Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Sekolah Tatap Muka pada Masa Pendemi

Perkuat doa untuk anak-anak kita, semoga masa depan mereka terjaga dan tak terhambat wabah.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Kebetulan saja, saya lewat di sebuah sekolah dasar dan melihat beberapa anak berpakaian seragam sedang berada di lapangan. Sekitar enam orang anak, tampak duduk-duduk di anak tangga tiang bendera.

Mereka asyik mengobrol santai tanpa ada upaya menjaga jarak. Satu lagi, tak satu pun dari anak-anak tersebut mengenakan masker. Sebagian di antaranya memiliki masker kain, tetapi dibiarkan menggantung saja di bawah dagu. 

Masih di lapangan yang sama, agak jauh sekelompok anak terlihat berkumpul bersama teman-teman. Lagi, mereka berdiri bergerombol tanpa masker dan kesadaran menjaga jarak.

 
Seberapa siap mereka kembali belajar tatap muka ke sekolah?
 
 

Barangkali pemandangan ini sederhana. Namun, di tengah pandemi, jelas mewakili fenomena yang cukup memberi gambaran akan tingkat kesadaran anak-anak kita pada  protokol kesehatan (prokes). Seberapa siap mereka kembali belajar tatap muka ke sekolah?

Gubernur Jateng saat meninjau beberapa sekolah yang sudah menyelenggarakan uji kegiatan belajar tatap muka, juga menemukan sederet pelanggaran prokes. Baik di antara sesama guru maupun antara pengajar dan murid.

Ada guru yang menyerahkan telepon selulernya ke murid agar difoto, misalnya. Tentu pelanggaran prokes yang dilakukan oleh tenaga pendidik ini menjadi catatan tersendiri, ketika mereka seharusnya menjadi ujung tombak teladan di hadapan siswa. 

Bagaimana hal ini terjadi? Apakah mereka tidak mendapat bimbingan khusus tentang pandemi, semacam masa orientasi sekolah misalnya. Hal apa yang boleh dan  tidak boleh dilakukan ketika kegiatan tatap muka dijalankan.

Materi orientasi ini tentu tidak hanya terkait pada apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di sekolah, tetapi juga mencakup do’s dan don’ts saat pergi dari rumah ke sekolah, naik kendaraan, saat tiba di sekolah termasuk dalam berkegiatan di sekolah; berada di kantin, di lapangan, toilet, saat menunggu pulang dan lain-lain.

Intinya, dari A sampai Z seluruhnya  terkait kegiatan belajar tatap muka. Semua diperinci dengan  detail dan lengkap. Bahkan, bukan mustahil di Indonesia perlu semacam penjajakan atau survei seberapa siswa, guru, atau orang tua memercayai bahaya Covid-19.

Sebagai respons kenyataan di lapangan, di mana masih saja ada sebagian yang tidak percaya keberadaan Covid-19. Keyakinan yang tentu berpengaruh pada perilaku dan kebiasaan sehari-hari dan bisa membahayakan sekitar.

 
Orang tua yang tidak percaya adanya Covid-19 tak akan begitu peduli prokes. 
 
 

Orang tua yang tidak percaya adanya Covid-19 tak akan begitu peduli prokes. Ketidakpercayaannya akan menular kepada ananda, yang juga tidak merasa perlu patuh pada prokes. Lalu, bukan mustahil menjadi abai prokes di sekolah serta membahayakan siswa lain.

Karena itu, orientasi awal prokes di sekolah sangat penting. Jika dilihat aturannya, memang penyelenggaraan belajar tatap muka mewajibkan dijaganya prokes. Namun, potensi berkerumun dan pelanggaran prokes justru lebih berbahaya di luar jam belajar.

Kursi di kelas, bisa saja disusun dengan jarak yang jauh, anak-anak  tentu saja memakai masker di kelas. Namun, bagaimana interaksi mereka pada waktu  istirahat, setelah pulang dari sekolah, atau pada jeda waktu pulang sekolah, termasuk ketika menunggu jemputan atau naik kendaraan?

Momen-momen itu justru menjadi krusial sebab berpotensi menyebabkan penularan.

Di kampus tempat anak saya kuliah, sudah diumumkan bahwa semester depan, ada kemungkinan para mahasiswa mulai tatap muka. Dengan catatan, semua dosen dan mahasiswanya sudah divaksinasi.

Kebijakan ini terasa lebih masuk akal daripada mewajibkan hanya guru divaksinasi, sementara siswa tidak. Salah satu yang paling dikhawatirkan, interaksi para siswa yang belum memiliki kesadaran tinggi menjaga diri padahal cenderung dekat satu sama lain.

Secara pribadi, saya belum yakin Indonesia sudah siap memulai lagi kegiatan belajar tatap muka di pertengahan tahun ini. Namun, jika akhirnya, sekolah benar harus dibuka keseluruhan Juli  ini, pastikan segala sesuatunya  benar-benar direncanakan dan disiapkan baik.

Jangan sampai, kebijakan dijalankan lalu dengan cepat dievaluasi ulang karena terjadi  lonjakan jumlah penderita. Sejak Maret, sebenarnya ada beberapa sekolah sudah dibuka untuk melihat seberapa besar pengaruh tatap muka terhadap penyebaran Covid-19.

 
Perkuat doa untuk anak-anak kita, semoga masa depan mereka terjaga dan tak terhambat wabah. 
 
 

Hal lain, ada baiknya rumah sakit pun mulai mendalami jejak setiap ada pasien baru. Apakah ada anak yang tinggal satu rumah dengan mereka dan mulai bersekolah?

Paling tidak, dari hasil ini kita bisa melihat hubungan belajar tatap muka dan penyebaran Covid-19, juga mengantisipasi jangan sampai terjadi penularan kepada keluarga dari siswa yang sudah belajar di sekolah hingga membahayakan banyak orang.

Perkuat doa untuk anak-anak kita, semoga masa depan mereka terjaga dan tak terhambat wabah. Semoga, pada akhirnya, mereka tetap  mampu melukis masa depan dengan indah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat