Edison Tan (25 tahun) memutuskan untuk menjadi Muslim setelah berupaya mencari kebenaran tentang Tuhan. Dia menjadi mualaf dengan penuh keyakinan. | DOK IST

Oase

Edison Tan, Berislam dengan Penuh Keyakinan

Sebelum memeluk Islam, lelaki asal Singapura ini kerap bertanya-tanya tentang kebenaran dan Tuhan.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

Hidayah dari Allah Ta’ala bisa datang kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Edison Tan merasakan betul makna ungkapan itu. Kepada Republika, pria berkewarganegaraan Singapura itu menuturkan kisah hidupnya hingga menemukan kedamaian dalam Islam.

Ia mengaku, sebelum menjadi seorang Muslim kerap memikirkan pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat kehidupan. Misalnya, bagaimana semua ini bermula? Siapa Pencipta alam semesta? Untuk tujuan apa manusia hidup? Apa yang ada sesudah kematian?

Padahal, Edison lahir dari keluarga yang tidak terlalu mengacuhkan religiositas. Ayahnya merupakan seorang yang liberal. Sementara itu, ibunya memeluk agama Buddha. Hingga berusia belasan tahun, ia pun mengikuti kepercayaan ibundanya. Untuk selanjutnya, lelaki ini memeluk agama Kristen.

Kalau ditanya mengapa, alasannya cenderung tidak tetap. Ia merasa, waktu itu dia hanya ikut-ikutan mayoritas orang di lingkungan tempatnya bergaul. Ada perasaan nyaman saat bersikap conformist.

Jika diingat-ingat lagi, lanjutnya, ada perbedaan kesan dalam menghayati kepercayaan sebelum dia menemukan hidayah Islam. Sewaktu beragama seperti ibunya, ia tidak benar-benar mendalami ajaran Buddha. Baginya, pergi ke kuil atau berdoa semata-mata dilakukan untuk rutinitas. Belum terpikir dalam benaknya untuk memahami pentingnya sebuah agama.

 
Belum terpikir dalam benaknya untuk memahami pentingnya sebuah agama.
 
 

Keadaannya berbeda ketika Edison mulai berusia remaja. Muncul rasa ingin tahu dalam dirinya. Ia memang mengimani agama yang dipeluk kawan-kawannya. Namun, ada ketertarikan untuk menelusuri lebih lanjut kepercayaan ini. Umpamanya, mengenal siapakah sosok yang disalib itu? Bagaimana agama ini berkembang, dan lain sebagainya.

Ia pun makin giat beribadah. Tiap akhir pekan, dia selalu menghadiri ibadah, baik sendirian maupun bersama teman-temannya. Bahkan, mereka sempat mengiranya sebagai orang yang saleh karena rajin ke tempat ibadah.

Bagaimanapun, Edison saat itu belum merasa puas. Dengan rajin beribadah, menurutnya, tidak serta-merta pelbagai pertanyaannya tentang ketuhanan selesai. Masih banyak pertanyaan yang baginya belum menemui jawaban yang pasti atau setidaknya menenteramkan batin.

“Saat itu, saya semakin bersemangat, ingin mencari tahu tentang Tuhan. Sebab, saya merasa, kian banyak pertanyaan tentang kehidupan, tentang eksistensi, terutama mengenai diri saya sendiri. Misalnya, untuk apa saya hidup? Bagaimana setelah mati?” ujar dia saat berbincang melalui korespondensi surel dengan Republika, beberapa waktu lalu.

Dari tahun ke tahun, pertanyaan yang sama terus menggantung dalam pikiran Edison. Dia ingin mencari kebenaran mengenai Tuhan. Apakah yang selama ini diyakini ibunya? Ataukah yang selama 11 tahun belakangan itu ia percaya? Sambil terus berharap, dirinya berusaha untuk menemukan jawaban atas kegelisahannya itu.

 
Saya merasa, kian banyak pertanyaan tentang kehidupan, tentang eksistensi, terutama mengenai diri saya sendiri.
 
 

Mengenal Islam

Begitu lulus dari universitas tempatnya belajar, Edison diterima bekerja pada sebuah perusahaan. Sejak itu, lingkaran pergaulannya bertambah luas. Di antara kawan-kawannya, ada yang merupakan Muslim.

Akhirnya, ia pun mulai tertarik untuk mengenal Islam. Sebelumnya, ia tentu sudah mendengar sekilas tentang agama ini. Malahan, ada pula stigma-stigma negatif tentang kaum Muslimin, termasuk yang mengaitkannya dengan terorisme atau ekstremisme.

Bagaimanapun, ia tidak terhanyut pembingkaian (framming) berita-berita yang menyudutkan Islam. Alih-alih begitu, Edison memilih untuk melihat cerminan agama ini dari para pemeluknya yang terdekat, yakni orang-orang di sekitarnya. Dari yang diketahuinya, lebih sering dia mendapatkan kesan positif. Ia pun mengagumi umat Islam yang dikenalnya.

Sebab, mereka tampak begitu taat dengan kewajiban agama. Umpamanya, shalat lima waktu atau berpakaian yang menutup aurat—semisal kaum perempuan yang mengenakan hijab. Padahal, bisa-bisa saja mereka mengabaikan panggilan azan atau berpakaian yang memperlihatkan aurat.

Namun, kawan-kawan Muslimnya memilih untuk mematuhi ajaran agama. Alasannya, ingin lebih dekat dengan Tuhannya.

“Sejujurnya, saya tidak mempelajari Islam untuk memeluk agama ini. Begitu pada awalnya. Ya, pengalaman saya dengan banyak teman Muslim membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang Islam,” kata dia mengenang.

 
Pengalaman saya dengan banyak teman Muslim membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang Islam.
 
 

Saat itu, Edison mencari tahu tentang Islam melalui bacaan-bacaan atau video di internet. Ia juga aktif bermedia sosial. Suatu hari, ia berkenalan melalui Instagram dengan seorang mualaf asal Singapura, yakni Herald Chia. Tak menunggu waktu lama, keduanya menjadi akrab satu sama lain.

Dari Herald, ia mengetahui tentang Alquran sebagai sumber agama Islam. Edison pun mulai membaca terjemahan kitab suci tersebut. Ia juga menyimak kisah-kisah tentang Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.

Beberapa cerita yang mengesankannya ialah betapa tingginya akhlak Rasulullah SAW. Bahkan ketika beliau dihina dan dicerca, yang ditunjukkannya adalah kasih sayang dan pemaafan. Tidak sedikit musuh Nabi SAW yang kemudian berbalik menjadi pembelanya yang setia.

Pada suatu hari, Edison mengajak Herald untuk mengobrol langsung dengannya di sebuah kafe. Keduanya lantas berjumpa di tempat yang telah dipesan sebelumnya.

Dalam kesempatan itu, ia banyak bertanya tentang makna Islam. Bagaimana agama ini mengubah hidupnya menjadi lebih baik dan terarah. Herald pun menjawab setiap pertanyaan dengan lancar, tanpa ada kesan menggurui.

Sesudah obrolan itu, Edison kian tertarik kepada Islam. Ia pun mulai sering berpikir keras, apakah akan benar-benar menerima dan memeluk Islam—ataukah tidak. Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi semacam kerinduan. Ada keinginan yang kuat untuk memahami Tuhan, Zat Yang Maha Pencipta; Zat yang telah menciptakannya.

Kepada Herald, ia menyampaikan uneg-unegnya itu via direct message di Instagram. Mualaf tersebut menjawabnya dengan sebuah pengandaian. “Bagaimana jika suatu hari nanti saya meninggal dunia? Lalu, akhirnya masuk neraka karena percaya pada sesembahan yang salah?” kata Edison meniru perkataan kawannya itu.

 
Bagaimana jika suatu hari nanti saya meninggal dunia? Lalu, akhirnya masuk neraka karena percaya pada sesembahan yang salah?
 
 

“Jadi, begitu banyak pertanyaan yang melintas di otak dan hati saya sampai saat itu. Hingga akhirnya, saya yakin benar-benar ingin memeluk Islam,” sambungnya.

Lantas, ia pun bertemu muka lagi dengan teman Muslimnya itu. Waktu itu, Desember 2020. Edison pun untuk pertama kalinya mengucapkan dua kalimat syahadat. Itulah tanda keislaman dan keimanannya.

“Ini adalah sebuah hidayah dari Allah bagi hamba-Nya yang terpilih. Jawaban untuk ya atau tidak akan berpengaruh terhadap hidup selamanya. Saya menerima Islam sebagai agama yang saya yakini,” tuturnya.

Hari di mana Edison menerima Allah ke dalam hidupnya membuat dia berpikir apakah dia telah melakukan kesalahan atau tidak. Tetapi kenyataannya, setelah menjadi mualaf, pilihannya ini adalah hal terindah yang pernah dirasakan dalam hidupnya. Ia pun meyakini bahwa memeluk Islam adalah benar-benar petunjuk dari Allah SWT.

Penuh syukur

Beberapa hari kemudian, Edison menyambangi gedung Islamic Center Darul Arqam di Singapura. Dengan ditemani Herald Chia, ia melafalkan kembali dua kalimat syahadat di hadapan para ustaz setempat. Setelah itu, mereka mengajarinya berbagai aspek ibadah dalam Islam.

Pada awalnya, pengalaman belajar tentang shalat agak menantang bagi dia. Sebab, Edison saat itu masih belum mengetahui cara membaca tulisan berbahasa dan aksara Arab.

Ia pun bersyukur, kawan-kawannya di Darul Arqam dengan sangat baik membimbingnya. Para guru di sana pun dengan sabar menolongnya agar lancar mempelajari bacaan dan gerakan shalat. Di tempat kajian keislaman itu, ia pun berkenalan dengan seorang perempuan Muslimah.

Namun, karena pandemi Covid-19, saat ini tidak ada kegiatan kajian yang diselenggarakan. Ramadhan tahun ini merupakan puasa pertama untuknya. Edison mulai belajar ibadah shiyam. Harapannya, ibadah sebulan penuh ini dapat dijalaninya dengan lancar, tanpa kendala yang berarti.

photo
Sebelum memeluk Islam, Edison lelaki asal Singapura ini kerap bertanya-tanya tentang kebenaran dan Tuhan. - (Istimewa)

Tentang keadaannya kini, ia mengaku banyak-banyak bersyukur. Satu yang disyukurinya, menjadi seorang Muslim bukanlah kendala. Di tempatnya bekerja, tidak ada sama sekali penolakan, baik dari atasan maupun rekan. Memang, ada banyak orang Islam yang bekerja di sana.

Banyak rekan kerjanya yang ikut berbahagia dengan pilihan hidupnya. Mereka mengucapkan selamat karena sebagai seorang mualaf dirinya bagaikan bayi yang baru dilahirkan.

Namun, respons yang agak berbeda disampaikan ibunya sendiri. Keputusannya untuk berislam sempat ditentang oleh sang ibunda. Apalagi, ketika Edison ketahuan sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita Muslim.

“Ibu saya juga tidak berkenan untuk hadir di pernikahan saya jika saya menikah dengan seorang Muslimah,” katanya.

Hingga kini, ia terus berupaya memperbaiki hubungan dengan ibunya. Ia berharap, dapat mengamalkan ajaran Islam terkait ini. Sebab, Nabi SAW melarang umatnya untuk memutus tali silaturahim. Terhadap keluarga atau karib kerabat yang berlainan agama pun, dianjurkan untuk terus berbuat baik.

 
Kita sebagai Muslim diajarkan untuk memaafkan dan mencintai. Sebab, pada akhirnya, kita bertanggung jawab atas tindakan masing-masing, dan bukan mereka.
 
 

“Kita sebagai Muslim diajarkan untuk memaafkan dan mencintai mereka. Sebab, pada akhirnya, kita bertanggung jawab atas tindakan masing-masing, dan bukan mereka. Apa yang mereka lakukan adalah tanggung jawab mereka sendiri,” tuturnya.

Adapun ayahnya cenderung bebas. Meski tidak terlalu mendukung pilihan agamanya, sang ayah menyatakan kurang setuju bila Edison sampai mengganti namanya dengan nama yang “berbau” Muslim.

Sedangkan saudaranya, baik kakak perempuan dan kedua adik laki-lakinya mendukung apa pun keputusan hidupnya.

Selain dari keluarga, tantangan yang dihadapinya sebagai seorang mualaf adalah makanan. Setelah menjadi Muslim, ada cukup banyak makanan favoritnya dahulu yang kini harus ditinggalkannya. Sebab, sajian-sajian demikian itu haram dikonsumsi.

Untungnya, Singapura merupakan negara yang ramah Muslim. Banyak warung halal yang mudah ditemukan. Maka, tidak kesulitan mencari menu makanan atau minuman halal.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat