Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Jilbab dan Teror

Teroris adalah teroris. Terlepas apa motivasinya. Tentu saja ajaran agama apa pun bisa saja disalahartikan.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Umat Islam harus minta maaf, tukas seorang di salah satu group Whatsapp yang saya ikuti. Kalimatnya spontan mengundang beragam respons, mulai yang kalem sampai yang terbilang keras.

Penembakan di Mabes Polri yang dilakukan seorang perempuan berpakaian Muslimah lengkap dengan jilbabnya --juga kasus bom Makassar dengan pelaku suami dan istri yang berjilbab-- memang menjadi pemicu perbincangan hangat saat ini.

Sambil mengamati ke mana arah percakapan bergulir, saya perlahan justru hanyut oleh kenangan. Sebanyak 72 negara yang saya kunjungi, dengan mendekap jilbab, pernahkah saya mendapat perlakuan tidak enak apalagi dituduh teroris?

 

 
Sebanyak 72 negara yang saya kunjungi, dengan mendekap jilbab, pernahkah saya mendapat perlakuan tidak enak apalagi dituduh teroris?
 
 

 

“Jangan turun dulu,” ini ungkapan seorang pramugari saat saya dan kakak yang juga pengarang, Helvy Tiana Rosa, melakukan perjalanan pertama kami ke luar negeri dengan pesawat. Kala itu ketika transit tak harus semua penumpang turun.

Pesawat berhenti di Bangkok, Thailand meski kemudian berlanjut dan destinasi berakhir di salah satu negara Timur Tengah. Saya dan kakak waktu itu sempat bingung mengapa kami tidak boleh turun.

Usut punya usut, ternyata pramugari tersebut mengira kami berdua merupakan buruh migran, sebab dia kemudian meneruskan, “Abu Dhabi masih jauh”.

Baik, kisah pertama dengan jilbab saya dan Helvy bukan dituduh teroris, tetapi diduga tenaga kerja wanita.

“Apakah tidak panas? Mengapa tidak dibuka saja?” Kalimat ini diucapkan pengurus apartemen saat saya tinggal di Korea Selatan selama enam bulan.

Rupanya, perempuan berambut pendek ikal yang sudah separuh umur itu menyadari, walaupun musim panas dan suhu benar-benar membuat gerah, saya tetap berjilbab, tidak mengurangi atau meminimalisasi busana yang dipakai.

 

 
Belakangan dia mendekati saya dan menunjuk jilbab yang saya kenakan. “Muslim… terrorist… terrorist!” 
 
 

Sambil bercanda, kalimatnya saya jawab dengan, “Kenapa? Apakah tidak cantik?” Lawan bicara saya kemudian tertawa hingga gigi peraknya terlihat.

Pengalaman kedua, bukan isu teroris pula yang mewarnai perjalanan kali itu. Kalimat teroris itu baru beberapa bulan kemudian saya temukan dari seorang perempuan tua yang tercenung menatap saya dengan jilbab meskipun hanya sebatas dada alias tidak panjang, dan dengan warna cerah ceria.

Belakangan dia mendekati saya dan menunjuk jilbab yang saya kenakan. “Muslim… terrorist… terrorist!” Kalimatnya tidak histeris, semacam komentar sambil lalu.

Dengan bahasa setempat patah-patah, saya jelaskan, Islam sebagaimana agama dan kepercayaan lain, mencintai kedamaian, dan benci terorisme. Syukurlah, sebagian besar pengalaman perjalanan saya baik.

Tentu saja, pengalaman berbeda sangat mungkin dirasakan Muslimah yang bukan hanya melewati, tapi tinggal cukup lama di suatu negara di mana Muslim merupakan minoritas dan karenanya berkesempatan berinteraksi dengan rupa-rupa wajah dan pemahaman di masyarakat setempat.

 
Dengan bahasa setempat patah-patah, saya jelaskan, Islam sebagaimana agama dan kepercayaan lain, mencintai kedamaian, dan benci terorisme.
 
 

“Hanya sedikit persentase rakyat Amerika yang bertemu langsung dan mengenal seorang Muslim, tapi bisa dipastikan hampir 100 persen sudah memiliki asumsi sendiri tentang Muslim,” urai Profesor Mustapha Bayoumi, penulis buku “Bagaimana rasanya menjadi muslim Arab di Amerika".

Saya berkesempatan mendengarkan langsung ceramahnya saat memenuhi undangan sebagai penulis tamu dan tinggal di Iowa, Amerika Serikat selama 81 hari dalam rangkaian kegiatan International Writing Program.

Salah satu sebab Muslimah diperintahkan memakai hijab di antaranya untuk menjaga diri, tidak diganggu, dan membedakan diri dari yang lain. Namun, kini dengan aurat yang terjaga, Muslimah justru menjadi sasaran empuk karena mudah dikenali.

Dulu sekali ada kasus jilbab beracun yang menyudutkan wanita berljilbab sebagai ancaman. Kini apakah Muslimah juga Muslim harus menjadi sasaran atas tindakan segelintir orang yang tidak bertanggung jawab?

Teroris adalah teroris. Terlepas apa motivasinya. Tentu saja ajaran agama apa pun bisa saja disalahartikan. Di masa lalu, penjajahan bangsa Eropa di seluruh Asia dan Afrika antara lain termotivasi agama, Gold, Glory, Gospel. 

 
Teroris adalah teroris. Terlepas apa motivasinya. Tentu saja ajaran agama apa pun bisa saja disalahartikan.
 
 

Di masa kini, agama juga rasial menjadi alasan tindakan terorisme. Namun yang terpenting, semua tindakan teror, dengan dalih apa pun, pada dasarnya dilakukan oknum, membawa nama pribadi, dan tidak seharusnya diidentikkan apalagi kemudian membuat kita menggenaralisasi agama tertentu dan umatnya.

Kemanusiaan adalah milik bersama dan seharusnya hal ini menyatukan semua umat beragama untuk terus memperbaiki pembinaan umatnya dan mengutuk keras setiap perilaku kejahatan dan teror di muka bumi.

Kita berduka, sebab tindakan teror yang terjadi bukan hanya tidak boleh ditoleransi, tetapi memiliki dampak yang parah, sebab berpotensi menimbulkan  perpecahan di antara komponen bangsa.  

Dalam situasi seperti ini akan jauh lebih berarti bila berbagai pihak meletakkan fokus dan mengerahkan daya pada upaya membantu keluarga korban dan mencegah sebaik mungkin agar tragedi serupa tidak berulang. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat