Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Kerja Kreatif dan Tantangan Pandemi

Alhamdulillah, baik novel maupun film Surga yang Tak Dirindukan mendapat respons baik.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Saya menyederhanakan harapan, sesuatu yang biasanya tidak saya lakukan. Tujuannya, dengan harapan yang rendah semoga kekecewaan saya, jika harus ada,  tidak akan terlalu dalam.

Maka hari itu, ketika diundang satu rumah produksi untuk menonton adaptasi ketiga dari trilogi Surga yang Tak Dirindukan (SYTD), sejak dari rumah saya sudah mengosongkan harapan.

Saya akan ceritakan alasan di balik ketidakberanian saya berharap tetapi sebelumnya sedikit pemaparan kilas balik tentang buku yang kemudian menjadi trilogi ini.

Novel Surga yang Tak Dirindukan 1 yang diterbitkan kembali oleh penerbit  buku Republika, sempat meraih penghargaan IBF Award sebagai Novel Islami Terbaik. Proses penulisan hingga penerbitan buku berlangsung lebih dari 7 tahun.

 
Alhamdulillah, baik novel maupun film Surga yang Tak Dirindukan mendapat respons baik.
 
 

Ketika film-film religi ramai di Tanah Air, sedikitnya tiga kali novel SYTD dipinang produser. Namun akadnya baru terwujud pada 2014 bersama MD Pictures.

Hasil adaptasi film pertama, subhanallah, menjadi film terlaris peringkat pertama di tangga box office Tanah Air, dan menyabet 6 piala IBOMA (Indonesian Box Office Movie Awards) tahun 2015.

Novel kedua saya tulis sebab pada buku pertamanya kisah Arini, Pras, dan Meirose, karakter utama, masih menggantung. Buku kedua hadir dan tak lama kembali difilmkan. Tak ada kendala berarti, bahkan syutingnya merambah ke Hungaria, tempat jejak Islam sempat terpahat di sana.

Alhamdulillah, baik novel maupun film Surga yang Tak Dirindukan mendapat respons baik.

Saya ingat, saat gala premier di Kuala Lumpur pada 2017, pembawa acara sempat melemparkan pertanyaan kemungkinan hadirnya buku dan film ketiganya. Sebagai penulis, saya melihat potensi ini ada. Namun baru pengujung 2019, akhirnya bagian ketiga SYTD disepakati.

Manoj Punjabi, sebagai produser bukan sosok aji mumpung yang hanya memikirkan profit. Pertanyaan pertama beliau ketika saya usulkan beberapa sinopsis novelnya, adalah, “Apakah benar SYTD 3 diperlukan?”

Label Surga yang Tak Dirindukan,  menurutnya sudah besar dan dicintai,  sayang jika tidak didukung  ide kuat. Sutradara dua film pendahulunya, Hanung Bramantyo mendukung hadirnya bagian ketiga ini, meski pilihan eksekusi kali ini jatuh ke tangan sutradara perempuan, Prita Arianegara.

Kapan tenggat yang ditentukan untuk rilis filmnya? Lebaran 2020! Panggung emas film Indonesia biasanya memang di momen Lebaran dan akhir tahun.

Berbagai pihak bergerak cepat. Hari-hari awal syuting yang berlokasi di Yogyakarta, lancar. Para pemeran, sebagian wajah lama yang sudah akrab dan tidak perlu banyak penyesuaian, menjalin relasi baik dengan pihak yang baru terlibat.  

Namun, syuting dibayangi kecemasan setelah korona merebak di Tanah Air. Berbagai upaya menjaga dilakukan, selain prokes, dibuat pengamanan berlapis. Jika dulu siapa saja bisa mondar-mandir di lokasi, sekarang tidak.

Saya membayangkan bagaimana konsentrasi pemain seperti Fedi Nuril, Marsha Timothy, dan Reza Rahadian serta jajaran tim produksi  yang harus kerja ekstra keras, diburu ancaman tak terlihat namun berisiko nyawa.

 
Namun, masa-masa syuting berhenti tak lantas membuat aktor dan aktris lepas tanggung jawab.
 
 

Belum memikirkan keluarga di rumah dan kekhawatiran korona yang mengganas. Ketika seorang pekerja filmnya dikabarkan memiliki gejala Covid-19, kekhawatiran menjadi-jadi.

Produser lalu menyerahkan keputusan di tangan teman-teman yang berada di lapangan, apakah syuting akan diteruskan atau dihentikan. Keputusan akhir,  syuting dihentikan. Film bisa jadi terancam batal, atau bernasib tidak jelas.

Namun, masa-masa syuting berhenti tak lantas membuat aktor dan aktris lepas tanggung jawab. Mereka memastikan kondisi fisik tak berubah meski hanya di rumah agar jika syuting dilanjutkan, penampilan mereka tetap sama. Pekerjaan rumah lain memastikan penghayatan tetap baik.

Setelah berbulan-bulan vakum, produksi dilanjutkan, setelah situasi memungkinkan, namun mustahil kembali ke lokasi awal di Yogyakarta sebab terlalu berisiko. Selain prokes, dilakukan swab di lokasi syuting setiap hari, bagian ART memegang tanggung jawab besar menghadirkan set yang mirip dengan yang sudah dibuat di Yogya.

Keputusan besar kemudian diambil saat filmnya siap. Tayang di bioskop belum memungkinkan. Maka walau secara biaya sejak awal ditujukan untuk konsumsi layar lebar, SYTD 3 akhirnya berlabuh di salah satu OTT. 

 
Semakin besar tantangan, semakin indah hasil yang dinikmati. Terus bekerja rekan-rekan yang bergelut di kerja kreatif dan bidang apa pun.
 
 

Pertama menikmatinya, saya benar-benar tidak memiliki ekspektasi apa pun. Inilah film paling banyak melalui perjuangan dan menempuh risiko, di antara 11 buku saya yang telah diadaptasi ke layar lebar, sebab dilakukan di tengah pandemi.

Saat menonton, saya menangis hingga lima kali, diselingi derai tawa, sebab selain drama yang kuat, unsur komedi yang ditampilkan  jajaran  komika di filmnya sungguh menghibur, saya benar-benar lega. Alhamdulillah, kerja keras saat  pandemi, insya Allah terbayar.

Apresiasi kemudian bertebaran di media sosial, terutama terkait pembelajaran rumah tangga yang dihadirkan, sungguh menjadi oase yang menyemangati sekaligus membesarkan hati. Tidak ada kesempurnaan tanpa kerja keras dan perjuangan.

Semakin besar tantangan, semakin indah hasil yang dinikmati. Terus bekerja rekan-rekan yang bergelut di kerja kreatif dan bidang apa pun. Insya Allah, pandemi sekalipun tak akan melumpuhkan semangat dan harapan untuk  menghadirkan karya yang membanggakan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat