Peristiwa Isra Miraj merupakan momentum istimewa dalam kalender Islam. | Pixabay

Laporan Utama

Memahami Isra Mi'raj

Mi’rajnya Rasulullah juga dilakukan baik oleh jasad dan ruhnya.

 

OLEH ANDRIAN SAPUTRA

Peristiwa Isra Mi'raj merupakan momentum istimewa dalam kalender Islam. Perjalanan malam Rasulullah SAW yang melintasi bagian bumi dan langit itu kerap dirayakan untuk menebalkan keimanan Muslim. Shalat pun menjadi manifestasi peristiwa tersebut bagi mereka yang bertakwa.

Melintasi Dua Masjid Hingga Menggapai Langit

Umat Islam di berbagai belahan dunia memperingati peristiwa Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW pada 27 Rajab 1442 Hijriyah yang bertepatan pada 11 Maret 2021. Pakar ilmu Alquran yang juga pengasuh pesantren Dar Al Quran Arjawinangun, Cirebon, KH Ahsin Sakho Muhammad menjelaskan, Isra Mi’raj terjadi pada diri Nabi Muhammad setahun sebelum peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW. 

Isra yaitu Rasulullah SAW diperjalankan Allah pada suatu malam dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem dengan menunggang buraq yang merupakan tunggangan para nabi. Tujuannya untuk diperlihatkan mengenai sebagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Keterangan itu sebagaimana tertulis pada ayat 1 surah al-Isra. 

Ada perbedaan pendapat para ulama mengenai keadaan Rasulullah Isra dan Mi’raj itu secara jasad dan ruh atau ruh saja. Namun, KH Ahsin mengatakan, jumhur ulama berpendapat, Rasulullah di Isra dan di Mi’raj-kan oleh Allah dalam jasad dan ruhnya.

photo
Peristiwa Isra Mi'raj merupakan momentum istimewa dalam kalender Islam. Perjalanan malam Rasulullah SAW yang melintasi bagian bumi dan langit itu kerap dirayakan untuk menebalkan keimanan Muslim. - (Pixabay)

"Kalau yang memperjalankan itu Allah, tidak ada sesuatu yang mustahil. Bagi kita mungkin jauh banget, tapi hal-hal yang berkaitan gaib itu tidak bisa diukur oleh logika akal manusia,” kata Kiai Ahsin kepada Republika, beberapa hari lalu.

Kiai Ahsin menjelaskan ketika Rasulullah sampai di Masjidil Aqsha, Rasulullah bertemu dengan para nabi dan rasul terdahulu. Pertemuan itu terjadi secara rohani. Nabi pun melaksanakan shalat bersama para nabi dan rasul terdahulu.

Menurut Kiai Ahsin, bertemunya Rasulullah dengan para nabi dan rasul sebelumnya memiliki makna bahwa Islam adalah agama tauhid yang dibawa oleh para nabi dan rasul terdahulu. Rasulullah yang memimpin shalat para nabi dan rasul terdahulu di Masjid al-Aqsha menunjukan, Rasulullah adalah pemimpin para nabi dan rasul.

"Jadi, ada makna wahdatul adiyan, artinya agama Islam itu agama tauhid, agama yang dibawa para nabi terdahulu, dan ini membuktikan bahwa nabi Muhammad adalah sayidul ambiya wal mursalin," kata dia.

 
Ada makna wahdatul adiyan, artinya agama Islam itu agama tauhid, agama yang dibawa para nabi terdahulu.
 
 

Lantas, mengapa al-Aqsha menjadi tempat di muka bumi yang dipilih sebagai tempat transit Rasulullah sebelum ke Sidratul Muntaha?

Kiai Ahsin menjelaskan, al-Aqsha merupakan masjid yang sangat mulia dan diberkahi. Sebagian ulama berpendapat, al-Aqsha dibangun oleh Nabi Adam setelah membangun Masjidil Haram dengan jarak pembangunan sekitar 40 tahun. Selain itu, al-Aqsha menjadi tempat diturunkannya para nabi-nabi terdahulu, seperti Ibrahim, Ishak, Yakub, dan Musa.

Adapun Prof KH Ahmad Satori Ismail menjelaskan, dari al-Aqsha, Rasulullah dinaikkan ke Sidratul Muntaha. Peristiwa itulah yang disebut dengan Mi’raj. Mi’rajnya Rasulullah dilakukan dengan jasad dan ruhnya.

Allah SWT menaikkan Rasulullah ke Sidratul Muntaha dari al-Aqsha karena tempat itu mulia dan penuh keberkahan. Allah SWT menurunkan para nabi dan rasul terdahulu di tempat itu. Keterangan tentang Mi’raj-nya Rasulullah dapat ditemukan dalam surah an-Najm serta sejumlah hadis Rasulullah.

Sebenarnya, apa itu Sidratul Muntaha? Pakar tafsir Quran yang juga dosen quranic studies Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ustaz Syahrullah Iskandar menjelaskan, kata sidratul muntaha disebutkan sekali dalam Alquran, yaitu pada surah an-Najm ayat 14.

 
Sidrah berarti sejenis pohon rindang, sedangkan muntaha bermakna tempat terakhir.
 
 

Sidrah berarti sejenis pohon rindang, sedangkan muntaha bermakna tempat terakhir. Secara kebahasaan, gabungan keduanya bermakna tumbuhan atau pohon sidrah yang tak terlampaui.

Menurut Ustaz Syahrullah, sidrah merupakan sejenis pohon yang bila di Indonesia disebut dengan pohon bidara. Dalam sejumlah riwayat digambarkan daunnya lebar dan rindang, serta keindahannya sulit untuk dibahasakan.

Ustaz Syahrullah menjelaskan, sejumlah riwayat sahih lainnya menyatakan, Sidratul Muntaha berada di langit ke enam, ada juga yang menyebutnya di langit ketujuh. “Alquran tidak menjelaskan secara tegas tentang Sidratul Muntaha ini kecuali dari sejumlah riwayat sahih tentangnya. Kita harus meyakini bahwa Sidratul Muntaha itu ada, tetapi mengetahui deksripsi detailnya bukanlah sebuah keharusan," kata Ustaz Syahrullah yang juga pengasuh Pesantren Bayt Alquran Jakarta.

Imam an-Nawawi menjelaskan alasan penamaan dengan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat berakhir sampai di tempat itu. Tidak ada lagi yang melampauinya kecuali Nabi Muhammad. Alquran bahkan menjelaskan, Rasulullah tidak mengalihkan pandangan ke arah yang lain karena menyaksikan keindahan di dalamnya.

 
Kita harus meyakini bahwa Sidratul Muntaha itu ada, tetapi mengetahui deksripsi detailnya bukanlah sebuah keharusan
USTAZ SYAHRULLAH ISKANDAR, Pakar Tafsir Alquran
 

Ustaz Syahrullah menjelaskan, di Sidratul Muntaha terdapat Jannah Ma’wa, sebuah tingkatan surga yang indah nan lengkap tiada tara yang disediakan bagi hamba Allah yang bertakwa. Ibadah shalat adalah satu-satunya kewajiban kepada Rasulullah secara lisan (musyafahah) langsung di tempat itu. Selain itu, Rasulullah melihat Jibril dengan rupa aslinya di Sidratul Muntaha. 

Tentang apakah Rasul melihat Allah ketika mendapatkan perintah shalat, Ustaz Syahrullah mengatakan, terdapat perbedaan pendapat. Sebagai contoh, Ibn Abbas mengiyakan, sedangkan Aisyah menolaknya.

Syekh Mutawalli al-Sya’rawi menjelaskan, Rasulullah hanya melihat cahaya secara langsung karena melihat Allah secara hakiki itu hanya terjadi di akhirat kelak. Adapun Rasulullah melihat Allah dengan mata hatinya semasa di dunia, itu dapat terjadi. 

Sementara itu, Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah berjumpa dengan nabi dan rasul lainnya Ketika dimi’rajkan, seperti Nabi Adam di langit pertama, Yahya dan Isa di langit kedua, Nabi Yusuf di langit ketiga, Nabi Idris di langit keempat, Nabi Harun di langit kelima, Nabi Musa di langit keenam, dan Nabi Ibrahim di langit ketujuh.

"Harus kita ingat bahwa para nabi dan rasul, meski lahir dari ibu yang berbeda, mereka bersaudara sesama penyeru ketauhidan kepada Allah.”

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Majelis Ulama Indonesia (muipusat)

 

Melesat dengan Buraq 

 

Isra dan Mi’raj merupakan peristiwa besar bagi umat Islam. Allah SWT menurunkan perintah kepada Rasulullah berupa shalat lima waktu yang wajib dilaksanakan seluruh Muslim di belahan bumi mana pun. 

Kisah Isra Mi’raj juga tak lepas dari sosok yang dinamakan buraq. Dengan menunggangi buraq, Rasulullah melakukan Isra Mi’raj yakni perjalanan dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Yerusalem dan dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha dengan begitu cepatnya.

Lalu, apakah buraq itu? Apakah buraq itu hanya pengistilahan dari cahaya ataukah buraq itu secara fisik memang ada?

Pakar hadis yang juga pendiri Pusat Kajian Hadits (PKH) Jakarta KH Ahmad Lutfi Fathullah menerangkan, buraq itu bukanlah cahaya atau kilat. Sebab, Rasululah di-Isra dan Mi’raj-kan oleh Allah adalah jasad dan ruhnya. Buraq juga bukan berbentuk setengah manusia setengah hewan. 

Menurut Kiai Lutfi, dalam beberapa hadis dijelaskan tentang buraq adalah hewan yang mirip dengan kuda. Rasulullah menunggangi buraq dan dibawa dengan sangat cepat secara sadar hingga Sidratul Muntaha.   

"Bentuk fisiknya seperti kuda, tapi bukan kuda. Kita hanya bilang Rasulullah dibawa oleh kendaraan dan kendaraannya berbentuk binatang. Rasulullah dalam keadaan sadar karena Rasulullah lihat sendiri beberapa kejadian," kata Kiai Lutfi kepada Republika, beberapa hari lalu.

 
Rasulullah dalam keadaan sadar karena Rasulullah lihat sendiri beberapa kejadian.
 
 

Diriwayatkan dalam beberapa hadis jika buraq itu hewan tunggangan berwarna putih, lebih pendek dari bighal dan lebih tinggi daripada keledai. Sekali buraq melangkah, jaraknya sejauh mata memandang.

Hewan buraq disebutkan juga hewan yang dikirim dari surga. Sebuah riwayat menjelaskan, buraq mulanya sulit dinaiki, tetapi mengetahui yang akan menunggangi adalah manusia terpilih dan mulia, buraq pun tunduk penuh takzim kepada Rasulullah.

Menurut Kiai Lutfi yang juga menjadi renungan adalah Rasulullah yang terlindungi dalam perjalanan yang sangat cepat daripada buraq. "Kita mungkin tak bisa membayangkan kendaraan atau hewan yang bisa melindungi orang yang ada di dalamnya entah dengan sayapnya atau dengan apanya sehingga mampu untuk terlindungi dengan kecepatan yang luar biasa tadi. Kalau kita lihat pesawat luar angkasa, misalnya, itu kan semuanya harus pakai dinding entah kaca entah apa. Nah, apakah buraq ini berdinding, secara tekstual tidak dijelaskan. Wallahu a'lam," kata dia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat