Bangsa Mongol yang menghancurkan Baghdad pada 1258 kemudian menarget negeri-negeri Islam lainnya di barat. Salah satunya, Dinasti Mamluk di Mesir. | DOK The Edinburgh University Library

Tema Utama

Taktik Jitu Sultan Quthuz Melawan Mongol di Ain Jalut

Sultan Quthuz menerapkan strategi yang tepat untuk menghadapi pasukan Mongol di Ain Jalut.

OLEH HASANUL RIZQA

Pada medio abad ke-13, serbuan bangsa Mongol merupakan ancaman besar terhadap peradaban Islam. Pada 1258, pemimpin mereka, Hulagu Khan, menyerang ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah, Baghdad.

Kota tersebut seketika luluh-lantak. Ratusan ribu penduduknya dibantai. Berbagai fasilitas umum, termasuk perpustakaan, madrasah, masjid, dan rumah sakit setempat, dihancurkan tak tersisa.

Sebagai negeri tetangga Abbasiyah, Dinasti Ayyubiyah yang mendiami Suriah dan sekitarnya ikut terancam. Lebih gawat lagi, kerajaan Islam itu sering kali mengalami perpecahan politik di internal elitenya. Rajanya saat itu, an-Nashir Yusuf, cenderung tidak berdaya. Watak pemberani dari sang pembebas al-Aqsha, Sultan Shalahuddin “Saladin” al-Ayyubi, rupanya tidak menurun ke anak keturunannya itu.

Saat itu, Hulagu Khan belum merangsek ke arah barat. Akan tetapi, an-Nashir Yusuf sudah mengirimkan utusan kepada penguasa Mongol itu untuk meminta gencatan senjata. Mengetahui watak lemah dari pemimpin Muslim tersebut, Hulagu justru mengumumkan penyerbuan besar-besaran ke Suriah, sambil bersekutu dengan pasukan Kristen Nestorian yang dipimpin Kitbuqa Noyan.

photo
Lukisan Hulagu Khan di Rashid-al-Din Hamadani, awal abad ke-14 - (DOK Wikipedia)

Sifat penakut yang dimiliki an-Nashir bertolak belakang dengan jenderalnya, Ruqnuddin Baibars al-Bunduqdari. Petinggi militer Ayyubiyah ini sangat ingin membendung serbuan Mongol di medan pertempuran. Namun, melihat sikap rajanya yang gamang, Ruqnuddin Baibars lantas membelot. Kesetiaannya beralih ke Dinasti Mamluk di Mesir. Dalam pandangannya, Sultan Saifuddin Quthuz di Kairo jauh lebih kesatria daripada sang cicit Saladin dalam menghadapi gertakan Hulagu.

Pada 1259, Damaskus dan Halab (Aleppo) berturut-turut jatuh ke tangan musuh. An-Nashir dan para pendukungnya yang tersisa menjadi buruan pasukan Mongol. Saat itulah, Sultan Quthuz mulai menyusun rencana untuk melawan Mongol dan sekutunya. Ia mengangkat Baibars sebagai panglima perang, sedangkan an-Nashir diberinya suaka politik.

Rencana awal Daulah Mamluk untuk memancing pasukan Mongol ke Mesir dibatalkan. Sebab, usulan Baibars agar pasukan Mamluk menyongsong musuh di luar Mesir dianggap lebih taktis oleh Sultan Quthuz. Baibars juga menyarankan Ma'ayan Harod atau Lembah Ain Jalut di Palestina sebagai lokasi pertempuran.

Bergabungnya mantan bawahan an-Nashir itu cukup menguntungkan Mamluk. Baibars ternyata memiliki banyak informasi tentang kelemahan dan kekuatan pasukan Mongol. Hal itu diperolehnya dari intelejen yang bekerja sejak jatuhnya Baghdad hingga persekutuan Hulagu dengan kaum Kristen Nestorian di Suriah.

 
Baibars ternyata memiliki banyak informasi tentang kelemahan dan kekuatan pasukan Mongol.
 
 

 

Berdasarkan laporan yang diterimanya, Baibars menemukan bahwa kekuatan utama Mongol terletak pada pasukan berkuda. Balatentara Abbasiyah maupun Ayyubiyah selalu terdesak oleh kecepatan dan keluwesan pasukan berkuda Mongol. Serangan mereka dan pasukan pemanah merupakan kombinasi yang mematikan. Maka untuk mengalahkan Hulagu Khan dan sekutunya, keberadaan pasukan berkuda ini wajib diantisipasi.

Inilah mengapa Baibars mengusulkan Ain Jalut sebagai palagan pertempuran. Lokasi itu cukup sempit karena diapit dua bukit kecil yang cukup terjal. Secara demografis, lembah tersebut juga memiliki kontur berbatu-batu. Kuda-kuda perang tidak akan bisa bergerak leluasa di area yang sempit dan tidak rata seperti itu. Alhasil, kekuatan utama pasukan Mongol dapat dilumpuhkan sama sekali.

Untuk memancing pasukan Mongol agar sampai ke Ain Jalut, Baibars menyarankan sang raja Mamluk untuk membentuk sebuah tim pasukan khusus. Mereka harus memiliki kemampuan di atas rata-rata serta kuda-kuda yang terlatih.

Dengan begitu, mereka bisa mengantisipasi kecepatan kuda-kuda lawan. Kalau sampai tim ini dapat dikejar pasukan Mongol, strategi yang telah disusun Mamluk akan sia-sia belaka. Musuh tidak akan tergiring ke Ain Jalut.

photo
Lukisan yang menggambarkan Hulagu Khan memimpin pasukannya dalam perang Ain Jalut melawan pasukan Sultan Quthuz.. - (DOK Wikipedia)

Jalannya perang

Pada 658 H atau 1260 M, Sultan Quthuz dengan diiringi Baibars mulai menggerakkan pasukannya ke Palestina. Sesampainya di Gaza, mereka berpapasan dengan sekelompok kecil pasukan Mongol. Dengan cepat, Baibars dapat mengalahkannya. Kemenangan Muslimin ini, walaupun singkat, cukup berdampak pada moral kubu musuh.

Dari Gaza, Quthuz dan rombongannya terus bergerak ke arah utara melalui Jalur Acre. Dalam ekspedisi ini, mereka juga bertemu dengan tentara Salib. Awalnya, kaum Salibis menawarkan bantuan untuk menghadapi Mongol.

Namun, Quthuz atas saran dari Baibars menolaknya. Baginya, pasukan Kristen itu tak bisa dipercaya. Mengingat, salah satu sekutu utama Mongol justru berasal dari kaum Nestorian, yang dipimpin Kitbuqa Noyan.

Hingga saat itu, raja Mamluk ini belum mengetahui bahwa Hulagu Khan telah meninggalkan Suriah. Hulagu terpaksa berangkat ke Karakoram untuk menghadiri pemakaman seorang tetua Mongol, Mongke Khan. Menurut tradisi Mongol, ketika seorang senior mangkat, para pangeran mesti berkumpul di pusara mendiang serta mengadakan rapat untuk menentukan siapa penerusnya.

Nyaris seluruh prajurit utama Mongol yang ada di Suriah ditarik untuk mengiringi kepulangan Hulagu. Itu menandakan, pemimpin Mongol ini menganggap enteng kekuatan pasukan Quthuz. Tampuk kepemimpinan pasukan yang akan menghadapi Muslimin diserahkannya kepada Kitbuqa.

 
Itu menandakan, pemimpin Mongol ini menganggap enteng kekuatan pasukan Quthuz.
 
 

 

Pasukan Mamluk akhirnya sampai di Nazareth. Quthuz tidak langsung mengumumkan perang, tetapi mengatur terlebih dahulu penempatan prajuritnya. Sekelompok orang ditugaskan untuk menjadi mata-mata. Begitu mereka kembali, raja Mamluk itu pun mengetahui, musuh yang akan dihadapi kini dikomandoi seorang Nestorian, Kitbuqa—tanpa keterlibatan langsung Hulagu Khan. Ini berarti, kekuatan pasukan berkuda Mongol berkurang cukup signifikan.

Memasuki bulan suci, semua perencanaan perang sudah siap. Quthuz menyusun komposisi pasukan utama. Mereka diarahkan untuk sementara bersembunyi di bukit-bukit sekitar Ain Jalut. Komando berada langsung di bawah Baibars.

Pada tanggal 15 Ramadhan 658 H, kedua belah pihak telah siap berperang. Quthuz mulai menerapkan strateginya dengan memancing musuh agar sampai ke Ain Jalut. Kelompok-kelompok pasukan berkuda, dengan mengusung bendera Mamluk, mulai mendekati pasukan Mongol. Gerakan mereka lincah. Tugasnya bukan menyerang, tetapi mengelabui lawan agar mengejarnya.

Benar saja, puluhan ribu pasukan aliansi Mongol, Nestorian, dan sekutunya berduyun-duyun maju. Mereka bagaikan air bah yang menerjang keras. Didorong percaya diri yang besar, mereka yakin dapat melumatkan pasukan Muslimin dengan sekali tebas. Seolah-olah, kemenangan sudah di depan mata.

 
Balatentara musuh akhirnya memasuki Lembah Ain Jalut.
 
 

 

Balatentara musuh akhirnya memasuki Lembah Ain Jalut. Melihat pemandangan itu, Quthuz langsung memekikkan kalimat takbir, “Allahu akbar!” Begitu aba-aba dikibarkan, pasukan Mamluk seketika menyerang balik. Keadaan ini berhasil mengejutkan Mongol dan aliansinya.

Pasukan yang semula menyerbu dengan buas, kini terpaku kebingungan. Ternyata, jumlah prajurit Islam sebanding dengan mereka. Bahkan, umat Islam tampak begitu tangguh dan gagah berani dalam pertempuran.

Nyali pasukan Mongol-Nestorian ini ciut. Banyak di antaranya yang berlari ke belakang, tetapi terhalang pasukan-pasukan berkuda Mamluk. Lebih buruk lagi, Panglima Kitbuqa ditemukan sudah tewas. Jasadnya terkapar di atas gelanggang Ain Jalut.

Pemandangan itu menjungkirbalikkan mental mereka. Sebaliknya, kaum Muslimin semakin berdaya juang untuk mengalahkan musuh. Quthuz memerintahkan pasukannya untuk terus mengejar lawan yang berusaha kabur. Dengan penuh semangat, Panglima Baibars memimpin pengejaran itu. Kekuatan Mongol yang tersisa akhirnya dapat berlindung pada sebuah benteng di Desa Bisan, sekitaran Ain Jalut.

 
Dalam perang ini, nyaris seluruh 20 ribu pasukan Mongol dan sekutunya tewas. Inilah untuk pertama kalinya penjajah dari Asia Timur itu menderita kekalahan.
 
 

 

Dalam perang ini, nyaris seluruh 20 ribu pasukan Mongol dan sekutunya tewas. Inilah untuk pertama kalinya penjajah dari Asia Timur itu menderita kekalahan telak sejak era Genghis Khan. Kemenangan Dinasti Mamluk ini juga berarti terjaganya seluruh peradaban Islam dari “kepunahan”—situasi yang mungkin saja terjadi akibat serbuan membabi-buta orang-orang berwatak nomaden itu.

Menyaksikan pudarnya kekuatan musuh, Sultan Quthuz turun dari kudanya. Ia langsung bersujud syukur. Lisannya mengucapkan hamdalah, memuji keagungan Allah SWT. Setelah itu, raja Mamluk ini memimpin shalat syukur berjamaah. Sebab, tiada daya dan upaya kecuali atas izin Zat Yang Mahakuasa.

photo
Peta yang menggambarkan pergerakan dua pasukan di Ain Jalut. Dalam pertempuran pada Ramadhan 658 H itu kaum Muslimin meraih kemenangan telak. - (DOK WIKIPEDIA)

Bagai David vs Goliath

Perang Ain Jalut terjadi pada 25 Ramadhan 658 H, atau bertepatan dengan 3 September 1260 M. Pertempuran ini memperhadapkan Bani Mamluk Mesir dengan Mongol. Kesultanan Islam itu dipimpin Saifuddin Quthuz, sedangkan balatentara aliansi Mongol dikomandoi seorang Kristen Nestorian yang bernama Kitbuqa Noyan.

Banyak sejarawan memandang, palagan ini termasuk salah satu pertempuran yang penting dalam sejarah. Sebelumnya, bangsa Mongol selalu memenangkan perang sehingga leluasa mencaplok satu per satu wilayah di sekujur Asia. Bangsa dari timur ini bahkan mampu menghancurkan Baghdad, ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah yang juga salah satu jantung peradaban Islam pada abad ke-13.

Dengan reputasi demikian, Mongol menyebarkan ketakutan pada pihak-pihak lawannya. Namun, Dinasti Mamluk tidak gentar. Dari Kairo, Quthuz membuktikan bahwa kaum Muslimin masih berdaya untuk berjuang merebut kembali kehormatan dan harga diri.

Hasilnya, Lembah Ain Jalut menjadi saksi bisu kemenangan umat Islam. Untuk pertama kalinya sejak era Genghis Khan, balatentara Mongol mengalami kekalahan telak. Mereka tak mampu membalas Mamluk, sebagaimana dahulu banyak negeri-negeri Muslimin dilumatnya.

 
Untuk pertama kalinya sejak era Genghis Khan, balatentara Mongol mengalami kekalahan telak.
 
 

Dalam bahasa Arab, lembah tempat terjadinya perang tersebut berarti ‘mata Jalut'. Jalut sendiri merupakan tokoh yang dikenal baik umat Islam maupun kaum ahli kitab—Yahudi dan Nasrani. Dalam bahasa Inggris, sosok ini disebut sebagai Goliath.

Kisah perlawanan terhadap Jalut terjadi pada masa Bani Israil, tepatnya sesudah wafatnya Nabi Musa AS dan Nabi Yusya bin Nun (Joshua). Kala itu, keturunan Nabi Yaqub AS ini dilanda kegalauan dan keterpurukan. Sudah sekian lama tak ada nabi diutus. Mereka terlunta-lunta bagai domba tanpa pengembala.

Wilayah Bani Israil kemudian diserbu Dinasti Bukhtanashar, yang memiliki seorang petarung bertubuh sangat besar bernama Jalut. Allah menurunkan kepada kaum Israil seorang nabi bernama Shammil (Samuel). Sang nabi lalu memperoleh nubuat bahwa seorang pemuda akan menjadi raja. Dialah Talut (Saul).

Singkat cerita, Talut berhasil mengumpulkan ratusan orang Israil untuk melawan Bukhtanashar. Kendalanya hanya pada sosok Jalut. Betapa sulit menandingi kekuatannya.

photo
Patung Sultan Quthuz di Kairo - (DOK Wikipedia)

Allah berkehendak, bukan Talut yang berhasil membunuhnya. Daud-lah (David) yang sukses melaksanakan tugas itu. Pemuda ini melumpuhkan Jalut “hanya” dengan ketapel yang selalu dibawanya. Tiga buah kerikil menghantam dahi si raksasa ini hingga menewaskannya.

Nama lembah Ain Jalut seakan-akan mengabadikan peristiwa David vs Goliath. Ketika pasukan yang secara lahiriah tidak unggul, justru berbalik menjadi pemenang. Begitu pula, pasukan Bani Mamluk yang dipimpin Sultan Quthuz awalnya diremehkan Hulagu Khan dan sekutunya, Kitbuqa Noyan. Keduanya merasa yakin sekali kemenangan dalam genggaman.

Nyatanya, balatentara Mongol dan aliansinya kocar-kacir di Ain Jalut. Quthuz, dengan dibantu Panglima Ruqnuddin Baibars al-Bunduqdari, menerapkan taktik yang jitu untuk melumpuhkan mereka. Atas izin Allah SWT, umat Islam memenangkan pertempuran ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat