Sejumlah siswa Taman Kanak-Kanak mengikuti manasik haji di Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (15/2/2020). Kegiatan itu untuk mengenalkan tata cara melaksanakan ibadah haji sejak usia dini | ANTARA FOTO

Opini

Pendidikan Holistis

Seluruh elemen bangsa penting mengawal peta jalan pendidikan nasional agar tidak salah arah.

BIYANTO, Guru Besar UIN Sunan Ampel, Anggota BAN PAUD dan PNF

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) menegaskan, tujuan pendidikan nasional untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Meski usia UU Sisdiknas sudah terlampau tua, rumusan tujuan pendidikan nasional masih sangat relevan. Diktum Pasal 3 UU Sisdiknas itu juga sejalan dengan keinginan untuk mewujudkan pendidikan holistis.

Secara konseptual, pendidikan holistis bertujuan mengembangkan semua potensi anak: spiritual, intelektual, emosional, sosial, kultural, dan fisikal. Pada konteks ini, penting ditekankan masuknya frasa agama dalam peta jalan pendidikan nasional.

 
Variabel agama terasa tak tergantikan sekaligus menjadi kekhasan sistem pendidikan nasional.
 
 

Variabel agama terasa tak tergantikan sekaligus menjadi kekhasan sistem pendidikan nasional. Dengan menggunakan terma berbeda, Lucila T Rudge, dalam Holistic Education (2010), menekankan pentingnya spiritualitas untuk mewujudkan pendidikan holistis.

Menurut Lucila, “Spirituality is central of holistic education.” Prinsip ini menekankan pentingnya nilai spiritual-keagamaan dalam mewujudkan pendidikan manusia seutuhnya. Yang dibutuhkan, penanaman nilai keagamaan dan keteladanan bagi peserta didik.

Konsep pendidikan holistis, menurut Lucila, juga menekankan prinsip “Honoring students as individuals: individual uniqueness.” Prinsip ini mengajarkan agar pendidik menghargai peserta didik sebagai pribadi yang unik.

Setiap orang yang lahir di dunia pasti dianugerahi potensi oleh Sang Pencipta sebagai bekal hidup. Karena itu, seharusnya tidak ada lagi pendidik yang memvonis peserta didik dengan label “anak nakal” atau “anak bodoh”.

 
Kita harus menyadari, capaian akademik dan non-akademik sama-sama dibutuhkan untuk sukses hidup. 
 
 

Semua anak harus dipandang sebagai mutiara dengan potensi bawaan yang berbeda-beda. Yang penting diingat, dalam dunia pendidikan potensi diri tidak harus bersifat akademik, tetapi juga non-akademik.

Kita harus menyadari, capaian akademik dan non-akademik sama-sama dibutuhkan untuk sukses hidup. Anak yang bertalenta hebat di bidang akademik berpeluang besar menjadi ilmuwan dan peraih hadiah nobel fisika, sains, matematika, dan lainnya.

Sementara itu, mereka yang berprestasi bidang non-akademik juga berpeluang sukses menjadi politisi, wirausahawan, atletik, pegiat seni-budaya, jurnalis, dan pekerja sosial.

Persoalan politik yang mengakibatkan sistem pendidikan nasional terbelah menjadi dua atap: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Agama (Kemenag), juga harus dicarikan solusi.

Itu karena penerapan sistem pendidikan dua atap, apalagi dengan skema penganggaran dan karakter pengelolaan yang berbeda, pasti mengakibatkan ketimpangan mutu. Di samping itu, polarisasi ilmu umum dan ilmu agama juga akan kian langgeng.

 
Polarisasi ini dalam tingkat tertentu dapat mengakibatkan terjadinya pola pikir yang parsial. 
 
 

Polarisasi ini dalam tingkat tertentu dapat mengakibatkan terjadinya pola pikir yang parsial. Jika kondisi ini terus dilanggengkan, keinginan untuk mengembangkan kajian yang bersifat holistis dan saling terkoneksi pasti akan sulit terwujud.

Rasanya, sudah seharusnya Kemendikbud dan Kemenag mengembangkan budaya “saling bertegur sapa” antardisiplin ilmu agar terwujud pendidikan lebih holistis.

Langkah ini penting dilakukan untuk menerjemahkan filosofi Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hadjar Dewantara. Menurut Ki Hadjar, pendidikan merupakan daya upaya untuk mengembangkan budi pekerti (kekuatan batin, hati), pikiran (otak), dan tubuh anak (raga).

Bagian-bagian itu, menurut Ki Hadjar, tidak boleh dipisahkan satu sama lain agar pendidikan dapat memajukan kehidupan sekaligus menyempurnakan karakter anak-anak.

 
Pada konteks itulah, seluruh elemen bangsa penting mengawal rumusan dan implementasi peta jalan pendidikan nasional agar tidak salah arah.
 
 

Pikiran Ki Hadjar penting dibumikan untuk merespons tantangan pendidikan nasional, yang acap masih dinodai insiden radikalisme, tawuran antarpelajar, human trafficking, ketakjujuran, dan kasus-kasus korupsi yang melibatkan insan terpelajar.

Bahkan, tagline “Merdeka Belajar” yang digelorakan Kemendikbud juga harus diserasikan dengan amanah konstitusi dan filosofi pendidikan Ki Hadjar.

Pada konteks itulah, seluruh elemen bangsa penting mengawal rumusan dan implementasi peta jalan pendidikan nasional agar tidak salah arah.

Peta jalan pendidikan nasional juga harus menjamin terwujudnya pendidikan holistis sehingga menghasilkan insan terdidik, siap menghadapi tantangan zamannya, dan berkarakter keindonesiaan.  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat