Ustaz Ahmad Sarwat Lc, pendiri Rumah Fiqih Indonesia | DOK IST

Hiwar

Ustaz Ahmad Sarwat Lc, Persiapkan Diri Sambut Ramadhan

Ust Ahmad Sarwat menjelaskan ibadah Ramadhan harus dilakukan berkelanjutan

OLEH MUHYIDDIN

Ramadhan tinggal menghitung hari. Dalam bulan yang suci ini, umat Islam akan menjalani ibadah puasa. Karena itu, persiapan diri mesti dilakukan dengan sebaik-baiknya, zahir maupun batin.

Menurut pendiri Rumah Fiqih Indonesia (RFI) Ustaz Ahmad Sarwat Lc, secara zahir umat Islam harus membakali dirinya dengan pengetahuan yang memadai tentang seluk-beluk Ramadhan. Yang tak kalah penting adalah fikih Ramadhan. Dengan demikian, ibadah tak akan sia-sia.

“Sebab ketidaktahuan atas hukum puasanya itu pada gilirannya bisa berakibat fatal dan membuat puasa kita tidak diterima Allah SWT,” ujarnya.

Persiapan batin pun mesti dimantapkan seawal mungkin. Sebab, siapapun menginginkan hasil yang maksimal dari sebulan penuh Ramadhan. Jangan sampai bulan penuh berkah itu berlalu begitu saja tanpa mengubah diri menjadi lebih baik lagi.

Bagaimana menjaga konsistensi ibadah selama Ramadhan? Dalam konteks pandemi, apa saja yang dapat diperhatikan? Berikut wawancara lengkap wartawan Republika, Muhyiddin, bersama alumnus Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Suud LIPIA Jakarta ini, beberapa waktu lalu.

Bagaimana semestinya umat Islam menyambut Ramadhan?

Yang jelas, persiapkan diri kita. Persiapan menghadapi Ramadhan itu secara zahir adalah (memahami) ilmu hukum-hukum terkait puasa, baik yang disekapati ataupun yang khilafiah di kalangan ulama. Sebab, ketidaktahuan atas hukum puasa itu pada gilirannya bisa berakibat fatal. Bisa membuat puasa kita tidak diterima Allah SWT. Misalnya, terkait azan dan kekeliruan tentang kapan harus menahan diri dari makan dan minum.

Kekeliruan apa yang dimaksud?

Sudah masuk fajar pada bulan Ramadhan, tetapi kemudian kita “terprovokasi” hadis yang membolehkan makan dan minum walaupun sudah mendengar azan. “Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkan sendok tersebut hingga ia menunaikan hajatnya hingga selesai” (HR Abu Daud). Ini berbahaya karena puasanya menjadi batal.

Kalau memiliki ilmu fikih puasa, pasti tidak akan keliru memahami. Maksud hadis itu bukan azan subuh, tetapi azan yang sebelum subuh. Perlu diketahui, ada dua azan pada masa kenabian. Pertama adalah azan untuk membangunkan orang sahur atau yang lagi tahajud agar segera sahur. Azan inilah yang didengar Umar bin Khattab ketika di tangannya masih ada gelas. Saat itu benar sekali Rasulullah SAW membolehkan untuk terus makan-minum. Sebab, memang belum waktu subuh.

Kalau yang terdengar itu azan kedua, azan subuh, tentu makan minum harus berhenti. Kalau nekat makan-minum terus, otomatis puasanya batal. Sayangnya di masa kita ini, umumnya azan (dikumandangkan) hanya sekali.

Tadi persiapan zahir, bagaimana dengan batin dalam menyongsong bulan suci?

Adapun persiapan batin berarti mengenai mentalitas kita. Puasa bukan sekadar menahan makan, minum dan jimak, tetapi juga menahan diri dari semua maksiat, dosa, dan kemungkaran.

Maksiat, dosa, dan kemungkaran itu tidak otomatis membatalkan puasa. Namun, biar bagaimanapun juga, pahala yang kita dapat jadi terdegradasi. Akibatnya, jumlah pahala yang kita dapat berkurang banyak.

Apa saja sunah Nabi Muhammad SAW menjelang Ramadhan?

Sunah secara khusus dalam rangka menyambut Ramadhan sebenarnya tidak ada yang spesial. Misalnya, saling meminta maaf, silaturahim, berkumpul bersama keluarga, ziarah kubur, dan seterusnya. Itu memang bukan perintah khusus dari Nabi SAW. Secara hukumnya juga tidak ada larangan khusus.

Hal-hal itu bukan sunah Nabi SAW, tetapi tidak berarti hukumnya terlarang atau bidah. Jangan sampai kita seenaknya membidahkan sesuatu, padahal kita sendiri biangnya bidah. Bagi-bagi THR (tunjangan hari raya), kirim parcel, cuti lebaran, mudik, itu toh tidak pernah dikerjakan Nabi SAW. Kalau ziarah kubur menjelang Ramadhan mau dibidahkan, THR dan teman-temannya itu kok enggak dibidahkan. Bidah kok pilih-pilih?

Bagaimana Nabi SAW dan para salafus shalih mengungkapkan perasaan gembira sambut Ramadhan?

Ya pastinya dengan memaksimalkan dan mengoptimalkan berbagai kemurahan Ramadhan. Ibaratnya, kita ditawarkan hadiah bisa pergi haji gratis berangkat tahun ini juga. Syaratnya gampang, hafal Juz Amma.

Kira-kira, kalau dapat penawaran begitu, kita bergembira enggak? Tentu gembira sekali. Terus bagaimana cara mengekspresikan kegembiraan itu? Ya menghafal Juz Amma siang-malam sampai. Masak gembira-gembira doang, tetapi syarat atau ketentuan untuk mendapat kesempatan disia-siakan begitu saja?

Maka, optimalkan semua tawaran yang menggiurkan dari paket Ramadhan. Bentuk riilnya mudah dilihat. Misalnya, tarawih berjamaah tidak pernah bolong, tilawah dilakukan rutin bahkan khatam, serta ibadah sunnah tak satu pun terlewat. Setiap hari kita sedekah kasih makan orang buka puasa, meliburkan omong kasar, jorok dan menyakiti hati orang, serta bertobat.

Seperti tahun lalu, Ramadhan ini sepertinya belum lepas dari suasana pandemi Covid-19. Hikmahnya?

Kita sampai hari ini memang belum mempunyai obat yang efektif untuk masalah Covid-19 ini. Kita baru sampai pada pencegahan. Maka, 3M (memakai masker, menjaga jarak aman, dan mencuci tangan) itu mutlak dan tidak berubah walaupun sekarang sudah ada vaksin.

Kalau pun, misalnya, mau shalat tarawih berjamaah di masjid, protokol itu hukumnya wajib. Kalau tidak bisa protokol, mendingan tidak usah ke masjid. Sebab, ada kaidah fikih ad-dhararu yuzalu, segala yang membikin mudharat harus ditinggalkan. Shalat tarawih berjamaah itu memang bagus, pahalanya besar. Namun, kalau mudharatnya jauh lebih besar, itu harus ditinggalkan.

Intinya, jangan sekali-kali meremehkan Covid-19. Mungkin kita tidak ketularan, tetapi boleh jadi malah kita akan menulari orang. Maka, jangan kita semaunya sendiri. Itu zalim dan berdosa.

Apakah ikhtiar dalam mencegah wabah selama Ramadhan bisa dianggap ibadah?

Mungkin nilainya bukan ibadah, tetapi nahi munkar. Maksudnya, wabah itu kan penyakit berbahaya, membunuh manusia, dan angkanya cukup tinggi. Nah, kalau kita bisa mencegah itu, sama saja kita mencegah orang dari perbuatan keji dan mungkar.

Kalau ibadah, itu kesannya kita melakukan ritual. Sementara, ini bukan ritual, melainkan mencegah kemungkaran. Maka, kita wajib mencegah kemungkaran itu. Mencegah penyebaran wabah sama dengan amar ma'ruf nahi munkar.

Apakah pengidap Covid-19 boleh tidak berpuasa Ramadhan meskipun merasa dirinya baik-baik saja?

Saya ini bukan ahli kesehatan sehingga tidak bisa menjawab pasti. Yang mengetahui adalah dokter, khususnya yang menangani si pasien. Jadi, kalau dokter menganggap bahwa pasiennya tidak boleh berpuasa, lantaran kalau berpuasa dia nanti justru bahaya, maka ikuti saja kata dokter.

Sebab, di dalam dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 184 disebutkan, siapa di antara kalian yang sakit, maka boleh tidak berpuasa dan diganti di hari yang lain. Alquran sudah memberikan koridor seperti itu.

Kalau kita sakit, tinggal mengikuti koridor itu. Namun, yang menentukan apakah seseorang sakit bisa berpuasa atau tidak, bukanlah seorang ustaz, kiai, ajengan, atau ulama. Yang menentukan adalah ahlinya, dokter.

Bagaimana dengan dokter atau tenaga kesehatan yang bertugas menangani pasien. Bolehkah mereka tidak berpuasa Ramadhan?

Nah, kita harus melihat secara saksama terlebih dahulu. Kalau, misalnya, untuk menjaga imunitas mereka harus tetap bugar demi merawat pasien, maka dokter itu lebih utama agar tidak berpuasa. Atau, kalau memang secara medis disepakati atau ditetapkan bahwa seorang tenaga kesehatan harus minum obat dan vitamin terus, boleh dia tidak berpuasa.

Namun, nanti yang mengetahui hal ini tentunya adalah dokter. Istilahnya begini. Kalau pasiennya saja boleh tidak berpuasa, apalagi dokternya. Walaupun dokternya tidak sakit, kalau seandainya dia berpuasa bisa dikhawatirkan akan berisiko, maka dokternya tidak usah berpuasa. Sebab, dia sedang menangani hal yang lebih penting lagi.

Bagaimana cara menjaga konsistensi ibadah kita sejak hari pertama hingga akhir Ramadhan?

Ibadah pada bulan Ramadhan bisa diibaratkan seperti lari maraton, bukan sprint. Kalau sprint, itu kan jaraknya pendek. Dari awal, sudah langsung cepat larinya. Nah, jika seperti ini, kemampuan atau daya tahan tubuh pasti cepat lelah.

Sementara, lari maraton tidak begitu. Sebab, yang dibutuhkan di lari maraton sebenarnya adalah stabilitas dan kontinuitas kita agar bisa bertahan lama. Begitu juga dalam melaksanakan ibadah di bulan Ramadhan.

Pada awal-awal Ramadhan, kita tidak perlu seperti lari sprint dalam beribadah. Jadi, yang biasa dan standar saja. Yang kita jaga justru adalah staminanya. Misalnya, dalam melaksanakan shalat tarawih di awal Ramadhan tidak usah yang sampai dua jam.

Mungkin, pada hari-hari pertama semangatnya masih tinggi. Namun, selanjutnya malah capai sehingga tidak bisa terjaga konsistensinya. Maka, manfaatkan ibadah sebaik-baiknya selama Ramadhan. Jaga stamina dan tetap konsisten sampai akhir. Khairul ‘amali adwamuha wain qalla, sebaik-baik amal ialah yang dilakukan secara konsisten walaupun sedikit.

photo
ILUSTRASI Ustaz Ahmad Sarwat Lc dengan gerakan Rumah Fiqih Indonesia berupaya lebih menghadirkan dakwah Islam khususnya di perkotaan - (DOK REP Ali Said)

Buka jalan dakwah di perkotaan 

Ustaz Ahmad Sarwat mengakui, dirinya tidak termasuk dai dengan latar belakang santri. Kepada Republika, pendiri Rumah Fiqih Indonesia (RFI) itu menuturkan pengalamannya. Ia hanya sesekali mengaji di sejumlah pondok pesantren kala Ramadhan, termasuk Pondok Pesantren Pandanaran Yogyakarta.

Namun, hal itu tak menyurutkan semangatnya untuk berdakwah. Berbekal keilmuan yang ada, Ustaz Sarwat pun mendirikan RFI. Dai yang lahir di Kairo, Mesir, ini bervisi menjadikan lembaga tersebut sebagai salah satu pembuka jalan bagi semaraknya syiar Islam di perkotaan, khususnya DKI Jakarta.

Pria kelahiran tahun 1969 ini menceritakan, dirinya sudah mulai fokus belajar ilmu-ilmu agama Islam sejak kecil. Saat berusia dua setengah tahun, ia ikut keluarganya pulang ke Tanah Air dari Negeri Piramida. Di Ibu Kota, ia belajar di Madrasah Darul Ulum yang didirikan ayahnya sendiri. Di samping itu, pendidikan umum pun diikutinya di sekolah-sekolah negeri.

Setelah lulusan SMP dan SMA, Ustaz Sarwat melanjutkan pendidikan tinggi di Jurusan Perbandingan Mazhab Universitas Islam Imam Muhammad Ibnu Suud LIPIA Jakarta. Di kampus inilah dia mempelajari ilmu fikih dari empat mazhab sekaligus.

“Jadi uniknya LIPIA ini sering dibilang sebagai kampus Wahabi, tapi sebenarnya justru unik,” ujar Ustaz Sarwat kepada Republika, baru-baru ini.

Sebab, lanjutnya, LIPIA mengajarkan ilmu fikih dan ushul fikih. Keduanya merupakan disiplin keilmuan yang terbilang “aneh” bagi kalangan Wahabi. Sebagai ustaz yang lahir dari lingkungan nahdliyin, diri dan keluarganya tidak pernah keberatan menuntut ilmu di kampus yang “katanya” dianggap pro-Wahabi.

Apalagi, di kampus tersebut ia sekelas dengan teman-temannya yang juga Nahdliyin, seperti KH Cholil Nafis dan KH Asrorun Niam. “Kita sama-sama orang NU sebenarnya, tapi nyasar di ‘sarang’ Wahabi. Tapi tidak masalah karena kita justru bertemu dengan dosen-dosen dari al-Azhar, yang mereka mazhabnya kadang-kadang enggak harus Wahabi juga,” ucapnya.

Setelah lulus dari LIPIA, ustaz Sarwat melanjutkan pendidikan S-2 di Institut Ilmu Alquran (IIQ) Jakarta dengan mengambil jurusan ulumul qur’an dan ulumul hadits. Di kampus yang sama, ia juga mengambil studi doktoral jurusan ilmu Alquran dan tafsir.

Menurut dia, RFI berupaya mengisi peran untuk menggembleng para kader dakwah yang sudah cukup mumpuni secara keilmuan. Sebab, mereka akan mengisi kehausan masyarakat Muslim perkotaan terhadap ilmu-ilmu agama. “Jadi itulah Rumah Fiqih pada dasarnya. Jadi semacam menyalurkan tenaga kerja. Dan alhamdulillah, sudah banyak kini ustaz-ustaz jebolan dari Rumah Fiqih,” kata suami Ustazah Aini Aryani tersebut.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat