Ilustrasi kerja remote. | NOVRIAN ARBI/ANTARA FOTO

Kisah Dalam Negeri

Kerja Remote Jadi Solusi Agar WFH tak Membosankan

Sistem kerja remote bisa menjadi pilihan agar kerja menjadi lebih mengasyikkan.

 

Anda yang mulai jenuh bekerja dari rumah atau work from home (WFH) bisa mencoba bekerja dari hotel (work from hotel). Ini bisa menjadi sarana penyegaran bagi anak-anak yang mengikuti sesi belajar daring dalam satu tahun terakhir.

Data terbaru yang dikumpulkan sebuah perusahaan software, menunjukkan sebanyak 90 persen pekerja jarak jauh merasa stress. Sebanyak 41 persen merasa sangat stres saat bekerja dari rumah. 

Tidak hanya itu, produktivitas di antara pekerja jarak jauh pun telah turun 14 persen. Tetapi, karena normalisasi kondisi work from home, maka karyawan pun sulit untuk merehatkan diri sejenak dari komitmen dan tenggat waktu.

Di sisi lain, Anda perlu mewaspadai dan mengenali beberapa gejala awal stres work from home yakni kesepian, kelelahan atau burn out, insomnia, dan patah semangat (demotivasi). 

Tak hanya pekerja, work from Hotel juga dapat melibatkan anggota keluarga, yaitu istri atau suami dan anak. Pekerja dapat fokus bekerja dengan suasana baru. Sedangkan anggota keluarga menikmati fasilitas hotel, seperti kolam renang berikut fasilitas permainan yang ada di sana. Ada juga fasilitas senam atau aerobic, ruang terbuka hijau yang asyik untuk yoga, dan lainnya.

Suasana hotel sudah jelas lebih terjaga, karena fasilitas pengamanan 24 jam. Anak lebih terlindungi bermain di lingkungan hotel. 

Makanan juga dijamin enak, baik berupa menu local maupun luar negeri. Bahan pangan dipastikan berkualitas. Di sana, tak perlu lagi masak, karena sudah diracik ahli masak hotel.

Work from hotel merupakan bagian dari kerja berpindah-pindah atau remote. Ini adalah sistem kerja yang pada mulanya dipertanyakan banyak orang. Apa mungkin kerja di luar kantor. Bagaimana penghitungan kehadiran di kantor? Bagaimana pengawasannya? Komunikasi? Dan banyak lagi pertanyaan yang dilontarkan mereka yang menanyakan pola kerja ini.

Dengan sistem remote, Kerja menjadi tak dibatasi ruang dan waktu. Pemerintahan, perusahaan, atau lembaga, terus berjalan dengan memanfaatkan segala sarana yang ada. 

Banyak karya dihasilkan atau target tercapai di luar kantor. Mengapa demikian? karena kantor membosankan. “Too much interruption,” tulis Jason Fried dan David Heimeier Hansson dalam buku karangan mereka berjudul Remote.

Rutinitas pulang pergi dari rumah ke kantor dan sebaliknya sungguh merusak suasana. Membuat orang kehilangan kreativitas, jenuh, bahkan stres. Ini terjadi di sekitar kita. Terlebih untuk masyarakat kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Bali, Medan, Makassar, dan Manado, yang sering terkena macet. Ruas jalan tak cukup menampung banyaknya kendaraan, sehingga mengular hingga beberapa kilometer. Suara klakson bersahutan menandakan kebosanan dan berharap kendaraan kembali berjalan menuju tempat yang diinginkan.

Jakarta adalah contoh kota dengan kemacetan yang luar biasa. Berdasarkan data Polda Metro Jaya, setiap harinya (sebelum pandemi Covid-19) ada delapan juta kendaraan bermotor meringsek masuk, mulai roda dua hingga lebih, yang masuk ke sana. Asalnya dari daerah penyangga Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Apa yang kemudian terjadi? Macet di mana-mana. Waktu tempuh membengkak menjadi dua kali lipat. Dari yang semula 30 menjadi 60 menit. Bahkan lebih. 

Kerja jarak jauh atau berpindah-pindah adalah solusinya. Tempat kerja yang bebas membuat arus lalu lintas lancar. Situasi kerja yang mengharuskan karyawan lebih banyak kerja dari rumah (work from home/WFH), hotel, atau kafe seperti sekarang ini, membuktikan hal tersebut. Kerja menjadi lebih fleksibel meski harus disertai pembiasaan.

Teknologi menjadi kunci kerja remote. Komunikasi dan tatap muka real time, dilakukan dengan aplikasi, seperti Basecamp, Webex (sekarang ada Zoom dan google meet). Mengunduh file menggunakan Drop Box, dan Google Drive. Teknologi yang menunjang kerja menjadi lintas waktu ini merupakan opsi lebih baru daripada kerja dengan waktu tertentu mulai pukul 09.00-17.00, di gedung tinggi, yang ke sana harus menerobos kemacetan.

CEO Magnitude Indonesia Abdul Rachman Ma’mun mempraktikkan sistem kerja ini sejak Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi nasional pada Maret 2020. Karyawannya  bekerja di rumah. Tatap muka dilangsungkan secara virtual. Kerja lebih banyak dilakukan dengan sistem koneksi internet. Perangkat lunak seperti drop box, cloud, surat elektronik, Zoom, menjadi sarana dasar kerja.

“Sistem ini ada plus sekaligus minusnya,” kata jebolan sarjana Universitas Gadjah Mada ini dalam webinar Jakarta Book Review pekan lalu.

Plusnya ada efisiensi biaya operasional hingga 60 persen. Angka yang besar. Namun minusnya, interaksi menjadi kurang. Pengawasan kerja melemah. Saat presentasi misalkan, pasti membutuhkan suasana ice breaking. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan aplikasi. Ruh dan suasana ice breaking tidak muncul. “Suasananya berbeda sekali,” imbuhnya.

Aman juga menjelaskan, tidak semua pekerjaan dilakukan dengan sistem remote. Pekerja teknis, seperti bagian maintenance, operator mesin, petugas kebersihan, tetap harus datang ke lokasi kerja. Pekerjaan yang dapat dilakukan secara remote adalah penulis, pengambil kebijakan, sekretaris, dan kerja yang tidak mengharuskan penggunaan mesin kerja yang tak dapat dipindah-pindah.

Pakar Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Deden Mauli Daradjat menjelaskan, kerja berpindah-pindah yang ideal membutuhkan sarana pendukung. Meja kerja, kursi yang nyaman, bahkan yang bisa diputar 360 derajat, komputer dengan layar  36 inc lengkap dengan perangkat keras yang memadai. 

“Mahal memang, tapi itu berharga. Anda tidak akan lelah dan fokus kerja jika didukung fasilitas seperti itu,” kata dia.

Pekerja remote harus dibekali kompetensi dasar cakap menulis. Sebab setiap hari, pekerja ini harus menbuat teks laporan beberapa halaman kepada atasannya. Ada juga yang menjawab surat elektronik pelanggan atau mitra, dan berkomunikasi melalui aplikasi (Whatsapp, Telegram, medsos) dengan menggunakan bahasa yang resmi. Sebab komunikasi mereka bukan bersifat individual, tapi mengatasnamakan perusahaan.

“Tanpa kemampuan menulis yang cakap, kerja remote tidak akan menjadi ideal,” kata Deden.

Dalam dunia pendidikan, sistem remote sudah lama dipraktikkan. Universitas Terbuka adalah yang paling siap. Sebab lembaga ini sudah menerapkan pola belajar jarak jauh. Mahasiswanya tidak harus hadir ke kampus. Dari berbagai daerah di seluruh Indonesia mereka terhubung dan bertemu dalam pola belajar daring menggunakan internet.

Ekonom Umar Idris menjelaskan, masyarakat Indonesia harus banyak menyesuaikan diri dengan sistem ini. “Remote masih harus menemukan formatnya, karena membutuhkan adaptasi lebih lama lagi,” kata dia.

Pola kerja Remote banyak diminati generasi muda, terutama mereka yang profesinya tidak mengharuskan kerja di kantor. Kerjanya bersifat independen dan sesuka hatinya. Pekerjaan yang biasa dilakukan remote itu menjadi catatan tersendiri, karena biasanya tidak memberikan penghasilan tetap. Belum tentu juga mendapatkan perlindungan yang memadai, seperti jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan.  “Ini memang menjadi fenomena gig economy,” kata Umar.

Gig economy adalah pasar tenaga kerja yang identik dengan karyawan kontrak jangka pendek atau pekerja lepas (freelancer).

Dari sudut pandang lainnya, gig economy juga dapat didefinisikan sebagai lingkungan kerja yang fleksibel dalam hal jam kerja, tetapi minim perlindungan tempat kerja hingga berpotensi menimbulkan eksploitasi. Ini yang menggambarkan situasi generasi muda sekarang.

Umar menjelaskan, sistem kerja yang tetap harus terus menjadi pilihan, sehingga penghasilan pekerja lebih terukur. Negara nantinya dapat mengukur kemampuan mereka dan tetap mendapatkan perlindungan yang diperlukan.

Sekali lagi, kata Umar, sistem kerja remote yang banyak dijalankan para pekerja lepas, yang menjadi fenomena gig economy, masih harus menemukan formatnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat