Bangsa Mongol dikenal sering memenangkan pertempuran berkat kelincahan pasukan berkuda. Strategi kaum Muslimin dalam Perang Ain Jalut berfokus pada mencari kelemahan pasukan kuda Mongol. | DOK FLICKR

Tema Utama

Heroisme Pasukan Sultan Quthuz di Ain Jalut

Dalam pertempuran Ain Jalut yang berlangsung pada Ramadhan ini, Dinasti Mamluk menghadapi bangsa Mongol.

OLEH HASANUL RIZQA

Dua pasukan bertemu di Lembah Ain Jalut, Palestina. Muslimin yang dipimpin Sultan Mamluk menghadapi balatentara Mongol. Dengan strategi yang matang, atas izin Allah SWT, kubu Islam memenangkan pertempuran pada Ramadhan itu.

Latar Pertempuran Ain Jalut

Kalangan sejarawan umumnya mengakui, Pertempuran Ain Jalut merupakan salah satu momen krusial dalam sejarah. Bahkan, beberapa penulis kerap menyandingkannya dengan Perang Badar. Sebab, kemenangan umat Islam di negeri Palestina itu berhasil menghentikan invasi Mongol yang hendak menyapu ke arah barat.

Bilamana Kesultanan Mamluk Mesir—representasi Muslimin dalam palagan itu—tidak mampu menghalau balatentara Hulagu Khan, peradaban Islam tidak akan seperti yang dikenal saat ini. Ain Jalut menjadi saksi titik balik sejarah. Untuk pertama kalinya, pasukan Mongol menderita kekalahan telak dan tidak mampu membalas.

Mitos bahwa kekuatan dari Asia Timur itu tidak terkalahkan seketika pupus. Sesudah perang tersebut, umat Islam tidak hanya menguasai kembali Yerusalem—kota suci setelah Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. Satu per satu wilayah Islam lainnya juga berhasil direbut dari tangan Mongol.

Perang Ain Jalut terjadi pada 25 Ramadhan 658 H, atau bertepatan dengan 3 September 1260 M. Ini adalah antiklimaks bagi penjajahan Imperium Mongol atas negeri-negeri Muslim. Sebelumnya, mereka mengobarkan invasi ke banyak wilayah di Asia Barat.

 
Mitos bahwa kekuatan dari Asia Timur itu tidak terkalahkan seketika pupus.
 
 

Pada 1258, Hulagu Khan dengan bengis menghancurkan Baghdad beserta (nyaris) seluruh warganya. Kota yang selama berabad-abad menjadi pusat peradaban Islam itu musnah dalam sekejap mata. Semua perpustakaan, madrasah, masjid, rumah sakit, dan rumah penduduk setempat dihancurkan.

Hulagu kemudian bersekutu dengan pasukan Kristen Nestoria yang dipimpin Kitbuqa Noyan. Aliansi ini mencaplok Damaskus dan Halab (Aleppo) pada 1259. Jatuhnya kedua kota itu menyebabkan runtuhnya Dinasti Ayyubiyah. Alhasil, Mongol semakin berambisi menguasai seluruh wilayah Islam di Mediterania Timur dan Mesir.

photo
Lukisan Hulagu Khan di Rashid-al-Din Hamadani, awal abad ke-14 - (DOK Wikipedia)

Setahun berikutnya, Hulagu mengirimkan utusan kepada Sultan Saifuddin Quthuz di Kairo. Pemimpin Dinasti Mamluk itu diancamnya agar bersedia tunduk pada kekuasaan Mongol. Mengutip sejarawan David W Tschanz dalam artikelnya, “History’s Hinge: ‘Ain Jalut” (2007), berikut ini adalah penggalan surat ancaman untuk penguasa Muslim tersebut.

Dari Raja Diraja Timur dan Barat, Khan yang Agung, kepada Quthuz si Mamluk, raja yang berusaha kabur dari pedang kami. Kamu mengetahui bagaimana nasib negeri-negeri lain dan, karena itu, tunduklah kepada kami. Kamu telah mendengar bagaimana kami menaklukkan kerajaan-kerajaan besar dan mengenyahkan mereka dari muka bumi. Kami telah menaklukkan wilayah yang luas, membantai semua orang. Kamu tidak bisa lepas dari teror kami. Ke mana kamu bisa lari? Kuda kami gesit, panah kami tajam, pedang kami seperti petir, hati kami sekeras gunung, tentara kami sebanyak pasir. … Kami akan menghancurkan masjid-masjid sehingga lemahlah Tuhan kalian. Kami juga akan membunuh anak-anak dan orang tua kalian semuanya!

Setelah menyimak seluruh isi surat itu, Sultan Quthuz segera menyuruh delegasi Mongol agar kembali kepada Hulagu. Mereka disuruh untuk mengabarkan kepada raja yang bengis itu bahwa kaum Muslimin Mesir tidak gentar sedikitpun. Raja Mamluk yang masih berdarah Turki itu lalu mengumpulkan para petinggi militernya untuk merumuskan strategi pertempuran.

Di wilayah pendudukan Suriah, Hulagu juga mempersiapkan balatentaranya. Namun, perang belum terjadi ketika kabar mengejutkan datang dari timur. Khan tertua, Mongke, diketahui meninggal dunia di Karakoram. Menurut tradisi Mongol, ketika raja senior mangkat, para pangeran mesti berkumpul di pusara mendiang dan mengadakan rapat untuk menentukan siapa penerusnya.

Hulagu begitu yakin akan kemenangan pihaknya atas Dinasti Mamluk. Karena itu, dia membawa serta seluruh prajurit utama Mongol untuk mengiringinya pulang ke Karakoram. Jumlah mereka sekira satu tumen, setara 10 ribu orang pasukan. Sebelum berangkat, cucu Genghis Khan itu berpesan kepada Kitbuqa Noyan agar menempatkan 20 ribu orang pasukannya di Suriah untuk menekan Kairo.

photo
Patung Sultan Quthuz di Kairo - (DOK Wikipedia)

Bagi Sultan Quthuz, teror yang disebarkan bangsa Mongol bukanlah sesuatu yang baru. Sebagai seorang pemimpin Mamluk—mamluk berasal kata mamalik dalam bahasa Arab yang berarti ‘budak’—dia memiliki darah budak.

Dahulu, ia merupakan budak dari seorang bangsawan bernama Ibnu Zaim. Waktu masih kecil, Quthuz menyaksikan bagaimana Genghis Khan dan pasukannya menyerbu Kerajaan Khwarizmi. Mereka berhasil meluluh-lantakkan Samarkand, ibu kota kerajaan Islam tersebut, dan membunuh penduduk setempat.

Maka dari itu, Quthuz merasa inilah saat yang tepat untuk membalik keadaan. Jangan lagi ada negeri Islam yang takluk di bawah kekejian Mongol. Dengan sepenuh hati, murid Haji Ali al-Farrasy itu bertekad untuk melindungi kaum Muslimin dan menegakkan kembali wibawa peradaban Islam.

Langkah awal yang diambilnya ialah menstabilkan situasi politik dalam negeri. Bahkan tanpa mendapatkan ancaman dari luar negeri, Dinasti Mamluk di Mesir kerap guncang oleh berbagai konflik perebutan kekuasaan. Para elitenya saling sikut untuk memegang kendali atas pemerintahan. Untuk itu, Quthuz bertindak tegas dengan memenjarakan beberapa lawan politiknya.

Kendala berikutnya yang mesti segera diatasi adalah persoalan ekonomi. Runtuhnya Dinasti Abbasiyah di Baghdad, bagaimanapun, turut memperburuk roda perdagangan negeri-negeri Islam, termasuk Mesir. Terlebih lagi, Suriah pun sudah jatuh ke tangan Mongol.

Quthuz tidak mau semakin membebani rakyatnya yang sudah tertekan krisis ekonomi. Karena itu, ia membuat kebijakan taktis agar dapat menjaga daya beli masyarakat tanpa harus mengabaikan anggaran negara dalam bidang pertahanan atau militer.

Caranya ialah dengan membagi produk pangan menjadi dua tipe. Pertama, produksi untuk memenuhi kebutuhan rutin penduduk. Kedua, hasil panen sisanya yang diperdagangkan untuk memperoleh laba. Pajak negara ditarik dari setengah nilai laba tersebut.

 
Quthuz membuat kebijakan taktis agar dapat menjaga daya beli masyarakat tanpa harus mengabaikan anggaran negara dalam bidang pertahanan atau militer.
 
 

Selain soal pangan, raja Mamluk itu juga berfokus pada keberlangsungan pangsa pasar. Ia lalu mendorong dibukanya pasar-pasar alternatif pengganti rute Suriah maupun Baghdad.

Untuk sementara waktu, kebijakan tersebut mampu memulihkan perekonomian Mesir. Namun, hal itu belum cukup untuk membiayai misi jihad. Quthuz pun mengumumkan bahwa seluruh pejabat, mulai dari struktur terendah hingga elite, wajib menyerahkan sebagian besar hartanya ke Baitul Mal. Instruksi ini mendapat dukungan dari kaum ulama setempat. Efeknya, jumlah dana yang dapat dihimpun untuk keperluan perang melonjak pesat.

Sesudah berhasil menyatukan berbagai elemen masyarakat, ia pun menggerakkan pasukannya ke luar Mesir. Di perbatasan Suriah, Quthuz dapat meyakinkan fraksi-fraksi yang mulanya memberontak terhadap Mamluk untuk dapat bersatu melawan Mongol. Kalaupun ada yang enggan berpartisipasi dalam misi ke Ain Jalut, mereka mengajukan perjanjian gencatan senjata serta berjanji tidak akan bersekutu dengan pihak musuh.

photo
Ain Jalut merupakan sebuah lembah di selatan Nazareth, Palestina. Kawasan ini menjadi saksi bisu salah satu pertempuran besar dalam sejarah. - (DOK WIKIPEDIA)

Di Suriah pun, situasi setempat berlangsung amat dinamis. Sebelum Ramadhan 658 H, negeri itu belum sepenuhnya dikuasai Mongol, melainkan masih di bawah kendali Dinasti Ayyubiyah. Wangsa itu dipimpin seorang raja yang berwatak lemah, an-Nashir Yusuf. Cicit Sultan Shalahuddin al-Ayyubi ini memiliki perwira yang setia bernama Ruqnuddin Baibars al-Bunduqdari. Walaupun mengetahui mental buruk atasannya itu, sang perwira tetap saja patuh.

Keadaannya berubah sejak proposal damai yang diajukan Ayyubiyah ditolak Hulagu Khan. Mongol justru mengirimkan ancaman akan membantai seluruh negeri Islam itu. Menghadapi itu, an-Nashir membuat benteng di Barzah, tetapi tidak mengambil yang terbaik di antara pasukannya. Ruqnuddin Baibars lebih murka lagi ketika mengetahui dirinya tidak ditunjuk untuk memimpin pasukan di Barzah.

Sejak itu, petinggi militer ini meninggalkan negeri Ayyubiyah. Bekas bawahan an-Nashir ini lantas berkirim surat kepada Quthuz untuk meminta jaminan keamanan. Ia juga menjanjikan informasi yang diketahuinya tentang kelemahan pasukan Mongol dan medan-medan tempur di Palestina, termasuk Ain Jalut.

 
Ia juga menjanjikan informasi yang diketahuinya tentang kelemahan pasukan Mongol dan medan-medan tempur di Palestina, termasuk Ain Jalut.
 
 

Sesampainya di Suriah selatan, Quthuz mengetahui keadaan an-Nashir dan keluarga yang sedang dikejar-kejar pasukan Mongol. Raja Mamluk itu lalu bersedia memberikan perlindungan bukan hanya untuk Ruqnuddin Baibars, tetapi juga an-Nashir. Bedanya, pemilik trah Ayyubiyah itu diminta menyerahkan seluruh harta bendanya demi kepentingan jihad. Adapun Baibars diberi kedudukan sebagai panglima perang.

Bergabungnya sisa-sisa kekuatan Ayyubiyah menimbulkan dampak positif bagi Quthuz. Sebelumnya, ia hanya bisa menduga-duga kondisi militer Mongol dari pelbagai informasi yang kurang memadai. Dengan intelijen yang disediakan Baibars, kekuatan dan kelemahan pasukan Hulagu Khan dapat lebih jelas dipetakan.

Awalnya, beberapa penasihat Quthuz menyarankan agar pasukan Mongol dipancing sampai ke Mesir. Mereka menduga, Hulagu dan Kitbuqa belum menguasai medan negeri itu sehingga Mongol lebih mudah dipatahkan. Namun, usulan ini ditentang Baibars. Alasannya, taktik itu justru memberikan lebih banyak peluang kepada musuh untuk terus menyerang. Disarankannya agar Muslimin menghadapi Mongol di luar Mesir.

photo
Strategi kaum Muslimin dalam Perang Ain Jalut berfokus pada mencari kelemahan pasukan kuda Mongol. - (DOK Wikipedia)

Untuk menguatkan pendapatnya, Baibars menjelaskan secara detail informasi fisik pasukan Mongol; mulai dari baju perang, persenjataan, hingga strategi yang sering kali mereka pakai. Sebagai bangsa nomaden, salah satu kekuatan Mongol terletak pada pasukan berkudanya. Ayyubiyah berkali-kali kalah lantaran serangan kuda-kuda mereka yang dapat bergerak cepat menerobos rintangan.

Baibars mengatakan, sebaiknya pasukan Mongol digiring ke suatu tempat yang tidak begitu mereka kenal medannya. Ia pun menyebut tempat itu, Lembah Ain Jalut. Konturnya diimpit dua bukit kecil. Alhasil, lembah tersebut melemahkan efektivitas pasukan berkuda. Quthuz menyetujui taktik ini.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat