ILUSTRASI Khalifah Umar bin Abdul Aziz berjasa besar dalam memutus rantai dendam yang berkepanjangan sejak peristiwa Perang Shiffin dan Karbala. | DOK PIXY

Tema Utama

Teladan Kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz

Umar bin Abdul Aziz tumbuh besar di kota Rasulullah SAW, Madinah al-Munawwarah.

OLEH HASANUL RIZQA

Peradaban Islam telah menghasilkan sejumlah pemimpin yang meniru budi pekerti Rasulullah SAW. Di antaranya adalah Umar bin Abdul Aziz. Walau pemerintahannya cukup singkat, khalifah Dinasti Umayyah ini telah berperan besar dalam sejarah.

Sang Mujadid dari Abad Pertama

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini orang yang akan memperbarui (urusan) agama mereka pada setiap akhir 100 tahun.” (HR Abu Dawud).

Berdasarkan hadis tersebut, para ulama meyakini bahwa setiap satu abad kaum Muslimin akan menjumpai seorang mujadid. Menurut pendapat Imam Hambali (780-855), dalam abad pertama Hijriah sosok mujadid yang dimaksud adalah Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Alasannya, pemimpin yang memerintah antara tahun 99 dan 102 H—sekitar 717 hingga 720 Masehi—itu menerapkan kebijakan untuk kembali kepada syariat.

Umar II, demikian gelarnya, memang tercatat dengan tinta emas dalam sejarah peradaban Islam. Seperti tersirat dari namanya, pemimpin dari Dinasti Umayyah tersebut masih keturunan Umar bin Khattab, sang amirul mukminin kedua dari jajaran Khulafaur Rasyidin. Ibunya bernama Laila Umm Ashim, yakni salah seorang cucu sahabat yang berjulukkan al-Faruq itu.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Itulah pepatah yang tepat untuk menggambarkan ketinggian budi pekerti kakek dan nenek Umar bin Abdul Aziz; sifat yang akhirnya menurun kepada sang cucu. Kisah berikut yang terjadi pada zaman Umar bin Khattab disampaikan sahabat Abdullah bin Zubair.

Pada suatu malam, Khalifah Umar dengan ditemani Abdullah sedang melakukan patroli keliling Madinah. Karena merasa lelah, sang amirul mukminin pun bersandar pada dinding sebuah rumah. Keadaan saat itu cukup gelap gulita.

Dari arah jendela rumah tersebut, tiba-tiba terdengar suara seorang wanita berkata kepada putrinya, “Wahai putriku, campurlah susu itu dengan air.”

“Wahai ibunda, apakah engkau tidak mendengar maklumat Amirul Mukminin?” tanya si anak gadis.

“Memang apa maklumatnya?”

“Tadi siang di pasar, petugas Amirul Mukminin mengumumkan, hendaknya pedagang tidak mencampur susu dengan air.”

“Tidak apa-apa, putriku, campur saja susu itu dengan air. Sekarang kita di rumah. Tidak mungkin Umar atau petugas mengetahui,” kata si ibu.

“Benar, Bu, Amirul Mukminin tidak melihat kita. Namun, Tuhannya Amirul Mukminin Maha Melihat,” timpal putrinya.

Umar menyimak perbincangan ibu dan anak itu. Sebelum pulang, ia meminta Abdullah untuk menandai rumah tersebut. Begitu kembali kepada keluarganya, Umar memanggil putra-putranya.

“Adakah di antara kalian yang ingin menikah?”

“Saya belum beristri, wahai Ayah. Nikahkanlah aku,” jawab Ashim bin Umar.

Keesokan harinya, Umar berkata kepada Ashim. “Pergilah kamu ke suatu tempat di daerah ini. Engkau akan bertemu dengan seorang gadis. Temui ibunya. Persuntinglah gadis itu agar menjadi istrimu. Semoga Allah memberimu keturunan yang baik darinya.”

Akhirnya, Ashim bin Umar menikah dengan gadis penjual susu itu. Pasangan ini dikaruniai anak-anak yang berbudi pekerti luhur. Salah satunya adalah Laila, yang lantas dipersunting oleh seorang gubernur yang saleh, Abdul Aziz bin Marwan. Dari pernikahan ini, lahirlah sang mujadid abad pertama Hijriah.

Masa kecil

Prof Ali Muhammad ash-Shallabi dalam Biografi Umar bin Abdul Aziz: Khilafah Pembaru dari Bani Umayyah (2010) mengatakan, Umar bin Abdul Aziz lahir di Madinah al-Munawarrah pada 61 H atau 717 M. Ash-Shallabi menolak pendapat yang menyebut, tokoh ini lahir di Mesir. Sebab, bapaknya—Abdul Aziz bin Marwan—diketahui baru menjabat sebagai gubernur Mesir pada 65 H.

Ada berbagai kisah yang menyebutkan keistimewaan sang mujadid bahkan ketika dirinya masih berusia anak-anak. Seperti dituturkan Ibnu Qutaibah dalam Al-Ma’aarif, pada suatu hari Umar kecil mendekati kandang kuda milik ayahnya. Tiba-tiba, seekor kuda menendang wajahnya dengan cukup keras sehingga membuatnya terluka. Abdul Aziz segera menenangkannya dan menyeka darah dari muka putranya itu.

Katanya, “Jika kamu orang yang terluka dari Bani Umayyah, sungguh kamu orang yang berbahagia.” Sebab, datuknya, Umar bin Khattab, diketahui pernah berujar, “Sesungguhnya, dari keturunanku ada seorang laki-laki yang di wajahnya ada bekas luka. Ia akan memenuhi bumi dengan keadilan.”

Saudaranya, al-Ashbagh, begitu melihat keadaan Umar kecil seketika berseru, “Allahu akbar! Orang yang terluka dari Bani Umayyah ini kelak akan menjadi penguasa.”

Umar bin Abdul Aziz merupakan sulung dari empat bersaudara. Ketiga adiknya adalah Abu Bakar, Muhammad, dan Ashim. Ia tumbuh besar di Madinah. Perilakunya pun sama seperti umumnya penduduk Kota Nabi yang penuh kesopanan dan sangat takzim pada alim ulama.

 
Umar kecil menyampaikan kepada ibundanya bahwa dia ingin agar kelak menjadi sosok yang alim, sama seperti Abdullah.
 
 

Sejak kecil, dia mencintai ilmu-ilmu agama. Ia gemar mengunjungi rumah paman ibunya, Abdullah, yakni putra al-Faruq Umar bin Khattab yang juga seorang ulama besar. Sering kali, Umar kecil menyampaikan kepada ibundanya bahwa dia ingin agar kelak menjadi sosok yang alim, sama seperti Abdullah.

Ketika Abdul Aziz diangkat menjadi gubernur Mesir, istri dan anak-anaknya hendak diboyong ke negeri sekitar Sungai Nil itu. Kabar ini sampai ke telinga Abdullah bin Umar bin Khattab.

Abdullah mempersilakan Laila Umm Ashim untuk menyusul Abdul Aziz, “Wahai anak perempuan saudaraku, dia adalah suamimu, maka datangilah dia.” Namun, saat keponakannya itu akan berangkat, Abdullah teringat akan Umar.

“Biarkan anak ini tinggal bersama kami (keturunan Umar bin Khattab) di Madinah. Sebab, dia anggota keluarga kalian yang sangat mirip dengan kami,” kata Abdullah.

Umm Ashim membolehkannya. Keputusan ini tentu disambut gembira oleh Umar sendiri yang memang bercita-cita menjadi seorang syekh, seperti Abdullah dan saudara-saudaranya. Begitu anggota keluarganya tiba di Mesir, Abdul Aziz bertanya-tanya, di manakah putra sulungnya. Istrinya lantas memberi tahu tentang Abdullah yang ingin merawat dan mendidik Umar. Abdul Aziz gembira mendengar hal ini.

Di bawah bimbingan Abdullah, Umar bin Abdul Aziz tumbuh menjadi lelaki muda yang cerdas dan saleh. Ia senang menuntut ilmu, membaca kitab-kitab, serta mengikuti majelis ilmu dan diskusi para ulama. Masjid Nabawi merupakan tempat berkumpulnya banyak alim yang menguasai berbagai disiplin ilmu. Umar pun lebih sering menghabiskan waktunya di masjid tersebut.

Menurut ash-Shallabi, sekurang-kurangnya ada 33 ulama yang kepadanya Umar menuntut ilmu-ilmu agama. Sebanyak delapan orang di antaranya merupakan para sahabat Rasulullah SAW. Adapun sisanya termasuk generasi tabiin.

 
Sekurang-kurangnya ada 33 ulama yang kepadanya Umar menuntut ilmu-ilmu agama.
 
 

Dalam usia belia, ia telah menghafal Alquran. Tidak hanya ibadah wajib, berbagai amalan sunah pun selalu dilaksanakannya dengan rutin. Kedekatannya dengan alim ulama membuat kepekaannya terasah sebagai seorang Muslim.

Sering dalam shalat malam, dia menangis karena mengingat mati. Padahal, saat itu umurnya masih muda. Memang, pemuda ini lebih suka duduk bersama para sesepuh Madinah, alih-alih menghabiskan waktu bersenang-senang dengan kawan-kawan sebayanya.

photo
ILUSTRASI Khalifah Umar bin Abdul Aziz merupakan penguasa kedelapan yang memerintah Daulah Bani Umayyah. Ia dijuluki sebagai khulafaur rasyidin kelima lantaran sifat-sifat baiknya. - (DOK WIKIPEDIA)

Mulai memimpin

Sesudah ayahnya wafat, Umar dipanggil pamannya yang juga penerus takhta Dinasti Umayyah saat itu, Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Ia lantas dijodohkan dengan seorang putri sang amirul mukminin, yakni Fathimah. Sama seperti dirinya, gadis itu terkenal akan kesalehan dan kealimannya. Dari istrinya ini, Umar memperoleh tiga orang anak, yaitu Ishaq, Ya’qub, dan Musa.

Pada masa Khalifah Walid bin Abdul Malik, Umar yang masih berusia 24 tahun diangkat menjadi gubernur Madinah. Inilah jabatan publik pertama yang diembannya. Enam tahun lamanya cicit Umar bin Khattab itu memimpin Kota Nabi.

Semasa kepemimpinannya, kota tersebut mengalami berbagai macam perbaikan; mulai dari infrastruktur, birokrasi, pelayanan umum, hingga pendidikan. Masjid Nabawi pun turut diperindahnya. Tidak ada mihrab di dalam masjid tersebut selama masa Rasulullah SAW dan empat //Khulafaur Rasyidin//. Umar bin Abdul Aziz-lah yang pertama kali mendirikan ruangan mihrab di sana pada 91 H.

Salah satu prioritasnya selama memimpin Madinah ialah membentuk majelis permusyawaratan. Karena terdiri atas 10 ulama besar dari kota setempat, majelis ini sering disebut Majlisul ‘Asyarah.

Tugasnya tidak hanya sebagai dewan pertimbangan atas berbagai kebijakan gubernur. Mereka juga berkewenangan mengawasi seluruh pegawai pemerintahan. Dalam hal ini, Umar berpegang pada prinsip, umara-lah yang mendatangi ulama. Bukan ulama yang menghampiri penguasa.

 
Karakteristik kepemimpinan Umar adalah amanah dan warak, jauh dari kesan semena-mena.
 
 

Karakteristik kepemimpinan Umar adalah amanah dan warak, jauh dari kesan semena-mena. Selayaknya orang yang memahami ilmu-ilmu agama, ia memahami adanya tanggung jawab, baik di dunia maupun akhirat kelak. Bahkan, dirinya pun semakin takut akan pengadilan Hari Akhir dan perjumpaan dengan Tuhannya.

Sebuah kisah disampaikan Ibnu Abi Dzuaib. Suatu ketika, seorang lelaki membacakan Alquran surah al-Furqan ayat 13. Artinya, “Dan apabila mereka dilemparkan ke tempat yang sempit di neraka itu dengan dibelenggu, mereka di sana mengharapkan kebinasaan.”

Mendengar ayat tersebut dibacakan, Umar seketika menangis tersedu-sedu. Firman Allah Ta’ala itu menceritakan keadaan orang-orang yang mendustakan Hari Kiamat. Perkataan yang keluar dari lisan mereka menandakan penyesalan yang amat mendalam atas ketidaktaatannya selama di dunia.

Hati nurani Umar sangat peka akan Alquran. Pernah di sebuah majelis, ia membaca surah at-Takasur. Surah itu menyinggung perihal mereka yang gemar bermegah-megahan serta akibat yang akan diterimanya kelak. Baru dua ayat dibacanya, Umar menangis sesenggukan.

Sesudah agak tenang, dirinya berkata, “Aku tidak melihat kuburan kecuali sebagai tempat diziarahi. Dan setiap yang menziarahinya pun kelak akan kembali, apakah ke surga atau neraka.”

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat