Petugas gali kubur TPU Pondok Ranggon, Junaedi, berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika 2020, di Jakarta. | Republika/Putra M. Akbar

Narasi

Gali Lubang-Tutup Lubang pada Masa Pandemi

Junaedi bin Akim, Penggali Kubur TPU Pondok Ranggon

Oleh Tokoh Perubahan 2020

OLEH FEBRYAN A

Republika kembali menggelar penganugerahan Tokoh Perubahan Republika 2020. Pada perhelatan yang masih dibayangi pandemi Covid-19 ini, Republika menyoroti mereka yang berjibaku membawa bangsa melewati masa-masa sulit. Berikut profil mereka.

Hanya embusan angin dan sorot lampu yang menemani puluhan lelaki itu menggali kubur pada malam hari di pinggiran Jakarta. Keringat mereka bercucuran. Di antara ribuan petak makam, sesekali mereka mendengar isak tangis dari kejauhan.

Salah satu di antara mereka seorang lelaki berparas kurus tinggi dengan sorot mata tajam. Sosok yang selalu mengenakan cincin akik warna kuning itu lebih banyak diam saat melakoni tugas yang tiada henti itu. Sesekali ia mencuri-curi waktu untuk beristirahat.

Pria dengan kumis dan janggut tebal itu bernama Junaedi bin Akim. Sudah 23 tahun ia menjadi petugas penggali makam di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Ia menggali tanpa henti sejak pagi hari. Sesuatu yang tak terbayangkan saat memulai profesi sebagai penggali kubur 23 tahun silam.

photo
Petugas gali kubur TPU Pondok Rangon, Junaedi, berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika 2020, di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Tak yakin buruh di pabrik kulit bisa menghidupinya, kala itu Junaedi muda memutuskan menjadi penggali kubur, pekerjaan yang jamak digeluti lelaki di kampung halamannya. Pria kelahiran Karawang, 11 Januari 1978, itu mulai menjadi penggali kubur di timur Jakarta sejak 1997.

Bersama rekan-rekannya di Grup D yang beranggotakan 22 orang, Junaedi memakamkan rata-rata 10 jenazah per hari. Jika sedang rehat, kata rekan-rekannya, Junaidi kerap melantunkan lagu dangdut sebagai pelipur lara.

Di lain kesempatan, ia memotong rumput di permakaman. Sebanyak apa pun pekerjaan, ketika itu Junaedi sudah bisa pulang ke rumah jelang Maghrib.

Pekerjaan terberatnya sejak bekerja datang mula-mula pada Mei 1998, saat Jakarta dilanda kerusuhan. Junaedi muda bersama rekannya harus memakamkan 135 jenazah korban kebakaran Klender dalam kurun waktu dua hari saja.

 
Ada rasa takut, rasa khawatir, kemudian ada rasa kasihan melihat di luaran sana banyak penolakan.
 
 

Takut dan Kasihan

Kemudian datang suatu hari pada awal Maret 2020. Junaedi mengenang, saat itu sedang beristirahat di salah satu sudut TPU Pondok Ranggon. Sekonyong-konyong, Junaedi bersama rekan-rekannya mendapat kabar yang membuat perasaan mereka campur aduk.

TPU Pondok Ranggon dijadikan tempat pemakaman jenazah Covid-19. Grup D kebagian jatah pertama melakukan prosesi pemakaman. "Ada rasa takut, rasa khawatir, kemudian ada rasa kasihan melihat di luaran sana banyak penolakan," ujar Junaedi.

Seusai mendapat kabar itu, Junaedi dan rekannya di Grup D langsung menggelar rapat dadakan ditemani kopi. Sebagai yang pertama di Jakarta dan Indonesia, mereka hanya bisa menerka-nerka apa saja yang harus dilakukan untuk memakamkan jenazah Covid-19.

photo
Petugas gali kubur TPU Pondok Ranggon, Junaedi, berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika, di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Ketakutan utama Junaedi adalah tertular virus korona dan menulari keluarganya. "Keluarga ketika itu menyarankan, ‘Kalau seandainya boleh memilih, mbok ya jangan ikut’. Saking khawatirnya mereka," kata Junaedi sembari tertawa tipis.

Andika Saputra (16 tahun), anak kedua Junaedi, memang mengaku khawatir ketika itu. Ia takut bapaknya yang selama ini sudah bekerja keras untuk keluarga bakal jadi korban karena tertular saat memakamkan jenazah Covid-19. Namun, apa boleh buat, menggali kubur adalah pekerjaan utama bapaknya.

Dua hari berselang, Junaedi mulai memakamkan jenazah Covid-19 di TPU Pondok Ranggon. Sejak hari itu, Junaedi bersama rekannya memakamkan rata-rata 40 jenazah Covid-19 per hari. Empat kali lipat lebih banyak dibandingkan beban kerja biasanya.

Ia libur bekerja hanya dua hari dalam sebulan. Setiap harinya bapak empat anak itu bekerja dari pukul 07.00 WIB hingga malam. Paling larut pukul 22.00 WIB. "Nyaris tidak ada istirahat. Jenazah terus berdatangan," kata Junaedi kepada Republika di TPU Pondok Ranggon, Rabu (24/3).

“Kalaupun saya sempatkan buat ibadah selama 15 menit, di 15 menit itu kasihan teman-teman kerja kewalahan," kata Junaedi dengan suara berat. Sebagai solusi, ia biasanya menjamak shalat.

 
Nyaris tidak ada istirahat. Jenazah terus berdatangan.
 
 

Faktor alam juga makin menambah beban kerja Junaedi dan kawan-kawannya. Ketika hujan mengguyur, pemakaman tak boleh berhenti karena bisa terjadi penumpukan jenazah.

Ketika cuaca terik pun, badannya akan tetap basah, tapi oleh keringat. "Karena serbamendadak, kami di awal itu menggunakan jas hujan plastik yang ternyata lebih panas ketika dipakai dibandingkan hazmat," kata dia.

Sadar dirinya berpotensi jadi pembawa virus korona, Junaedi selalu disiplin untuk membersihkan diri sebelum pulang. Ia mandi terlebih dahulu di kamar mandi di kantor TPU Pondok Ranggon.

Junaedi pulang ke rumah petak yang dikontraknya di Gang Kedondong, Kelurahan Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur. Hanya butuh lima menit dari TPU Pondok Ranggon ke rumahnya dengan menyusuri gang kecil.

photo
Petugas gali kubur TPU Pondok Ranggon, Junaedi, berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika, di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

"Biasanya kan pulang kerja ngobrol dulu. Kalau sejak mengurus jenazah Covid, pulang kerja dia langsung tidur karena capek dan bersiap untuk gali lagi besoknya," ujar Andika di bawah lampu redup di ruang tamu rumahnya berukuran 3 x 5 meter yang gorden jendelanya dari kain sarung itu.

Rutinitas seperti itu terus dijalani Junaedi selama berbulan-bulan. Masa puncak tiba pada September 2020. Ketika itu, jumlah jenazah yang harus dimakamkan Junaedi dan rekannya rata-rata 50 per hari.

Meski demikian, tak ada lagi jenazah yang datang larut malam. Ia menduga, hal itu bisa terjadi karena semua lini yang terlibat dalam pengurusan jenazah Covid-19 sudah memahami sistem kerja dan bisa mengikuti ritme.

Selain bertugas sebagai penggali makam, Junaedi juga mendapat tugas khusus. Ia selalu jadi narasumber ketika awak media hendak meliput di Pondok Ranggon. "Dia karena bisa bicara. Mungkin sudah bawaan dia bisa ngomong" kata Agus Susanto (33), ketua Grup D.

photo
Petugas gali kubur TPU Pondok Ranggon, Junaedi, berfoto untuk Tokoh Perubahan Republika di Jakarta. - (Republika/Putra M. Akbar)

Ketika Junaedi berjalan bersama awak Republika, rekan-rekannya memanggilnya dengan sebutan “Artis Covid” sembari terkekeh. Junaedi menanggapinya dengan senyuman saja.

Junaedi mulai menjalani ritme kerja normal pada akhir Desember 2020. Ketika itu lahan permakaman jenazah Covid-19 sudah penuh di Pondok Ranggon setelah delapan kali dilakukan penambahan lahan-lahan baru. Memasuki 2021, Junaedi dan 160 penggali kubur lainnya di sana hanya memakamkan jenazah Covid-19 dengan sistem tumpang. Jumlahnya hanya lima jenazah per hari.

Hari-hari melelahkan selama 10 bulan telah dilewati Junaedi. Hebatnya, pria yang sudah mulai beruban itu tak pernah jatuh sakit. Tak ada pula satu pun penggali kubur, kata dia, yang tertular virus korona. Menurut pria penggila kopi hitam ini, kesehatan itu berkat doa keluarga dan suplemen yang diberikan oleh pihak pengelola TPU Pondok Ranggon.

Celaan

Selama ratusan hari mengurus pemakaman jenazah Covid-19, tak sedikit makian terlontar kepada Junaedi, keluarganya, dan rekannya. Tetangganya yang dulu akrab mulai mengambil jarak ketika tahu Junaedi jadi penggali makam pasien Covid-19.

Ia mafhum, mereka sampai berbuat demikian karena ketakutan bakal tertular virus korona. Seiring berjalannya waktu dan terbukti Junaidi sehat-sehat saja, para tetangga bersikap normal kembali.

Di sisi lain, Junaedi juga merasa sedih melihat para keluarga korban tak bisa menemani jenazah ke tempat peristirahatan terakhir. Keluarga yang menyertai hanya bisa melepas dengan isak tangis dari kejauhan.

 
Mudah-mudahan apa yang saya kerjakan bermanfaat.
 
 

Pemandangan menyedihkan itu jadi salah satu alasan Junaedi tetap bertahan menjadi penggali kubur meski bahaya di depan mata. Baginya, menjadi salah satu petugas penggali kubur jenazah Covid-19 adalah ibadah. 

"Setelah menangani pemakaman Covid-19, ada rasa bangga rasanya. Mudah-mudahan apa yang saya kerjakan bermanfaat," kata Junaedi dengan mata berkaca-kaca.

Untungnya juga, kerja-kerja Junaidi diapresiasi dalam bentuk insentif atau gaji tambahan sejak menangani jenazah Covid-19. "Jumlahnya tidak enak kalau saya sebutkan. Tapi, adalah cukup membantu," ujar Junaedi.

Meski menerima insentif, bukan berarti dia berharap selamanya menangani jenazah Covid-19. Ia ingin wabah ini segera berakhir. Ia ingin menikmati malam bersama anak-istri di rumah petaknya, bukan lagi di petak makam bersama jenazah. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat