8 juta orang (9,22 persen) pada September 2019 menjadi 27,6 juta orang (10,19 persen) pada September 2020. 

Untuk memahami bagaimana dampak pandemi terhadap kehidupan keluarga miskin dan bagaimana mereka bertahan melalui pandemi yang hingga kini belum dapat diperkirakan kapan akan berakhir ini, IDEAS melakukan survei nasional yang melibatkan 1.013 responden dari keluarga miskin di 5 wilayah aglomerasi utama di Indonesia pada awal 2021.

Berbasis data primer yang dikumpulkan melalui wawancara tatap muka dengan kuesioner semi terbuka terhadap keluarga miskin di Jakarta Raya (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Semarang Raya (Semarang dan Kabupaten Semarang), Surabaya Raya (Surabaya dan Kabupaten Sidoarjo), Medan Raya (Medan dan Kabupatan Deli Serdang) dan Makassar Raya (Makassar dan Kabupaten Gowa), survei nonprobabilitas dilakukan kepada 1.013 kepala keluarga miskin sepanjang 7 Januari – 11 Februari 2021.

 
Responden terpilih berasal dari rumah tangga yang memiliki karakteristik erat dengan kemiskinan, mudah diukur dan tidak bisa dimanipulasi.
 
 

Responden terpilih berasal dari rumah tangga yang memiliki karakteristik erat dengan kemiskinan, mudah diukur dan tidak bisa dimanipulasi (proxy mean testing). Di antaranya, rumah yang sempit rata-rata 40 meter persegi, 66,8 persen rumah responden berlokasi di kawasan padat dengan 91,9 persen memiliki akses jalan sempit yang tidak bisa dilalui mobil.

Dari 1.013 responden kepala rumah tangga miskin, 73,0 persen adalah laki-laki dan 27,0 persen perempuan, dengan 53,4 persen dari responden berpendidikan hanya sampai SD. Profesi paling dominan dari kepala keluarga miskin adalah usaha mandiri (22,5 persen), baik berdagang keliling maupun menjadikan rumah sebagai tempat usaha. 

Diikuti buruh bangunan (13,5 persen), buruh lepas/harian (6,9 persen), dan buruh tani (5,6 persen). Profesi lainnya terentang dari bekerja serabutan, sopir, ojek, buruh pabrik, petugas keamanan, petugas kebersihan, PRT dan buruh cuci, hingga nelayan, pengemudi becak, pemulung dan juru parkir. 

photo
Keras pandemi menghantam si lemah. Keluarga miskin dalam pusaran pandemi. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Pandemi dan Keluarga Miskin

Hasil survei kami menunjukkan keluarga miskin tidak banyak terpengaruh secara langsung oleh pandemi. Sebesar 99,4 persen responden menyatakan tidak ada satu pun anggota keluarga mereka yang terinfeksi Covid-19 dan secara mengejutkan 97,6 persen mengaku mematuhi protokol kesehatan.

Mengenakan masker menjadi protokol yang paling banyak dipatuhi responden (97,1 persen). Namun larangan membuat keramaian atau tidak berkerumun hanya dipatuhi 36,8 persen responden.

Hanya 2,4 persen responden yang sama sekali abai dan tidak mematuhi protokol kesehatan. Temuan ini mengindikasikan kesadaran dan kepatuhan protokol kesehatan yang cukup tinggi di keluarga miskin, meski secara empiris kita melihat banyak masyarakat di kawasan metropolitan yang semakin abai dan tidak mematuhi protokol kesehatan.

 
Sebesar 99,4 persen responden menyatakan tidak ada satu pun anggota keluarga mereka yang terinfeksi Covid-19.
 
 

 

Namun demikian, keluarga miskin terdampak sangat keras oleh krisis yang dipicu oleh pandemi. Sebesar 97,9 persen responden mengaku terdampak oleh krisis akibat pandemi, dengan aspek kehidupan yang paling terdampak adalah turunnya penghasilan keluarga dan terganggunya kebutuhan pangan keluarga. 

Diikuti dengan hilangnya pekerjaan, menurunnya tingkat kesehatan keluarga dan terlantarnya pendidikan anak. Krisis ekonomi, yaitu menurunnya penghasilan seiring hilangnya pekerjaan dan terganggunya kebutuhan pangan, terlihat menjadi dampak pandemi yang paling keras menghantam keluarga miskin.

photo
Hilang pekerjaan dan usaha karena wabah pandemi Covid-19. Keluarga miskin dalam pusaran pandemi. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Pengangguran dan Disrupsi Pekerjaan

Krisis yang dipicu oleh pandemi telah mengempaskan jutaan usaha di berbagai sektor dan menciptakan pengangguran skala besar dalam waktu singkat, termasuk usaha dan pekerja dari keluarga miskin. Sebesar 84,6 persen responden menyatakan pandemi telah mempengaruhi usaha dan pekerjaan mereka. Pandemi telah memperburuk masalah lapangan kerja dan ketenagakerjaan keluarga miskin secara signifikan.

Dampak pandemi yang paling dirasakan terhadap usaha yang dijalankan keluarga miskin adalah usaha menjadi sepi pembeli, diikuti dengan usaha mengalami kerugian hingga harus ditutup, pasar/tempat usaha mengalami penutupan hingga jalan/portal yang ditutup. 

Sedangkan dampak pandemi yang paling dirasakan terhadap pekerja dari keluarga miskin adalah jam/hari kerja dikurangi, sulit mencari pekerjaan baru sehingga terpaksa terus menganggur, mengalami pemotongan gaji hingga mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) baik dengan pesangon maupun tanpa pesangon.

Pandemi secara signifikan mendisrupsi usaha dan pekerjaan keluarga miskin. Responden yang mengaku menganggur melonjak dari 8,3 persen sebelum pandemi menjadi 14,3 persen setelah pandemi.

Tingkat pengangguran 14,3 persen di keluarga miskin ini terdiri dari 7,6 persen responden yang sudah menganggur sejak sebelum pandemi dan 6,7 persen responden yang sebelumnya bekerja dan kini di masa pandemi kehilangan pekerjaan. 

photo
Pandemi dan disrupsi pekerjaan keluarga miskin. Keluarga miskin dalam pusaran pandemi. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Sementara itu, dari 85,7 persen responden yang berstatus bekerja setelah pandemi, 17,5 persen diantaranya mengaku harus beralih profesi untuk dapat terus bekerja dan 67,5 persen sisanya mampu bertahan dengan profesi lama. Hanya 0,7 persen responden yang sebelum pandemi menganggur, mampu mendapat pekerjaan di masa pandemi. 

Profesi utama keluarga miskin yang menurun paling banyak karena pandemi adalah buruh pabrik, sopir, penjaga toko/warung, petugas keamanan, petugas kebersihan, karyawan, buruh bangunan hingga asisten rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa pekerja dari keluarga miskin yang terpengaruh pandemi tidak hanya pekerja formal, seperti buruh pabrik dan petugas keamanan, tapi juga pekerja informal seperti asisten rumah tangga.

Pandemi tidak hanya menghempaskan dunia usaha namun juga rumah tangga kelas menengah yang sebelum pandemi mampu menyewa asisten rumah tangga.  

Sedangkan profesi keluarga miskin yang meningkat paling banyak setelah pandemi adalah bekerja serabutan, diikuti buruh lepas/harian, buruh tani, pemulung dan berdagang/ usaha mandiri.

Hal ini secara jelas mengindikasikan bahwa upaya keluarga miskin untuk bertahan hidup di masa pandemi telah membawa semakin tingginya informalitas ekonomi di kalangan keluarga miskin, dari berstatus pekerja tetap, meski pekerja rendahan, menjadi berstatus usaha mandiri atau pekerja lepas.

photo
Sulit hidup karena wabah pandemi Covid-19. Keluarga miskin dalam pusaran pandemi. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Derita di Atas Derita

Disrupsi pada usaha dan pekerjaan keluarga miskin membuat penghasilan mereka merosot tajam. Penghasilan responden jatuh dari rata-rata Rp 2,1 juta per bulan sebelum pandemi menjadi rata-rata Rp 1,3 juta per bulan saat pandemi.

Jumlah responden di kelompok terbawah, dengan penghasilan rata-rata dibawah Rp 500 ribu per bulan, meningkat tajam dari 6,5 persen sebelum pandemi menjadi 11,7 persen setelah pandemi.

Demikian pula dengan jumlah responden di kelompok penghasilan Rp 500 ribu – 1 Juta meningkat drastis dari 13,4 persen menjadi 23,8 persen. Pandemi telah membuat sebagian besar keluarga miskin menjadi semakin miskin, jatuh dari kelas ekonomi yang lebih tinggi ke kelas ekonomi yang lebih rendah.

Jatuhnya penghasilan keluarga miskin ini diikuti dengan jatuhnya pengeluaran mereka, dari rata-rata Rp 1,7 juta per bulan sebelum pandemi menjadi rata-rata Rp 1,4 juta per bulan di masa pandemi. Kelompok responden dengan pengeluaran terendah, rata-rata dibawah Rp 500 ribu per bulan, jumlahnya meningkat dari 7,1 persen sebelum pandemi menjadi 10,3 persen setelah pandemi.

Demikian pula dengan jumlah responden di kelompok pengeluaran Rp 500 – 1 Juta meningkat dari 20,7 persen menjadi 25,1 persen. Pandemi telah membuat sebagian besar keluarga miskin semakin lemah daya belinya.

Jatuhnya pengeluaran keluarga miskin di masa pandemi ini mengindikasikan jatuhnya daya beli kelas ekonomi terbawah secara signifikan. Hal ini mencemaskan, tidak hanya karena membuat masalah kemiskinan dan kesenjangan kita yang sudah buruk menjadi semakin buruk, tapi juga menciptakan kerawanan di masyarakat terutama di lapisan terbawah.

Kerawanan sosial di lapis terbawah ini berpotensi meledak dalam jangka pendek, seperti kasus rawan pangan maupun dalam jangka panjang seperti masalah stunting.

photo
Sulit pangan di masa pandemi Covid-19. Keluarga miskin dalam pusaran pandemi. Data diolah IDEAS. - (IDEAS/Dialektika Republika)

Krisis di Keluarga Miskin

Jatuhnya penghasilan dan daya beli keluarga miskin telah menciptakan krisis yang serius di keluarga miskin, bahkan mulai menyentuh aspek paling mendasar: kebutuhan pangan. Sebesar 80,8 persen responden mengaku terdampak kebutuhan pangan keluarganya akibat pandemi.

Dari 819 responden yang terdampak ini, mayoritas mengaku mulai tidak mampu atau sulit membeli daging dan ikan, diikuti dengan tidak mampu atau sulit membeli susu dan telur. 

Yang mengejutkan adalah 51,8 persen responden mengaku mulai tidak mampu atau sulit membeli beras dan sembako. Fakta bahwa kebutuhan keluarga miskin yang paling mendasar telah terganggu, mengindikasikan bahwa masalah ekonomi yang dihadapi keluarga miskin di masa pandemi ini adalah sangat berat.

 
Beban keluarga miskin lebih berat lagi karena selain dampak ekonomi, mereka di saat yang sama juga menghadapi dampak sosial-psikologis dari pandemi yang tidak ringan.
 
 

Dalam kenyataannya, beban yang ditanggung keluarga miskin lebih berat lagi karena selain dampak ekonomi, keluarga miskin di saat yang sama juga menghadapi dampak sosial-psikologis dari pandemi yang tidak ringan.

Sebagai misal, sebesar 92,8 persen responden menyatakan terdampak pendidikan anaknya akibat pandemi, dengan dampak yang paling dirasakan adalah anak kesulitan belajar secara daring, keterbatasan kuota internet, orang tua tidak bisa mendampingi anak dalam belajar daring, dan tidak memiliki gadget untuk belajar daring.

Sebesar 61,9 persen responden juga mengaku anak mereka secara psikologis terdampak oleh pandemi, dengan dampak yang paling dirasakan adalah anak merasa bosan dan tertekan, sering keluar rumah, hingga sering bermain media sosial dan games online

 
Keluarga miskin juga banyak tertolong oleh bantuan sosial yang membuat mereka mampu bertahan melewati krisis.
 
 

Dengan berat beban yang ditanggungnya, kepala keluarga miskin memiliki banyak keterbatasan yang membuat mereka sulit untuk bertahan di pusaran krisis dalam waktu lama tanpa bantuan pihak lain. Sebagai misal, sebesar 39,8 persen responden memiliki jumlah tanggungan yang besar, yaitu 5 orang atau lebih, dengan 27,0 persen responden adalah perempuan yang umumnya berstatus janda karena ditinggal mati suami.

Di sisi lain, sebesar 74,6 persen responden sudah tidak lagi muda, yaitu berusia di atas 40 tahun, dengan 73,8 persen responden berpendidikan paling tinggi hanya sampai tingkat SMP-sederajat.

Selain melakukan berbagai upaya alternatif untuk bertahan hidup (coping strategy), keluarga miskin juga banyak tertolong oleh bantuan sosial yang membuat mereka mampu bertahan melewati krisis.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat