KH Ahmad al-Hadi, seorang pendakwah yang menyebarkan ilmunya di Bali. | DOK IST

Mujadid

KH Ahmad al-Hadi, Perintis Pesantren di Pulau Dewata

Cucu KH Sholeh Darat ini hijrah ke Bali atas perintah gurunya, Syaikhona Kholil Bangkalan.

OLEH MUHYIDDIN

 

Perkembangan Islam di setiap daerah tentu berbeda-beda. Di Nusantara, salah satu kawasan yang kerap disebut berpenduduk minoritas Muslim ialah Bali. Bagaimanapun, syiar Islam di Pulau Dewata telah berlangsung cukup lama, setidaknya mulai zaman Majapahit.

Sejarah mencatat, tujuh orang mubaligh disebut-sebut sebagai perintis dakwah di Pulau Seribu Pura. Mereka digelari sebagai Wali Pitu. Perannya cukup signifikan, bahkan dianggap sepadan dengan Wali Songo di Jawa.

Berbilang abad kemudian, Islam pun kian mengakar di Bali—walaupun mungkin tidak seluruh pulau. Memasuki abad ke-19, semakin banyak ulama dari Jawa yang mengamalkan ilmunya di sana. Salah seorang di antaranya adalah KH Ahmad al-Hadi. Hingga kini, tokoh tersebut dikenang sebagai perintis pondok pesantren pertama di Pulau Dewata.

Mubaligh ini bukan asli Bali. Ia lahir di Kampung Kauman, Semarang, Jawa Tengah, pada 1895 M. Ayahnya adalah seorang pendakwah lokal, yakni KH Dahlan Al-Falaki. Adapun ibundanya bernama Nyai Siti Zahroh. Dari garis ibunya, ia mendapatkan silsilah sampai ke ulama besar asal kota pesisir utara Jawa itu. Ya, Raden Ahmad al-Hadi tidak lain adalah cucu KH Sholeh Darat.

Nama aslinya adalah Ahmad. Sebutan al-Hadi muncul belakangan ketika seorang gurunya, KH Idris Jamsaren, memberikan julukan itu kepadanya. Selain isyarat sayang, gelar itu juga menandakan pengakuan dari kalangan alim ulama terhadap tekad lelaki ini di dunia dakwah Islam.

 
Masa muda Ahmad al-Hadi dihabiskan untuk berguru kepada sejumlah ulama ternama di Tanah Jawa.
 
 

Masa muda Ahmad al-Hadi dihabiskan untuk berguru kepada sejumlah ulama ternama di Tanah Jawa. Riwayat pendidikannya dimulai dari Pondok Pesantren Buntet Cirebon, Jawa Barat.

Tidak hanya mengkaji ilmu-ilmu agama, ia pun mempelajari ilmu bela diri, khususnya silat, selama di sana. Selanjutnya, ia belajar ilmu nahwu dan sharaf kepada Kiai Umar di Sarang, Jawa Tengah. Ilmu Alquran dipelajarinya saat nyantri di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, yang diasuh KH Munawwir.

Masih haus akan ilmu-ilmu agama, Ahmad pun melangkahkan kaki ke Termas. Di sana, ia belajar kepada pamannya sendiri, KH Raden Dimyati. Sesudah itu, lelaki ini mengaji kepada Kiai Idris di Pesantren Jamsaren Solo dan Madrasah Manba’ul Ulum. Dari Jawa Tengah, kesempatan untuknya bertolak ke Makkah al-Mukarramah untuk menunaikan haji sekaligus melanjutkan rihlah keilmuan.

Dengan penuh komitmen dan disiplin, Ahmad al-Hadi belajar di Tanah Suci. Banyak guru dan syekh ditemuinya guna mendapatkan ilmu dan hikmah. Dalam periode itu, ia pun semakin matang sebagai seorang mubaligh yang alim. Tiga tahun kemudian, ia kembali ke Tanah Air.

Kecintaan akan ilmu-ilmu agama membuatnya terus menjadi santri. Sepulang dari Hijaz, ia sempat berguru kepada Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Setelah itu, atas saran sang pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu, dia berangkat ke Bangkalan, Madura. Tujuannya adalah belajar kepada KH R Muhammad Kholil Bangkalan.

 
Sepulang dari Hijaz, ia sempat berguru kepada Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari. Setelah itu, atas saran sang pendiri NU itu, dia berangkat ke Bangkalan.
 
 

Alim dari Pulau Madura itu dijuluki sebagai syaikhona. Sebab, Kiai Kholil diakui luas sebagai gurunya para kiai se-Jawa atau bahkan seluruh Nusantara. Banyak santrinya yang di kemudian hari menjadi ulama besar. Sebut saja, KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan—pendiri Persyarikatan Muhammadiyah.

Syaikhona Kholil sangat luar biasa dalam mengemban amanah sebagai seorang guru agama. Dedikasinya itu pun membuahkan hasil yang sangat baik. Beberapa santrinya bisa tampil menjadi ulama panutan yang berpengaruh. Mereka bisa dipertanggungjawabkan kualitas keilmuannya.

Hijrah ke Bali

Maka, beruntunglah KH Ahmad al-Hadi lantaran bisa berguru kepada KH Kholil Bangkalan. Setahun lamanya, ia menuntut ilmu di Madura. Selanjutnya, Syaikhona sendiri yang menugaskannya untuk berdakwah di Bali.

Pertama-tama, lelaki kelahiran Semarang itu diperintahkan untuk menemui seorang santri yang bernama Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad di Loloan Timur, Jembrana. Dalam sejarah syiar Islam, TGH Muhammad termasuk seorang perintis dakwah di Bali. Tempatnya mengajar adalah Masjid Baitul Qadim, yang tidak lain masjid tertua di seluruh Jembrana. Kelak, di sanalah KH Ahmad al-Hadi mendirikan madrasah pertamanya.

Setelah bertemu dengan TGH Muhammad di Bali, Ahmad al-Hadi menyampaikan salam Saikhona Kholil Bangkalan kepadanya. Setelah menjawab salam tersebut, ulama asal Nusa Tenggara Barat (NTB) itu pun bersyukur. Sebab, gurunya telah mengirimkan seorang pengganti untuk meneruskan dakwah Islam di Bali. Apalagi, pada saat itu mubaligh yang lama berkiprah di Jembrana itu sedang sakit.

 
Tempatnya mengajar adalah Masjid Baitul Qadim, yang tidak lain masjid tertua di seluruh Jembrana.
 
 

Dalam disertasinya yang berjudul, “Eksistensi Pondok Pesantren Manba’ul Ulum Loloan Timur di Tengah Masyarakat Multikultural Kabupaten Jembrana Provinsi Bali”, Rohil Zilfa menuturkan pertemuan antara kedua murid Kiai Kholil Bangkalan itu. Untuk sampai ke Jembrana, Ahmad al-Hadi diantar oleh Datuk Hasan, seorang saudagar kaya raya yang masih bertalian keluarga dengan TGH Muhammad.

Setelah pertemuan itu, Ahmad al-Hadi bersama dengan Datuk Hasan berpamitan untuk pulang. Datuk Hasan sangat kagum akan kealiman sosok yang diutus Kiai Kholil tersebut. Kepada dialah, pedagang Muslim ini mempercayakan pendidikan anak-anaknya. Mereka pun menjadi santri pertama Kiai Ahmad di Bali.

TGH Muhammad meninggal dunia. Bersama kaum Muslimin setempat, Datuk Hasan meminta KH Ahmad al-Hadi untuk menggantikan posisi almarhum sebagai pemuka Muslim Jembrana. Sejak itulah, ia kemudian menetap di Kampung Timur Sungai, wilayah setempat, untuk mengajarkan ilmu agama. Pada mulanya, aktivitas dakwahnya dipusatkan di Masjid Bait al-Qadim.

Datuk Hasan memandangnya seperti anak sendiri. Segala kebutuhan hidup Kiai Ahmad al-Hadi pun disokong sepenuhnya. Murid Syaikhona Kholil itu sudah menjadi bagian dari penduduk Loloan yang mayoritasnya bersuku Bugis-Melayu. Ia berperan sebagai ulama muda yang sangat bersemangat dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama. Masyarakat setempat, wabilkhusus para santri, kerap memanggilnya sebagai “Ustaz Semarang”.

Setelah setahun bermukim di Kampung Timur Sungai, Kiai Ahmad dapat mendirikan pondok pesantren. Lembaga itu kini telah berkembang menjadi Pondok Pesantren Manba’ul Ulum. Inilah pesantren tertua se-Pulau Bali. Berdiri sejak 11 Agustus 1930, institusi ini memiliki hubungan erat dengan masyarakat Muslim di Bali, khususnya Loloan Timur dan Kabupaten Jembrana.

 
Lembaga itu kini telah berkembang menjadi Pondok Pesantren Manba’ul Ulum. Inilah pesantren tertua se-Pulau Bali.
 
 

Rohil Zilfa menjelaskan, sebelum mendirikan Pesantren Manba’ul ‘Ulum, Kiai Ahmad al-Hadi sudah menanamkan sistem pendidikan Islam yang kuat di Loloan Timur. Menurut dia, mubaligh kelahiran Semarang itu awalnya hanya mengajar ilmu agama kepada anak-anak di salah satu rumah Datuk Hasan, tepatnya di sebelah selatan Masjid Baitul Qodim.

Sistem pendidikan di kawasan Jembrana dan Singaraja saat itu hanya mengandalkan sistem pendidikan tradisional yang berbasis masjid. Seiring berjalannya waktu, Kiai Ahmad memperkenalkan sistem pendidikan pesantren. Para pelajar disediakan tempat untuk bermukim di lingkungan tempatnya belajar. Mereka diajarkan untuk mempraktikkan ilmu agama dalam kehidupan sehari-hari.

Pada tahun yang sama, Kiai Ahmad memperkenalkan sistem pendidikan madrasah kepada masyarakat Jembrana. Pada faktanya, fungsi lembaga itu bukan hanya untuk menyediakan pendidikan agama Islam kepada masyarakat.

Tempat itu pun menjadi basis kaderisasi generasi bangsa yang antipenjajahan. Mereka ditempa untuk melawan kesewenangan pemerintah kolonial Hindia Belanda.

 
Tempat itu pun menjadi basis kaderisasi generasi bangsa yang antipenjajahan. Mereka ditempa untuk melawan kesewenangan kolonial Hindia Belanda.
 
 

Karena itu, santri sekaligus menantu Kiai Ahmad, yakni Datuk Haji Imran, berhasil menjadi seorang pejuang yang gigih melawan kolonialisme. Bahkan, di kemudian hari Imran dapat mengikuti jejak mertuanya itu, mendirikan pondok pesantren baru. Nama lembaga ini adalah Pesantren Riyadlus Shalilhin Melaya.

Peran penting yang dimainkan Datuk Haji Imran adalah sebagai penghubung gerakan perjuangan antara Bali bagian barat dan Jawa bagian timur. Karena itu, ia pun menjadi salah satu tokoh yang paling dicari oleh tentara Belanda NICA (Netherlands Civil Administration), pada zaman mempertahankan kemerdekaan RI.

Di luar kesibukannya mengajar, Kiai Ahmad al-Hadi juga produktif menulis. Selama hidupnya, sang alim telah menulis beberapa kitab. Di antaranya adalah, A’mal al-Khairat yang berisi tentang ilmu tajwid, ilmu fikih, doa-doa, serta beberapa amalan. Ada pula gubahan syair-syairnya yang mengandung hikmah ajaran Islam. Karya sastra itu terhimpun dalam buku Kumpulan Sya’ir: KHR Ahmad al-Hadi bin Dahlan al-Falaki (1895-1976).

Seperti dilansir laman Nahdlatul Ulama, seorang cucu Kiai Ahmad al-Hadi, Hasbil Ma’ani mengatakan, sebenarnya terdapat beberapa karya lain. Namun, buku-buku yang dimaksud sudah hilang. Menurutnya, kitab yang eksis saat ini merupakan salinan dari ibundanya, Nyai Hj Musyarrofah Ahmad binti KH Ahmad al-Hadi.

photo
Masjid raya di Loloan Barat, Bali. Syiar Islam di Pulau Dewata dilakukan banyak mubaligh sejak berabad silam. Pada abad ke-20, KH Ahmad al-Hadi menjadi salah satu mubaligh terkemuka di sana. - (DOK KEMENAG)

Kisah di Balik Berdirinya NU Bali

 

Sekira periode 1930-an, ada dinamika dalam konteks umat Islam di Bali. Gerakan-gerakan Islam puritan mulai menyebar luas di daerah berjulukan Pulau Dewata itu. Di Jembrana, fenomena demikian kala itu cukup terasa.

Rifkil Halim Muhammad dalam artikelnya di laman nu.or.id, “Pendiri NU Pertama di Bali”, menjelaskan situasi demikian. KH Ahmad al-Hadi waktu itu telah menjadi seorang ulama besar di Jembrana. Sebagai seorang yang berpegang pada ahlussunah waljamaah (asjwaja), ia ingin agar paham puritanisme tidak menggerus aswaja.

Bagaimanapun, gerakan puritan itu ternyata lebih terorganisasi. Kiai Ahmad pun memandang, kalangan aswaja semestinya dapat membuat organisasi pula. Dengan demikian, gerakan dihadapi dengan gerakan pula, bukan antarpersonal. Intinya, harus ada wadah persatuan yang dapat mengamankan akidah aswaja.

Pada 1934, kaum aswaja di Bali menerima kedatangan seorang tokoh Nahdlatul Ulama, yakni KH Abdul Wahab Hasbullah. Dengan hanya menumpangi jukong, Kiai Wahab Hasbullah menyeberangi Selat Bali dan mendarat di Pelabuhan Jembrana. Setelah beristirahat sejenak di Cupel, ulama asal Jombang, Jawa Timur, itu melanjutkan perjalanan menuju Kampung Timur Sungai, tempat Kiai Ahmad berada.

Di samping Masjid Agung Baitul Qadim Loloan Timur, Kiai Wahab mengenalkan NU kepada para alim ulama masyarakat Islam Jembrana. Dalam kesempatan itu, Kiai Wahab berpidato, “Kalau boleh diibaratkan sebagai penjual obat, saya ingin menjajakan saya punya obat (NU) kepada tuan-tuan. Jika cocok, alhamdulillah. Jika tidak cocok, tidak apa-apa.”

 
Kalau boleh diibaratkan sebagai penjual obat, saya ingin menjajakan saya punya obat (NU) kepada tuan-tuan. Jika cocok, alhamdulillah. Jika tidak cocok, tidak apa-apa.
KH WAHAB HASBULLAH
 

Dalam pertemuan tersebut sempat terjadi tanya jawab seputar masalah-masalah agama. Para ulama dan tokoh lokal Jembrana merasakan ada kecocokan antara ajaran keislaman yang selama ini hidup di Jembrana dan paham aswaja yang diusung Jam’iyah NU.

Oleh karena itu, diplomasi Kiai Wahab dalam menawarkan NU ini dengan cepat dapat diterima dan menarik minat para ulama, para tokoh serta masyarakat setempat untuk bergabung ke dalam NU. Mulai saat itulah organisasi NU berdiri dan memiliki struktur keorganisasian yang jelas.

Sementara, KH Ahmad Al Hadi segera dipilih secara aklamasi sebagai Rais Aam Cabang NU Jembrana yang sekaligus menjadi cabang NU pertama di pulau Bali. Di bawah kepemimpinannya, NU pun segera mendirikan sejumlah madrasah di daerah-daerah yang menjadi basis umat Islam Jembrana.

Namun setelah NU menjadi partai politik, kepemimpinan NU diserahkan kepada tiga ulama dari kampung Barat Sungai, yaitu Ustadz Ali Bafaqih, Datuk Guru Nuh, dan Datuk Haji Abdurrahman. Sementara, Kiai Ahmad al-Hadi segera menjauhkan diri dari arena politik praktis dan lebih memilih berkonsentrasi mengurus pesantren hingga akhir hayatnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat