Giovani Dimas telah tertarik pada ajaran Islam sejak masih anak-anak. Kini, ia bersyukur atas nikmat iman dan Islam. Berbagai keberkahan dirasakannya, termasuk kesempatan ibadah ke Tanah Suci. | DOK IST

Oase

Giovani Dimas Antares Mengagumi Islam Sejak Dini

Ketertarikan Giovani Dimas menjadi Muslim kembali menguat setelah merasa kekosongan batin.

OLEH RATNA AJENG TEJOMUKTI

 

 

Petunjuk Ilahi bisa menyinari hati siapapun atas kehendak Allah SWT. Giovani Dimas Antares selalu memanjatkan rasa syukurnya tatkala mengingat kembali bagaimana dia menerima hidayah.

Walaupun lahir dari keluarga non-Muslim, pria yang kini berusia 41 tahun itu sudah lama mengagumi Islam. Bahkan, petunjuk Allah datang kepada lelaki asal Malang, Jawa Timur, tersebut tatkala dia masih duduk di kelas satu sekolah dasar.

SD tempatnya belajar kala itu berstatus negeri. Mayoritas muridnya adalah Muslim. Agama Islam pun menjadi salah satu matapelajaran wajib di sana. Gurunya pun mengajar dengan penuh dedikasi.

Meskipun tetap mengikuti matapelajaran agama lamanya, Dimas entah mengapa suka mendengarkan guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mengajar. Tidak jarang, dia enggan keluar kelas ketika pelajaran PAI berlangsung. Padahal, gurunya tidak pernah menyuruhnya melakukan hal itu. Semua dilakukan atas dasar keinginannya sendiri.

“Dari situ, mulai tertarik dengan Islam. Ya, saya lebih senang ikut Pelajaran Agama Islam karena lebih banyak murid yang belajar di kelas agama Islam dibandingkan agama saya dahulu itu,” ujarnya kepada Republika baru-baru ini.

 
Saya lebih senang ikut Pelajaran Agama Islam karena lebih banyak murid yang belajar di kelas agama Islam dibandingkan agama saya dahulu itu.
 
 

Saking tertariknya, Dimas termasuk yang paling cepat dan fasih dalam menghafal surah al-Fatihah saat itu. Guru PAI memang mewajibkan seluruh anak didiknya untuk mengingat surah berjulukan Ummul Qur’an (Induk Alquran) itu. Sebab, membaca al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat.

Pada hari pembagian rapor, wali kelas secara khusus memanggil kedua orang tuanya. Guru tersebut ingin meminta konfirmasi tentang agama yang dianut Dimas. Alasannya, anak ini gemar mengikuti matapelajaran PAI.

Mendengar hal itu, ayah dan ibunya pun terkejut. Bahkan, keduanya lantas memutuskan untuk mengeluarkan buah hatinya dari SD negeri ini. Untuk selanjutnya, ia dimasukkan ke sekolah swasta yang berbasis agama mereka. Tidak hanya selama menempuh pendidikan SD, malahan hingga tingkat SMA.

Akan tetapi, Dimas kecil sudah telanjur suka dengan PAI. Beberapa pelajaran Islam—seperti membaca al-Fatihah, mendirikan shalat, atau mengumandangkan azan—begitu membekas dalam pikirannya. Saat ia duduk di bangku kelas lima SD, ada kesempatan baik baginya untuk kembali menemui matapelajaran itu. Ayahnya yang seorang tentara Angkatan Laut mulai bertugas di Jakarta. Alhasil, seluruh keluarga intinya diboyong ke Ibu Kota.

Walaupun masih menuntut ilmu di sekolah swasta agama, Dimas memiliki banyak teman yang beragama Islam. Sebab, mayoritas tetangganya adalah Muslim. Sepulang dari sekolah, ia sering bermain dengan mereka hingga sore tiba. Begitu masuk waktu maghrib, kawan-kawannya pamit untuk melaksanakan shalat maghrib berjamaah di masjid. Sementara, azan berkumandang dari arah masjid terdekat.

Dimas mengenang, momen yang paling berkesan dari lingkungannya itu ialah saat Ramadhan. Selama bulan suci, kebanyakan teman-temannya yang Muslim berpuasa. Mereka menjalani ibadah itu dengan cukup baik.

 
Momen yang paling berkesan dari lingkungannya itu ialah saat Ramadhan.
 
 

Tanpa disuruh atau didesak siapapun, Dimas suka ikut-ikutan berpuasa. Tentu, itu dilakukannya tidak sampai satu bulan penuh Ramadhan. Paling-paling, dia hanya sampai pada pekan kedua atau pertengahan bulan suci.

Walaupun mengamalkan ibadah orang Islam, ia hingga saat itu belum memutuskan berpindah agama. Malahan, ia dipandang termasuk yang taat karena pernah menjadi pelayan tempat ibadah yang tidak sembarang orang terpilih.

Kedua orang tuanya memutuskan untuk berpisah. Waktu itu, Dimas masih berusia cukup muda. Ia mengikuti ayahnya yang berdinas ke luar negeri. Pada masa ini, ia mengenang, dia kerap mengalami kekosongan batin.

Meski ayahnya bekerja, Dimas memutuskan untuk bekerja di tempat yang berbeda. Itu dilakukannya sembari meneruskan sekolah. Selama di luar Indonesia, kariernya lumayan mulus. Penghasilan yang diperolehnya cukup banyak. Akan tetapi, perasaan kesepian acap kali menggayuti hati dan pikirannya.

“Bergelimang harta tidak membuat saya bahagia. Saya pun memulai pencarian tentang makna kehidupan,” jelas dia.

 
Bergelimang harta tidak membuat saya bahagia. Saya pun memulai pencarian tentang makna kehidupan
 
 

Hidupnya mulai terasa tanpa arah. Apalagi, lingkungan pergaulannya saat itu tidak sebaik ketika di Indonesia. Banyak kawan yang mengajaknya ke rutinitas kurang baik. Untungnya, Dimas pada 2010 mulai berkenalan dengan seorang Muslimah.

Dimas tidak pernah menceritakan kegelisahan hatinya kepada perempuan ini. Memang, waktu itu pikirannya mulai mempertanyakan ulang keyakinannya selama ini. Dengan Muslimah tersebut, dia sekadar menjalin hubungan pertemanan.

Akan tetapi, lama kelamaan Dimas menaruh hati kepada Muslimah tersebut. Malahan, ada ketertarikan untuk menikah dengannya. Setelah berhasil mengungkapkan perasaannya, Dimas mengetahui bahwa gadis ini baru ingin menikah dengan pria Muslim. Artinya, ia diharapkan memeluk Islam.

photo
Giovani Dimas dan istri. - (DOK IST)

Menjadi Muslim

Ketertarikannya dengan Islam mulai kembali muncul. Namun, dia tidak berusaha untuk mencari guru atau teman untuk berdiskusi. Dimas berupaya menemukan kebenaran seorang diri. Misalnya, dengan memanfaatkan internet dan analisis pribadi.

Hal ini berlangsung selama tujuh bulan. Hingga pada suatu hari, ia mulai meyakini bahwa Islam adalah agama yang benar. Salah satu pertimbangannya, agama ini menegaskan bahwa hanya ada satu Tuhan. Allah Maha Esa. Tidak ada Tuhan selain-Nya.

Pada 14 November 2011, Dimas mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di sebuah masjid di Chicago, Amerika Serikat (AS). Sejak resmi memeluk Islam, dia memutuskan untuk benar-benar hijrah. Dia meninggalkan profesinya. Sebab, penghasilan yang diperolehnya selama ini dipandang berasal dari hal-hal yang syubhat atau diragukan kehalalannya. Meskipun diiming-imingi gaji yang lebih besar, ia tidak tertarik untuk kembali.

 
Pada 14 November 2011, Dimas mengucapkan ikrar dua kalimat syahadat di sebuah masjid di Chicago, Amerika Serikat.
 
 

Dimas pulang ke Indonesia untuk menikah. Sebelum pernikahannya, ia menceritakan kepada keluarga dan orang-orang terdekat tentang keislamannya. Mereka diyakinkan bahwa keputusannya berangkat dari kesadaran sendiri, bukan bujukan apalagi paksaan siapapun.

Ibu, kakak dan adiknya tidak terlalu terkejut. Sebab, mereka sudah terlebih dahulu memeluk Islam. Hidayah datang kepada mereka tak lama sejak ayah dan ibu Dimas berpisah. Tentu saja, keputusan untuk memeluk Islam disambut gembira.

Keadaannya berbeda dengan sang ayah. Bapaknya yang memang berkarakter keras dan tegas mengaku kecewa dengan keputusan Dimas beralih iman. Apalagi, mualaf ini dipandang sebagai satu-satunya calon penerima warisan yang seagama. Kekecewaan sang ayah terbukti dengan dicoretnya nama Dimas dalam daftar ahli waris.

Baginya, tindakan tersebut tidak menjadi persoalan. Bagaimanapun, hubungan baik dan silaturahim dengan sang ayah tetap dijaganya baik-baik. Sebagai contoh, ketika ayahnya sedang sakit, Dimas ikut merawatnya, bergantian dengan saudaranya yang lain. Meski terkadang sikap bapaknya tetap dingin, ia berharap suatu saat hatinya terbuka.

Rezeki tak terduga

Setelah menikah, Dimas diajak oleh kakak istrinya untuk mengaji di sebuah pesantren di Sengkaling, Malang, Jawa Timur. Dua hari per pekan, ia pun belajar Islam di sana. Pelajarannya beragam, mulai dari shalat, membaca Alquran, dan penguatan akidah.

Semua dijalaninya dengan penuh semangat dan komitmen tinggi. Pihak pengelola pesantren pun terkesan padanya. Bahkan, ia kemudian dipercaya untuk ikut mengurus pembangunan sebuah masjid. Inisiator pendirian tempat ibadah ini adalah ayah tirinya.

Bagi Dimas, amanah ini memiliki dua sisi yang seimbang, yakni berkah sekaligus ujian untuknya sebagai seorang mualaf. Ayah tirinya merupakan seorang pengusaha asal Kuwait, yang lantas mewakafkan hartanya untuk pembangunan masjid.

Hanya saja saat pembangunan masjid dia mendapat banyak pertentangan terutama dari warga sekitar. Saat itu Dimas dengan cepat mendapatkan lahan yang luas. Dengan relatif mudah, dia bisa mengupayakan pendirian tempat ibadah ini tanpa kesulitan anggaran. Sebab, kebutuhan finansial pembangunan masjid ini memang bersumber dari dana pribadi.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Giovani Dimas Antares (gdimasantares)

“Tetapi, lantas oleh segelintir orang saya dicurigai sebagai ISIS dan masjid ini akan menyebarkan ideologi yang menyimpang. Karena, memang saya dianggap bukan warga setempat sehingga kecurigaan ke saya semakin dalam,” ucapnya.

“Saya ketakutan, karena saya harus menghadapi seorang diri, tetapi dengan mengajak berbagai pihak dan memeriksa latar belakang saya, warga pun menerima dan justru salut dengan niat pembangunan masjid ini,” sambungnya.

Masjid selesai dibangun, Dimas pun dihadiahi umrah dengan istrinya. Tak hanya satu kali, Dimas kembali mengunjungi Baitullah untuk kedua kalinya. Kesempatan ini datang dari kakak tirinya yang seorang warga Kuwait.

“Ketika bersujud di depan Ka’bah, terbayang saya dan istri. Setelah shalat, dia (kakak tiri) menghubungi saya dan meminta saya segera berangkat umrah dengan tanggungannya,” kenang Dimas.

Bagi Dimas, hal ini tidak terlepas dari keberkahan doa-doa yang dipanjatkannya. Di saat dia meminta agar Allah berkenan memberika kepadanya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

Pemilik Albaris Seafood ini telah menjalani bisnisnya sejak 2017 hingga saat ini. Tak hanya itu Dimas juga terus mendalami Islam. Ia pun aktif di Mualaf Center Indonesia cabang Malang.

Saat ini dia dan rekan-rekannya terus melakukan kegiatan aksi sosial terutama di daerah-daerah pedalaman. Penduduknya rawan disasar pendangkalan akidah. Salah satunya adalah warga kampung di daerah sekitar Gunung Bromo. Saat ini, terdapat 90 mualaf di sana. Sebanyak 40 orang di antaranya adalah dhuafa.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat