Cover Islam Digest, Ahad 11 April 2021. Wakaf Dalam Sejarah Turki Utsmani | Islam Digest/Republika

Tema Utama

Wakaf Dalam Sejarah Utsmani

Para sultan Turki Utsmaniyah mendukung perkembangan pesat wakaf di seluruh negeri.

OLEH HASANUL RIZQA

Lebih dari enam abad lamanya, Kesultanan Turki Utsmaniyah merawat tradisi wakaf. Pelaksanaan ibadah itu berkontribusi besar menopang kemakmuran negeri. Kebijakan negara ikut mendukung antusiasme masyarakat berwakaf.

Geliat Wakaf di Negeri Utsmani

 

Dalam sejarah, Turki Utsmaniyah pernah menjadi kekuatan utama dunia. Wilayah kekuasaannya meliputi tiga benua sekaligus, yakni sebagian Asia, Afrika, dan Eropa.

Dinasti Utsmaniyah bermula sejak Osman Ghazi mendirikannya pada 1299 M. Saat dipimpin Sultan Selim I sekira dua abad berikutnya, wangsa tersebut berhasil menguasai tiga kota suci Islam —Makkah, Madinah, dan Baitul Makdis. Kerajaan tersebut pun menyandang titel “kekhalifahan”.

Sebagai sebuah negara Islam, Turki Utsmaniyah menerapkan syariat. Penerapan hukum Alquran dan Sunnah juga dilakukan untuk mengurus kemaslahatan umum. Wakaf menjadi salah satu praktik keagamaan yang berdampak besar di sana.

Masyarakat maupun pemerintah setempat sudah membudayakan wakaf selama berabad-abad. Hal itu lantas menginspirasi Barat sehingga lahirlah institusi dana abadi (endowment fund) di Eropa.

Melalui sistem wakaf, Turki Utsmaniyah sukses mewujudkan pemerataan dan kemakmuran. Berbagai kebijakan yang diambil para sultan pun membuat masyarakat mudah diajak berwakaf. Hasil pengelolaan aset-aset wakaf dinikmati banyak orang, termasuk kaum pelajar.

 
Melalui sistem wakaf, Turki Utsmaniyah sukses mewujudkan pemerataan dan kemakmuran.
 
 

Malahan, sebagian besar pengeluaran harta wakaf di kerajaan Islam tersebut digunakan untuk kesehatan dan pendidikan Muslimin. Dengan demikian, dampak positifnya terasa merata di seluruh negeri.

Iskandar dalam artikelnya “Implementasi Wakaf Uang pada Masa Kesultanan Utsmaniyah” (2020) menjelaskan, sistem pengelolaan wakaf berkembang dengan pesat dalam masa kekhalifahan tersebut. Para sultan dan jajarannya, baik di ibu kota maupun daerah-daerah, selalu berupaya memperluas ruang lingkup wakaf.

Entitas yang bisa diwakafkan bukan saja dalam bentuk harta yang tak dapat bergerak, semisal tanah dan bangunan. Siapapun dapat mewakafkan harta yang bergerak, seperti perkakas pertanian, peralatan belajar-mengajar, atau uang tunai.

Iskandar meneruskan, pioner pengelolaan wakaf di Turki ialah Orhan Ghazi (1324-1326 M). Putra dari sang pendiri Dinasti Utsmaniyah Osman Ghazi itu mengikuti kebiasaan daulah-daulah Islam sebelumnya yang mendukung perkembangan dunia perwakafan.

photo
Orhan Ghazi merupakan putra dari sang pendiri Dinasti Utsmaniyah Osman Ghazi adalah pioner pengelolaan wakaf di Turki - (DOK Wikipedia)

Di atas tanah wakaf, Orhan mendirikan lembaga pendidikan Islam pertama dalam sejarah Utsmaniyah. Madrasah di Iznik itu difungsikan sebagai tempat bagi masyarakat, khususnya generasi muda, untuk menuntut ilmu-ilmu agama.

Di antara alumni pertama sekolah tersebut ialah Dawud al-Qaysari (1260-1350), seorang ulama-sufi terkemuka. Orhan lantas mengangkatnya sebagai profesor madrasah tersebut.

Dalam perkembangannya, sang sultan tidak hanya mewakafkan harta pribadinya demi kelangsungan institusi tersebut. Ia pun memperkenalkan sistem pendidikan berjenjang agar para peserta didik lebih berfokus dalam menimba ilmu.

photo
Kemakmuran yang terjadi pada masa kekhalifahan di Turki Utsmaniyah disokong antara lain perwakafan. - (DOK WIKIPEDIA)

Beberapa tingkatan madrasah yang ada di Daulah Utsmaniyah adalah Ibtidayi Haric, Otuzlu Medreseler, Kirkli ve Elli Medreseler, Ibtidayi Dahil Medreseleri, Tetimme Medreseleri, serta Samaniye Medreseleri.

Hingga tutup usia, Orhan terus melestarikan wakaf di seluruh wilayah kekuasaannya. Tentu, tidak hanya wakaf, melainkan juga berbagai instrumen lainnya dalam ajaran Islam yang berdampak pemerataan ekonomi. Hasilnya, pada masa kepemimpinan Orhan nyaris tidak ditemukan kalangan mustahik zakat dari masyarakat Turki sendiri. Zakat pun mesti disalurkan ke luar negeri.

Penerusnya adalah Sultan Murad I. Di bawah kepemimpinan raja ketiga Dinasti Utsmaniyah itu, ibu kota negeri pindah ke Adrianople—yang lantas diberi nama baru, Edirne. Selama memimpin, sang penakluk dalam Perang Kosovo itu sangat memperhatikan kepentingan umum. Karena itu, ia pun meneruskan kebijakan raja-raja sebelumnya yang mendorong pesatnya dunia perwakafan.

photo
Lukisan Sultan Murad I dari Dinasti Utsmaniyah mendorong pengelolaan wakaf yang diwariskan para pendahulu. - (DOK Wikipedia)

Mengikuti jejak ayahnya, Murad mendukung pembangunan masjid dan rumah sakit dari tanah serta bangunan wakaf. Ia pun mengajak kalangan berekonomi mapan hingga tinggi untuk mewakafkan hartanya agar manfaatnya bisa dirasakan orang banyak.

Ajakan itu dimulai dengan contoh dari dirinya sendiri. Bisa dipandang, sang sultan membuka jalan bagi tradisi kaum elite Utsmaniyah dalam mendorong pesatnya wakaf. Selama kerajaan Islam ini berdiri, institusi wakaf menjadi bagian penting dari sistem ekonomi negara.

 
Bisa dipandang, sang sultan membuka jalan bagi tradisi kaum elite Utsmaniyah dalam mendorong pesatnya wakaf.
 
 

Wakaf tak hanya berkembang di pusat, tetapi juga daerah-daerah. Apalagi, pelaksanaan wakaf dapat menerima harta yang bergerak. Wakaf uang di Turki Utsmaniyah tumbuh subur.

Alhasil, pelbagai sarana dan prasarana yang diperlukan masyarakat setempat dibangun dengan menggunakan harta wakaf tersebut. Sebut saja, masjid, sekolah/madrasah, rumah sakit, perpustakaan, pasar, saluran irigasi, jalan, pemandian umum, dan lain-lain. Pembangunan pada masa sebelum maupun sesudah Turki berstatus kekhalifahan berkembang baik berkat pengelolaan harta wakaf yang profesional.

Dengan tegaknya sendi perekonomian negeri, Turki seakan-akan sedang menyiapkan diri untuk menjadi negara besar pada masa itu. Memasuki abad ke-15, kerajaan Islam ini memang terus berjaya. Sementara, negeri-negeri tetangganya, khususnya Romawi Timur atau Bizantium, kian melemah.

Pada 1444, Mehmed II naik takhta. Usianya kala itu masih belasan tahun, tetapi sudah memiliki visi besar, yakni menaklukkan jantung kekuasaan Bizantium. Ia berharap menjadi sosok yang telah dinubuatkan Rasulullah SAW berabad sebelumnya.

Sabda beliau, “Konstantinopel benar-benar akan ditaklukkan. Sebaik-baik amir (pemimpin) adalah amir yang memimpin penaklukkannya, dan sebaik-baik tentara adalah tentara yang menaklukkannya.” (HR Bukhari).

Maka dengan berbagai persiapan, atas izin Allah SWT, dia terbukti menjadi tokoh yang dimaksud. Raja ketujuh Dinasti Utsmaniyah itu lantas bergelar “al-Fatih”, Sang Pembebas.

Konstantinopel tidak kemudian dihancurleburkan oleh pasukan Utsmaniyah. Justru, penguasa Muslim memajukan kota tersebut dan membuatnya sebagai salah satu mercusuar peradaban Islam.

photo
Sultan Mehmed II al-Fatih baru berusia 21 tahun saat memimpin pasukan Islam untuk membebaskan Konstantinopel. - (DOK WIKIPEDIA)

Untuk mewujudkan cita-cita itu, Mehmed II al-Fatih menggunakan metode wakaf. Di antaranya adalah pembentukan yayasan amal dalam rangka mengembangkan Hagia Sophia, bekas gereja besar Konstantinopel yang diubah jadi masjid. Dalam masa pemerintahannya, yayasan wakaf Masjid Hagia Sophia memiliki ribuan unit toko dan rumah serta puluhan toko dan peternakan domba.

Otoritas Utsmaniyah menjadikan wakaf sebagai penopang perekonomian bukan hanya di kota-kota besar, tetapi juga daerah-daerah. Dalam wakaf pun, timbul semangat gotong royong antara penguasa dan elemen masyarakat yang mampu atau kaya.

Mereka diimbau untuk turut berwakaf sehingga menebarkan manfaat seluas-luasnya di seantero negeri. Tujuannya tentu demi meraih ridha Allah. Sebab, wakaf adalah sebuah ibadah, yang juga memerlukan keikhlasan dari orang per orang.

Ketika negara sedang dalam situasi sulit, akibat peperangan, gagal panen, dan sebagainya, lembaga-lembaga wakaf menyediakan berbagai layanan sosial untuk masyarakat.

Umpamanya, layanan logistik dan kesehatan. Warga yang membutuhkan dipersilakan untuk mendatangi toko roti di kompleks kulliye dekat Hagia Sophia. Di sana, orang itu bisa mendapatkan makanan gratis. Begitu pula, warga yang sakit dapat berobat cuma-cuma di setiap rumah sakit yang dibangun dari wakaf.

Siapapun bisa memetik manfaat secara gratis dari fasilitas publik yang didirikan dari dana wakaf. Contoh sederhananya, jalan-jalan yang menghubungkan satu daerah dengan daerah lainnya.

 
Pemerintah Utsmaniyah bahkan membangun berbagai penginapan (han) yang khusus difungsikan untuk kalangan musafir, pelancong, atau pedagang dari luar negeri dan daerah jauh.
 
 

Pemerintah Utsmaniyah bahkan membangun berbagai penginapan (han) yang khusus difungsikan untuk kalangan musafir, pelancong, atau pedagang dari luar negeri dan daerah jauh. Di sana, makanan, minuman, dan tempat berteduh disediakan dengan baik. Turki menunjukkan wataknya sebagai sebuah bangsa Muslim yang menghormati tamu.

Sebagian hasil pengelolaan wakaf di sana mengalir ke kas negara. Pada akhirnya, dana tersebut dipakai untuk membangun berbagai fasilitas dan sarana umum. Menurut Profesor Murat Cizakca dari Fatih University, ada dua bentuk wakaf yang populer pada masa itu, yakni wakaf uang dan wakaf berbentuk tanah atau properti.

photo
Dana wakaf di Kekhalifahan Turki Utsmaniyah acap kali dipakai untuk mendukung aktivitas para pencari ilmu. - (DOK EPA/Sedat Suna)

Melalui tulisannya yang berjudul “Ottoman Cash Waqf Revisited: The Case of Bursa”, Murad menyatakan, wakaf dalam bentuk tunai biasanya diinvestasikan. Penanaman modal itu, misalnya, dilakukan pada sektor properti serta perumahan.

Sementara itu, wakaf tanah dan bangunan bisa disewakan atau dijual untuk mendapatkan dana tunai. Ismail al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi dalam Atlas Budaya: Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang berpandangan, wakaf seperti yang dipraktikkan di era Utsmaniyah merupakan contoh paling awal pengembangan moral. Sebab, harta wakaf terus berkembang dan bermanfaat demi kemaslahatan umat.

Setelah al-Fatih, sultan besar berikutnya adalah Suleiman al-Qanuni. Melanjutkan tradisi pemimpin-pemimpin sebelumnya, ia pun menggerakkan perwakafan. Alhasil, kesalehan sosial masyarakat berbanding lurus dengan meningkatnya taraf perekonomian nasional.

 
Salah satu legasi Suleiman al-Qanuni adalah wakaf tanah miliknya pribadi. Lahan itu begitu luas sehingga berkembang menjadi sebuah kota pendidikan di Mosul.
 
 

Salah satu legasinya adalah wakaf tanah miliknya pribadi. Lahan itu begitu luas sehingga berkembang menjadi sebuah kota pendidikan di Mosul. Setengah dari luas area itu difungsikan sebagai tempat tinggal para pembelajar dan guru-guru. Adapun setengahnya lagi menjadi keperluan madrasah.

Sultan al-Qanuni juga membuat kebijakan yang mendetail tentang pengelolaan wakaf . Administrator wakaf diharuskan memiliki karakteristik amanah, profesional (tsiqah), serta berkemampuan managerial. Pengelola wakaf di seluruh negeri menerima gaji tetap dari pemerintah. Bahkan, seorang manajer wakaf bisa mendapatkan gaji sebesar lima dirham per hari.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat