Imam Hambali pernah dipenjara oleh seorang penguasa lalim. Di dalam kurungan, ulama besar ini menerima doa dan nasihat dari seorang terpidana. | DOK PIXABAY

Kisah

Nasihat Pencuri untuk Imam Hambali

Imam Hambali merupakan seorang ulama besar dalam sejarah syiar Islam.

 

OLEH HASANUL RIZQA

Ahmad bin Hanbal atau Imam Hambali merupakan seorang ulama besar dalam sejarah syiar Islam. Ia merupakan pendiri salah satu mazhab fikih yang diakui luas dalam konteks ahlussunnah waljama’ah (aswaja). Tidak hanya ahli dalam bidang keilmuan fikih, sang alim dari abad kesembilan itu juga menguasai ilmu hadis.

Kehidupannya penuh dengan lika-liku. Di antara beragam perjuangan besarnya ialah membela akidah yang lurus. Bahkan, banyak yang mengakui, Imam Hambali telah menyelamatkan umat Nabi Muhammad SAW kedua kalinya. Yang pertama adalah ketika Abu Bakar ash-Shiddiq memerangi kaum murtad.

Peran yang dijalani ulama kelahiran Baghdad, Irak, itu menyerukan dengan lantang akidah yang benar. Pada masanya, penguasa negeri mulai melazimkan keyakinan yang sesat, yakni khalqu Alquran. Paham tersebut meyakini bahwa Alquran adalah makhluk.

Keyakinannya kepada Allah SWT dan pemahamannya mengenai agama Islam sempat berlawanan dengan penguasa Abbasiyah saat itu, Khalifah Al-Ma'mun. Khalifah yang saat itu mulai gandrung pada filsafat pada tahun 212 H, mulai memaksakan pandangannya tentang Alquran. Menurut Al-Ma'mun, Alquran adalah makhluk.

Para ulama dipaksa untuk sepaham dengan pendapatnya. Imam Ahmad bin Hanbal pun dites oleh khalifah. Bersama sahabatnya, Muhammad ibnu Nuh, sang imam menolak untuk sepaham dengan penguasa.

“Apa pendapat Anda tentang Alquran, wahai Ibnu Hanbal?” tanya sang sultan.

“Alquran adalah Kalamullah,” jawab Imam Hambali.

Menurutnya, Alquran adalah kalamullah bukanlah makhluk. Ia pun dipenjara akibat keteguhan keyakinannya.

Di dalam penjara, ia tetap bersabar dan tawakkal kepada Allah. Beberapa murid yang bersimpati kepadanya lantas mengunjunginya pada suatu hari. Mereka memintanya agar pura-pura mengiyakan kemauan penguasa. Dengan begitu, Imam Hambali dapat terbebas dari siksaan atau mungkin hukuman mati.

“Wahai Syekh, mengapa tidak berbohong saja agar tidak dihukum mati? Persoalannya, kalau Syekh wafat, maka umat akan kehilangan sosok panutan. Kematian Syekh kami kira lebih berbahaya bagi keberlangsungan Islam daripada dusta di hadapan penguasa,” tutur seorang dari mereka.

“Tidak. Sungguh, aku lebih memilih kematian daripada menyesatkan umat. Di wilayah ini, banyak orang yang selalu mencatat perkataanku. Kalau sampai aku menyatakan bahwa Alquran adalah makhluk, betapa banyak orang tersesat karena lisanku. Sebab, bagaimanapun pula orang-orang itu akan mengikuti pendapatku,” jawab Imam Hambali tegas.

 
Sungguh, aku lebih memilih kematian daripada menyesatkan umat.
 
 

“Kematian seorang Ahmad tidak ada artinya dibandingkan dengan kesesatan umat. Jika umat pada masa ini mencatat pendapatku, umat berikutnya pun akan sesat. Lebih baik aku saja yang mati daripada banyak lagi orang tersesat,” sambungnya.

Mengutip dari kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah karya Ibnu Katsir, Imam Hambali memiliki kekhawatiran tersendiri kala ditahan penguasa. Beberapa hari sebelum hukuman dikenakan kepadanya, ia menuturkan kepada seorang kawan satu selnya.

Ia mengaku tidak takut akan hukuman mati atau kurungan penjara. Yang dirisaukannya adalah hukuman cambuk. Sebab, dia merasa takut akan tidak sabar dalam menghadapi hukuman jenis ini.

 
Ia mengaku tidak takut akan hukuman mati atau kurungan penjara. Yang dirisaukannya adalah hukuman cambuk.
 
 

Proses yang telah dijadwalkan pun tiba. Imam Hambali digiring keluar dari selnya untuk memasuki arena eksekusi. Namun, sebelum beranjak ke tempat algojo, ia dihampiri Abu Haitsam al-Haddad.

Lelaki itu adalah tahanan yang mendekam tak jauh dari sel tempatnya berada. Berbeda dengan dirinya yang berstatus tahanan politik, Abu Haitsam dipenjara karena mencuri. Dan, pria tersebut berada di dalam penjara jauh lebih lama daripada Imam Hambali.

“Wahai Ahmad, bersabarlah! Sungguh, janji Allah itu pasti,” katanya.

“Wahai Abu Haitsam, ketahuilah bahwa aku tidak takut dipenjara. Sebab, penjara dan rumahku sama saja. Aku pun tak takut dipancung. Yang kutakutkan adalah dipaksa dengan cambukan,” ujar Imam Hambali.

“Wahai Ahmad, punggung dan diriku sebagai tebusan untukmu. Dengarkanlah, aku adalah Abu Haitsam. Sebelum ditangkap, kuhabiskan setiap hari dengan membuat rusuh, mabuk-mabukan, dan mencuri. Pada hari pertama di tahanan, algojo mencambukku 100 kali. Tidak ada rasa sakit sesudah itu,” tuturnya.

“Amirul Mukminin kemudian memvonisku dengan hukuman delapan ribu cambukan secara berkala. Aku—seorang kriminal dengan masa lalu penuh dosa—bisa bertahan. Bila aku bisa bersabar dengan cambukan itu di jalan maksiat, maka engkau bersabarlah terhadapnya di jalan ar-Rahman,” sambungnya lagi.

Kata-kata itu menyalakan semangat dalam diri Imam Hambali. Ia pun tidak lagi mengkhawatirkan sabetan cemeti yang akan mendera punggungnya. Setelah mengucapkan terima kasih, ia pun berpamitan dengan Abu Haitsam.

 
Karena nasihat berharga itulah, Imam Ahmad sering mendoakan dan menyebut-nyebut nama Abu Haitsam.
 
 

Karena nasihat berharga itulah, Imam Ahmad sering mendoakan dan menyebut-nyebut nama Abu Haitsam. Akhirnya, seorang putranya yang bernama Abdullah menanyakan hal itu. Maka disampaikannya tentang kisah di atas.

Sang imam menolak untuk sepaham dengan penguasa yang zalim. Menurutnya, Alquran adalah Kalamullah, bukanlah makhluk—seperti yang diyakini kalangan ekstremis kala itu. Ia pun dipenjara akibat keteguhan keyakinannya.

Situasi berubah ketika Khalifah Al-Mutawakkil menghentikan perdebatan mengenai Alquran. Status sang Imam pun dipulihkan. Imam Ahmad bin Hanbal dikaruniai delapan anak. Ia sempat lima kali menunaikan ibadah haji ke Makkah, dua kali di antaranya ditempuh dengan berjalan kaki.

Setelah sembilan hari sakit, pada Jumat tanggal 12 Rabi'ul Awal tahun 241 H, di usianya yang ke-77, sang Imam tutup usia di Kota Baghdad, Irak. Jasa dan kontribusi sang Imam dalam mengembangkan ilmu agama hingga saat ini tetap dikenang sepanjang zaman. Ia adalah Imam yang layak ditiru dan diteladani setiap Muslim.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat