Presiden AS Joe Biden saat menandatangani dicabutnya pembatasan kedatangan imigran dari sejumlah negara mayoritas Muslim, Januari 2021 lalu. | EPA-EFE/JIM LO SCALZO

Kabar Utama

AS Kembali Buka Pintu untuk Warga Muslim

Warga dari negara Muslim yang visanya ditolak dapat mengajukan permohonan baru.

WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) kembali membuka pintu bagi warga dari negara-negara Muslim. Mereka yang sempat terimbas kebijakan larangan perjalanan era mantan presiden Donald Trump kini diperkenankan mengajukan permohonan visa baru untuk memasuki AS.

Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS Ned Price mengungkapkan, warga dari negara Muslim yang visanya ditolak sebelum 20 Januari 2020 dapat mengajukan permohonan baru. "Mereka yang ditolak pada atau setelah 20 Januari 2020 dapat meminta pertimbangan ulang tanpa mengajukan kembali aplikasi mereka dan tidak perlu membayar biaya tambahan," kata Price, Senin (8/3).

Pada 20 Januari lalu, sesaat setelah dilantik, Presiden Joe Biden mencabut kebijakan larangan perjalanan dari negara Muslim yang diberlakukan pada era pemerintahan Trump. Dia menyebut kebijakan itu sebagai noda pada hati nurani nasional AS.

Pada 6 Maret 2017, Donald Trump menerbitkan perintah eksekutif yang melarang warga dari enam negara mayoritas Muslim memasuki AS. Ia mengeluarkan kebijakan itu dengan alasan melindungi negara dari ancaman dan tindakan terorisme. Negara yang masuk dalam daftar larangan adalah Libya, Iran, Somalia, Sudan, Suriah, dan Yaman.

Kebijakan larangan perjalanan itu menuai kritik karena dianggap diskriminatif dan rasial. Pengadilan Federal AS sempat menangguhkan kebijakan tersebut karena dianggap berangkat dari intoleransi dan diskriminasi. Namun, pemerintahan Trump mendesak Mahkamah Agung untuk memulihkannya.

"Kami telah meminta Mahkamah Agung mendengarkan kasus penting ini dan yakin bahwa perintah eksekutif Presiden Trump sesuai dengan kewenangannya untuk menjaga agar negara tetap aman dan masyarakat terlindung dari terorisme," ungkap mantan juru bicara Departemen Kehakiman AS Sarah Isgur Flores, beberapa waktu lalu. 

Kala itu, Flores mengatakan, Trump dinilai tidak diharuskan mengakui orang dari negara-negara yang mensponsori atau melindungi terorisme. "Sampai dia menentukan bahwa mereka dapat diperiksa dengan benar dan tidak menimbulkan risiko keamanan bagi AS," ujarnya.

Menurut Departemen Luar Negeri AS, sejak Desember 2017, yakni setelah versi revisi dari larangan perjalanan asli diberlakukan Mahkamah Agung AS, sekitar 40 ribu orang telah dilarang memasuki negara tersebut. Selama masa pemerintahannya, Trump menambahkan dan menghapus negara dari daftar larangan perjalanannya.

Pada akhir masa kepemimpinan Trump, negara yang masih tercantum dalam daftar adalah Myanmar, Eritrea, Iran, Kyrgyzstan, Libya, Nigeria, Korea Utara, Somalia, Sudan, Suriah, Tanzania, Venezuela, dan Yaman. Berbagai gugatan hukum dan aksi unjuk rasa dilakukan atas kebijakan itu. Selama berlaku, kebijakan itu memisahkan banyak imigran AS dari keluarga mereka yang tak boleh berkunjung.

Presiden AS Joe Biden memang memiliki kebijakan migrasi yang amat berbeda dengan Trump. Tak hanya mengenai pendatang Muslim, Biden mengambil kebijakan lebih luas untuk menerima migran dan melindungi migran tak berdokumen di AS. Pada Februari lalu, dia mencabut kebijakan pembekuan penerbitan kartu hijau (green card) selama pandemi yang diterapkan pemerintahan Trump.

Biden mengatakan, menutup pintu bagi imigran resmi yang tidak memajukan kepentingan AS. “Sebaliknya, itu merugikan AS, termasuk dengan mencegah anggota keluarga tertentu dari warga negara AS dan penduduk tetap yang sah untuk bergabung dengan keluarga mereka di sini. Itu juga merugikan industri di AS yang memanfaatkan bakat dari seluruh dunia," ujarnya.

Bagi migran ilegal di AS, pemerintahan Biden telah menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) yang dikenal dengan US Citizenship Act of 2021. Jika disahkan, UU itu bakal menjadi landasan untuk memberikan status kewarganegaraan bagi 11 juta migran tak berdokumen di negara tersebut.

RUU yang diusulkan akan mengakui AS sebagai negara imigran. Ia bakal mengubah istilah hukum "asing" menjadi "nonwarga negara". RUU ini akan memungkinkan orang tak berdokumen yang membayar pajak dan lulus pemeriksaan latar belakang untuk mengajukan status hukum sementara serta membuat permohonan kepemilikan kartu hijau setelah lima tahun.

RUU juga memungkinkan kelompok "Dreamers", yakni anak-anak yang datang ke AS tanpa dokumen serta pemegang Temporary Protected Status (Status Dilindungi Sementara) dan pekerja pertanian imigran untuk mengajukan permohonan kartu hijau tanpa menunggu lima tahun.

Setelah tiga tahun tambahan, semua pemegang kartu hijau yang lulus pemeriksaan latar belakang, bisa berbicara bahasa Inggris, dan menunjukkan pengetahuan kewarganegaraan AS, bisa mengajukan permohonan kewarganegaraan. Jalur ini berlaku untuk pelamar yang sudah berada di negara itu per 1 Januari 2021.

RUU tersebut bakal membantu proses penyatuan kembali keluarga migran yang harus terpisah karena aturan saat ini. Menurut Dewan Imigrasi Amerika, pernikahan dengan warga negara AS dan hubungan keluarga lainnya saat ini memungkinkan imigran untuk mendapatkan kartu hijau. 

Namun, ada beberapa hambatan yang menunda akses. Hambatan itu termasuk larangan visa selama 3 dan 10 tahun yang melarang orang kembali ke AS jika mereka pergi setelah sebelumnya berada di negara itu secara ilegal.

RUU terbaru bakal menghapus batasan tersebut guna memungkinkan keluarga bersatu kembali. RUU pun akan memungkinkan imigran dengan sponsor keluarga untuk bergabung dengan anggota keluarga di AS sambil menunggu kartu hijau.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat