Petugas membersihkan kaca yang dipasangi stiker sertifikasi halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Jakarta, Senin (12/10). | Republika/Putra M. Akbar

Kabar Utama

MUI tak Umumkan Hasil Uji AstraZeneca

Penundaan penggunaan vaksin Covid-19 buatan Oxford-Astrazeneca meluas ke negara-negara Afrika.

JAKARTA -- Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan telah merampungkan uji kehalalan vaksin Covid-19 buatan Oxford, Astrazeneca. Kendati demikian, MUI menyatakan menyerahkan pengumuman hasil uji tersebut ke pemerintah.

Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Hamdan Rasyid menyatakan, hasil keputusan fatwa vaksin Astrazeneca telah rampung dan sudah diserahkan ke pemerintah. Hasil fatwa, dia menyebut, akan langsung disampaikan oleh pemerintah sebagai pihak yang meminta fatwa. 

“Setahu saya (fatwa vaksin Astrazeneca) sudah langsung disampaikan kepada pemerintah selaku pihak yang meminta fatwa,” kata Hamdan saat dihubungi Republika, Kamis (18/3). “Biar pemerintah yang mengumumkan secara langsung.” 

Langkah MUI ini berbeda terkait vaksin Sinovac yang tiba lebih dahulu. Saat itu, pada 9 Januari 2021, para petinggi MUI dan Komisi Fatwa MUI yang mengumumkan langsung fatwa dibolehkannya penggunaan vaksin Sinovac. 

"Mengapa? Silakan dianalisis sendiri,” kata Hamdan saat ditanyakan mengenai hal tersebut. Selain Hamdan, anggota dan pimpinan Komisi Fatwa MUI lainnya belum berhasil dihubungi Republika hingga Kamis malam.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif LPPOM MUI Ir Muti Arintawati juga mengonfirmasi bahwa LPPOM MUI telah selesai melakukan pengkajian vaksin Astrazeneca. Hasil kajian, kata dia, juga telah diserahkan ke Komisi Fatwa MUI. “Kajian LPPOM sudah selesai dan hasilnya sudah diserahkan ke Komisi Fatwa. Untuk kelanjutannya silakan menghubungi Komisi Fatwa,” ujar Muti saat dihubungi Republika, Rabu (17/3).

Sebanyak 1,1 juta dosis vaksin Covid-19 buatan Oxford-Astrazeneca tiba di Indonesia pada Senin (8/3) lalu. Jumlah itu menjadi bagian dari sekitar 11 juta dosis yang ditargetkan tiba hingga April nanti. Secara keseluruhan, pemerintah menyatakan telah memesan 50 juta dosis untuk sepanjang tahun ini.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sempat memberi lampu hijau penggunaan darurat (EUA) vaksin tersebut. Meski demikian, munculnya kabar soal efek samping penggumpalan darah dari beberapa penerima vaksin Astrazeneca di Eropa membuat pemerintah menunda penggunaannya pada Senin (15/3). 

photo
Karyawan memeriksa envirotainer berisi vaksin Covid-19 Astrazeneca saat tiba di Bio Farma, Bandung, Jawa Barat, Senin (8/3/2021) malam. Sebanyak 1,1 juta dosis vaksin Covid-19 Astrazeneca bagian awal dari batch pertama skema kerja sama global untuk vaksin dan imunisasi (GAVI) COVAX Facility tiba di Bio Farma yang selanjutnya akan diproses dan didistribusikan guna mempercepat target vaksinasi yang merata ke seluruh penduduk Indonesia. - (ANTARA FOTO/Novrian Arbi)

Hingga Kamis (18/3), belum ada kabar dari BPOM soal pencabutan penundaan. Selain dari BPOM, pemerintah juga sempat menyatakan masih menunggu fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia terkait vaksin tersebut. "MUI harusnya ada rapat dalam besok atau lusa sehingga fatwanya bisa dikeluarkan dalam dua hari ke depan," ujar Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, Senin (15/3).

Republika telah mencoba menanyakan soal rekomendasi MUI terkait vaksin Astrazeneca ke Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito. Namun, jawaban terkait itu tak ia sampaikan dalam konferensi pers harian.

Sementara, sejumlah media lokal di Bali melaporkan bahwa pemerintah daerah setempat menerima informasi dari pusat soal rencana kedatangan vaksin Astrazeneca ke wilayah tersebut. “Akan dikirim pekan ini dari pusat,” kata Wali Kota Denpasar I Gusti Ngurah Jaya Negara, dikutip berbagai media pada Rabu (17/3).

Menurut dia, kedatangan pertama berjumlah 100 ribu dosis. Penggunaan vaksin itu akan difokuskan di sejumlah zona hijau di Bali, seperti di Sanur, Denpasar; Ubud di Gianyar; dan Nusa dua di Badung. Menurut Jaya Negara, pemerintah daerah telah diminta menyiapkan teknis pelaksanaan vaksinasi tersebut.

Wiku Adisasmito tak menyangkal maupun mengiyakan rencana distribusi vaksin Astrazeneca. Meski begitu, ia menyatakan bahwa Presiden Joko Widodo melalui kunjungan kerja pada Selasa (16/3) telah menekankan pentingnya vaksinasi di Bali.  

“Sebagai provinsi tujuan pariwisata, Bali merasakan dampak paling besar dari pandemi Covid-19 sejak tahun lalu. Sejalan dengan usaha memulihkan kesehatan dan ekonomi Bali, pemerintah berharap program vaksinasi dapat berjalan dengan lancar,” ujar Wiku, kemarin.

Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi menegaskan bahwa vaksin Astrazeneca belum diedarkan di Tanah Air. "Vaksin Astrazeneca belum didistribusikan dan digunakan dulu di Indonesia. Kami masih menunggu rekomendasi dari BPOM dan Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Itagi)," ujar Siti Nadia Tarmizi saat dihubungi Republika, Kamis (18/3).

Terkait kabar bahwa vaksin ini akan digunakan di Bali, pihaknya mengaku baru mendengarnya. Ia menekankan bahwa Kemenkes belum memutuskan mengenai masalah ini. "Mungkin mereka (Pemerintah Bali) yang menyatakan sudah siap maksudnya," kata dia.

photo
PM Inggris Boris Johnson memegang vial berisi vaksin Oxford/AstraZeneca di fasilits produksi di Wrexham, Wales, Senin (30/11/2020). - (AP/Paul Ellis/PA)

Batch berbeda

Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa batch alias kelompok pengiriman vaksin Covid-19 Astrazeneca yang masuk Indonesia berbeda dengan vaksin yang ada di Eropa yang diduga menyebabkan efek samping pembekuan darah. Kendati begitu, BPOM memilih berhati-hati dan masih melakukan kajian dengan para ahli terkait keamanan vaksin ini.

Kepala BPOM Penny K Lukito dalam keterangan tertulis yang diterima Republika mengutip penjelasan Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 12 Maret soal informasi kasus pembekuan darah, termasuk dua kasus fatal akibat batch tertentu (ABV5300, ABV3025, dan ABV2856) yang diduga terkait vaksin Covid-19 Astrazeneca, dan sedang melakukan kajian mendalam. 

Namun, WHO juga menyatakan tidak ada alasan untuk menghentikan penggunaan vaksin tersebut dengan mengikuti emergency use listing (EUL) yang organisasi ini tetapkan untuk vaksin Covid-19 Astrazeneca. Kemudian ia menyebutkan beberapa badan otoritas obat global, di antaranya European Medicines Agency-EMA (Uni Eropa), Medicine Health Regulatory Authority–MHRA (Inggris), Swedish Medical Product Agency (Swedia), Therapeutic Goods Administration–TGA (Australia), dan Health Canada (Kanada) tetap menjalankan vaksinasi walaupun telah menerima informasi kasus serius yang diduga terkait vaksin Covid-19 Astrazeneca tersebut.

Sebab, organisasi ini menilai manfaat vaksin lebih besar dari risikonya. Hal ini didasarkan pada bukti ilmiah hasil uji klinik, di mana tidak ada indikasi keterkaitan antara vaksin dan kejadian pembekuan darah. 

Ia menambahkan, BPOM juga melakukan komunikasi dengan WHO dan badan otoritas obat negara lain untuk mendapatkan hasil investigasi dan kajian yang lengkap serta terkini terkait keamanan vaksin Covid-19 Astrazeneca. Selama masih dalam proses kajian, vaksin Covid-19 Astrazeneca direkomendasikan tidak digunakan. 

Penundaan Astrazeneca Meluas

Penundaan penggunaan vaksin Covid-19 buatan Oxford-Astrazeneca meluas ke negara-negara Afrika. Hal tersebut dikhawatirkan menghambat vaksinasi di benua tersebut.

Salah satu yang terkini menunda vaksinasi Astrazeneca adalah Republik Kongo. Negara itu telah menerima kedatangan 1,7 juta dosis vaksin Astrazeneca pada awal Maret lalu.

“Kami masih menunggu kesimpulan dari penelitian yang dilakukan di Eropa, juga dari komite saintifik. Setelah itu, kami mengambil keputusan akhir,” ujar Menteri Kesehatan Kongo, Eteni Longondo, dalam penyataannya dilansir Deutsce Welle, Kamis.

Ia menyatakan, kepastian itu akan keluar dua atau tiga pekan mendatang. Mulanya, Pemerintah Kongo berencana menggunakan kiriman pertama vaksin Astrazeneca untuk memvaksinasi 20 persen populasi negara tersebut. Prioritasnya adalah pekerja kesehatan, lansia, dan para pengidap komorbid, seperti penyakit ginjal, darah tinggi, dan diabetes.

Sebelum Kongo, Kamerun telah lebih dulu menunda vaksinasi menggunakan Astrazeneca. “Dewan saintifik menyarankan kami tak melanjutkan vaksinasi sampai investigasi awal diselesaikan,” kata Menteri Kesehatan Kamerun, Manaouda Malachie.

Ia menekankan, Pemerintah Kamerun akan menyimpan kembali semua dosis hingga ada kejelasan lebih lanjut soal efek samping vaksin.

Sementara itu, makalah yang diterbitkan di New England Journal of Medicine menunjukkan, dua dosis vaksin Astrazeneca hanya memiliki efikasi 10,4 persen mencegah gejala ringan Covid-19 dari varian baru B.1.351 dari Afrika Selatan. Kesimpulan itu diambil berdasarkan uji klinis fase 1b-2 kepada relawan dengan usia 18-64 tahun di Afrika Selatan.

Dari 750 penerima vaksin, sebanyak 19 (2,5 persen) mengalami gejala ringan hingga sedang Covid-19 dua pekan sejak penyuntikan. Jumlah itu tak berbeda jauh dengan kelompok penerima plasebo, yakni 23 orang (3,2 persen) dari 717 relawan. Selain itu, sebanyak 42 relawan masih tertular Covid-19, 39 di antaranya tertular varian B.1.351.

Temuan itu memunculkan kekhawatiran karena varian Afrika Selatan memiliki kemiripan mutasi dengan varian lain yang saat ini menyebar. Makalah tersebut juga menyarankan, dipercepatnya pengembangan vaksin generasi kedua untuk menangani mutasi-mutasi tersebut.

Sejauh ini, sudah lebih dari 20 negara di Eropa menunda vaksinasi Astrazeneca. Hal itu terkait munculnya sejumlah efek samping pada penerima vaksin, seperti pendarahan, penggumpalan darah, dan penurunan trombosit setelah divaksin.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat