Lampu fanous raksasa di sebuah jalan raya di Kairo, Mesir. Bagi masyarakat setempat, Ramadhan kurang lengkap rasanya bila tanpa kerlap-kerlip lampion tradisional itu. | DOK EPA Mohamed Hossam

Dunia Islam

Menengok Suasana Ramadhan di Mesir

Ada banyak tradisi khas bulan suci di Mesir yang tetap bertahan walau pandemi.

OLEH HASANUL RIZQA

 

Masyarakat Mesir memiliki berbagai kekhasan selama Ramadhan. Walaupun bulan suci kembali dirayakan dalam suasana pandemi, tradisi itu tidak lenyap sama sekali. Bahkan, dapat dikatakan bahwa Ramadhan telah nyaris “normal” kembali di Negeri Piramida.

Pada tahun lalu, restoran, kafe, dan warung hanya buka untuk menjual sajian yang dibawa pulang. Jam malam juga diberlakukan sehingga kebanyakan masjid ditutup. Sementara itu, pada tahun ini penjaja makanan beroperasi kembali. Masjid dibuka untuk penyelenggaraan shalat berjamaah. Bagaimanapun, pemerintah setempat masih mengimbau warga untuk selalu menerapkan protokol pencegahan Covid-19.

Apa saja tradisi khas Ramadhan di Mesir? Mari mulai dari saat sebelum berpuasa. Pada sepertiga malam atau dini hari, umat Islam disunahkan untuk sahur. Seperti halnya Muslimin Indonesia, masyarakat Mesir pun memiliki budaya membangunkan orang-orang pada waktu sahur. Pelaksananya adalah para penabuh genderang atau yang disebut sebagai mesaharati. Sambil menabuh tambur berukuran kecil atau sedang di tangan, mereka berkeliling dari rumah ke rumah. Tak jarang penghuni rumah memberikan hadiah kecil kepada para mesaharati walaupun mereka tidak memintanya.

Tradisi ini diyakini berasal dari era Turki Utsmaniyah. Kala itu, belum ada teknologi jam alarm untuk membangunkan orang-orang saat sahur. Untuk membantu mereka, para penabuh genderang akan berkeliling di jalan-jalan dan menabuh drum serta menyanyikan lagu. Dengan begitu, penduduk tidak akan melewatkan santap sahur bersama keluarga tercinta di rumah.

photo
Hajah Dalal Abdel Kader tetap setia membangunkan sahur. Wanita Mesir ini sudah bertahun-tahun menjadi seorang mesaharati. - (DOK AP Amr Nabil)

Pada masa pandemi, keberadaan penabuh tambur itu tidak absen. Hajah Dalal Abdel Kader termasuk yang merawat tradisi ini. Ia telah menjadi mesaharati sejak 2011 lalu, sesudah adiknya meninggal dunia. Sebelumnya, kakak beradik itu rutin membangunkan orang-orang sahur tiap malam Ramadhan.

Apa yang dilakukan Dalal tergolong unik. Sebab, kebanyakan mesaharati adalah pria. Bagaimanapun, warga Kota Kairo ini tidak canggung dalam menjalankan tugasnya. Keluar rumah sejak tengah malam, ia berkeliling di lingkungan tempat tinggalnya hingga menjelang subuh.

Selanjutnya, umat Islam setempat juga memiliki kebiasaan khas jelang berbuka puasa. Seperti dilansir Africa News baru-baru ini, mifda al-iftar atau “meriam Ramadhan” kembali ditembakkan. Nyaris tiga dekade sebelumnya, meriam yang terletak di Benteng Shalahuddin al-Ayyubi itu hanya dipajang.

photo
Seorang petugas polisi menyalakan meriam mifda al-iftar di Kairo. Membunyikan meriam sebagai tanda masuk waktu maghrib sudah menjadi tradisi klasik di Mesir tiap Ramadhan. - (DOK EPA Khaled Elfiqi)

Namun, kini benda bersejarah itu dibunyikan lagi sebagai penanda waktu berbuka. Meriam itu terakhir ditembakkan dari benteng tersebut pada 1992. Beberapa tahun lamanya, mifda al-iftar menjalani restorasi atau perbaikan. Otoritas lokal melakukannya sebagai bagian dari pengembangan situs-situs arkeologis di Mesir.

Seperti di umumnya negara-negara mayoritas Muslim, Mesir pun mempunyai ciri suasana iftar. Sebelum azan maghrib berkumandang, orang-orang berburu penganan. Salah satu sajian khas setempat ialah roti lebar. Tidak seperti hari-hari biasa, penjualan kudapan itu melonjak tinggi saat Ramadhan.

Nour al-Sabah Mohammed, 35 tahun, adalah salah seorang pembuat roti yang merasakan berkah bulan suci. Pendapatannya menjadi berlipat ganda karena orang-orang berburu makanan khas Mesir itu, utamanya jelang berbuka puasa. Di luar Ramadhan, Nour bisa saja menjual roti buatannya itu dari rumah ke rumah. Kini, ia tak mesti pergi dari kediamannya di dekat Giza.

Sesudah maghrib tiba, malam pun turun. Momen ini semakin meriah dengan kerlap-kerlip lampu. Inilah tradisi lainnya yang disemarakkan Muslimin Mesir kala bulan suci. Anak-anak dan remaja berkumpul bersama orang tua mereka untuk mendekorasi setiap jalan dengan zeenat Ramadhan. Tali segitiga berwarna-warni ini dipasang bolak-balik di antara balkon, dengan lentera dan lampu berwarna. Dekorasi itu memberikan kesan suasana jalan yang menyenangkan.

photo
Para pembuat fanous di Kairo, Mesir. Tiap Ramadhan, perekonomian Negeri Piramida kian bergeliat dengan industri-industri rumahan yang membuat lampion itu. - (DOK EPA Khaled Elfiqi)

Salah satu bagian dekoratif Ramadhan yang paling populer di Mesir adalah lentera. Benda itu lebih sering disebut fanous. Lampion itu terbuat dari logam dan kaca berwarna. Ada berbagai bentuk dan ukurannya. Mulai dari yang ringkas sehingga dapat ditenteng tangan hingga volume raksasa, tak ubahnya lampu jalan. Masyarakat Mesir terbiasa menghiasi pekarangan dan balkon rumah mereka dengan penerang yang cantik itu.

Diakui atau tidak, fanous sudah menjadi hiasan utama tiap bulan suci. Meski lentera-lentera tidak benar-benar digunakan sebagai sumber cahaya, banyak keluarga dan pebisnis masih memanfaatkannya untuk sekadar pajangan. Mereka merasa, Ramadhan kurang lengkap tanpa pemandangan warna-warni yang dihasilkan fanous. Ya, inilah dekorasi yang menyimbolkan suka cita bulan puasa.

Konon, pada mulanya fanous digunakan masyarakat Mesir untuk menyambut kedatangan Khalifah Muiz Lidinillah pada masa Dinasti Fathimiyah. Momennya memang bertepatan dengan Ramadhan, tepatnya pada tahun 358 Hijriah.

photo
Kaum Muslimin melaksanakan shalat tarawih di Masjid al-Azhar, Kairo, Mesir. Mereka melaksanakan shalat sunah khas Ramadhan itu dengan menerapkan protokol pencegahan Covid-19. - (DOK EPA Khaled Elfiqi)

Tentu, saat itu listrik belum ada sehingga mereka memanfaatkan fanous sebagai lampu penerang. Tingginya permintaan akan lampion tersebut turut menggerakkan roda ekonomi lokal. Banyak industri rumahan muncul untuk memproduksi fanous.

Pada akhirnya, Ramadhan adalah bulan untuk mempergiat lagi ibadah-ibadah, baik yang wajib maupun sunah. Keyakinan itu sudah mengakar kuat dalam diri kolektif masyarakat Mesir. Seorang warga setempat, Magdy Hafez mengakui Covid-19 telah mengubah Ramadhan menjadi “tidak seperti biasanya.” Ia pun merindukan suasana khas bulan suci, seperti pemandangan orang berbondong-bondong meramaikan masjid.

“Saya biasa ke masjid 40 tahun lamanya. Jadi, (pandemi) ini menjadi saat yang berat bagi saya. Bagaimanapun, Islam memerintahkan untuk saling melindungi satu sama lain,” katanya, seperti dikutip France 24 beberapa waktu lalu.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat