Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bersama Sekjen Pan Eddy Soeparno dan Wali Kota Bogor Bima Arya saat menghadiri peringatan acara Maulid Nabi Muhammad SAW di Yayasan Islamic Center Al Ghazaly, Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. | Republika/Putra M. Akbar

Nasional

PAN Serukan Rekonsiliasi Nasional

Rekonsiliasi nasional untuk mengembalikan keutuhan dalam berbangsa dan bernegara.

JAKARTA—Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Zulkifli Hasan menilai konsisi politik di Indonesia semakin terpolarisasi. Menurutnya, politik Indonesia saat ini hanya menjadi aang merebutkan kekuasaan belaka. Semua pihak hanya memikirkan kekuasaan untuk menjalankan agendanya masing-masing.

Dampaknya, masyarakat semakin terpolarisasi akibat sikap yang dipertontonkan elite politik. Bahkan, Zulhas, sapaan Zulkifli Hasan menuturkan, muncul benih permusuhan dan kebencian yang ongkos sosial-budayanya sangat tinggi. "Muncul karakter dukungan politik yang kuat dibarengi dengan mencuatnya perbedaan ideologi adalah konsekuensi dari tarik-menarik akibat polarisasi ini. Semangat nasionalisme jadi dipandang begitu sempit sekaligus berlebihan," ujar Zulhas dalam pidato kebangsaannya, Rabu (24/3).

Zulhas menyerukan adanya rekonsiliasi nasional untuk mengembalikan keutuhan dalam berbangsa dan bernegara. Ia menyarankan elite politik nasional untuk meminta maaf kepada masyarakat. Selain itu, seluruh pihak membuat janji untuk tidak lagi menggunakan politik identitas dan SARA untuk menyelenggarakan suksesi kekuasaan.

"Ongkos politiknya besar sekali yang harus kita tanggung. Mulai hari ini masyarakat harus diajak bersatu kembali, menggunakan lagi spirit sila ke-3 Pancasila, Persatuan Indonesia," tegas Ketum PAN.

Wakil Ketua MPR ini menyebut pemilihan Pilkada 2017 hingga 2020 telah menunjukkan demokrasii yang culas. "Pilkada 2017, 2018, Pileg dan Pilpres 2019 serta Pilkada serentak 2020 yang telah lalu, telah menunjukkan kepada kita karakter demokrasi yang culas dan hanya berpikir menang-menangan," ujar Zulhas.

Di sisi lain, politisasi agama juga disebut Zulhas dilakukan secara brutal yang menghasilkan Islamisme yang sempit dan simbolik belaka. Hal tersebut memungkinkan masuknya paham-paham ekstrem dan radikal. Zulhas menilai polarisasi politik hanya menimbulkan kebencian yang sangat membahayakan keutuhan kita berbangsa dan bernegara.

"Pesta demokrasi yang mahal sekali ongkosnya bagi parpol maupun peserta pemilu menghasilkan pola-pola yang sifatnya transaksional, merugikan, dan membodohkan masyarakat. Sementara tensi politiknya tidak dikelola dengan baik," ujar Ketum PAN dua periode ini.

Ia juga menyinggung soal pasangan calon presiden yang berkontestasi pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 justru bergabung dalam kabinet dari Presiden yang terpilih. "Persaudaraan kebangsaan yang terganggu, setelah pemenang Pilpres diperoleh, pada akhirnya yang kalah bergabung juga dengan penguasa. Capres dan cawapres penantang, keduanya kini menjadi menteri juga," ujar Zulhas.

Kondisi tersebut disebutnya dengan istilah 'tidak ada berkuasa dan tidak berkuasa'. Konsekuensinya dari hal tersebut, masyarakat terlanjur terbelah dan menghasilkan kubu-kubu tertentu yang saling bertentangan. "Polarisasi politik yang menimbulkan permusuhan dan bahkan kebencian, cebong vs kampret, buzzer vs kadrun, bisa terus tereskalasi menjadi pikiran us vs them," tegas Zulhas.

PAN sendiri menjadi partai yang paling awal mendesak ditundanya revisi UU Pemilu. Partai yang meraih 9.572.623 suara atau 6,84 persen di Pemilu 2019 ini juga telah menegaskan mendukung pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin setelah sebelumnya berada di kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno di Pilpres 2019. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat