
Sastra
Di Malam Jahanam, Sang Koruptor itu Mati
Cerpen Rusmin Sopian
Oleh RUSMIN SOPIAN
Malam makin membangkrut. Di kejauhan malam, di sebuah kawasan hutan yang jauh dari pemukiman warga, terdengar bunyi letupan senapan.
Dor...
Dor...
Dor...
Mengagetkan burung-burung liar yang sedang tertidur di ranting pohon tua.
Dan lelaki tua itu pun langsung terkulai di hadapan regu tembak. Para petugas kesehatan segera bergegas mendekat ke arah dirinya yang terkulai di tiang penyanggah. Memeriksa denyut jantungnya. Rohaniawan pun mendekat. Senandungkan ayat-ayat suci yang sakral.
Jagad berduka. Semesta menghitam. Cakrawala senyap. Angin pun seakan enggan berdesis. Temaramnya sinar rembulan menjadi saksi bisu malam jahanam itu.
Narasi religius Innalillahi Wa innalillahi Rojiun yang dilafazkan rohaniawan menyusup di kalbu paling hakiki. Lafaznya menggetarkan alam semesta. Mensayukan sinar rembulan. Bintang pun enggan bersinar. Alam raya terdiam sejenak. Seolah-olah ikut berduka.
Suara sirene ambulan menembus jalanan malam yang makin sepi ditinggalkan penghuninya yang mulai bermimpi. Bermimpi tentang kehidupan. Bermimpi tentang hari esok. Bermimpi tentang kekuasaan. Dan bermimpi tentang dunia dengan segala centang perentangnya yang masih ingin mereka taklukkan dengan sejuta akal bulusnya untuk berkuasa.
Lelaki tua yang membisu dalam keheningan malam di peti mati itu tak akan pernah menyangka, ajalnya akan dicabut malam ini oleh para penembak jitu setelah vonis mati diketuk hakim yang mulia.
Padahal impiannya tentang kekuasaan baru saja akan dimulai. Mimpinya tentang martabat diri mulai dikibarkannya kepada publik lewat ruang publik yang riuh.
" Saya akan ajukan banding. Mereka telah menzolimi saya dan keluarga saya dengan hukuman mati ini. Saya akan melawan karena saya merasa tak bersalah. Saya akan melawan. Ratusan pengacara akan saya siapkan untuk melawan ketidakadilan ini," teriaknya didepan para awak media yang mewawancarainya sebelum hukuman mati itu dilaksanakan.
Kegagahan narasinya didepan media tak membuat para aparat penegak hukum bergeming. Penegak hukum tidak gentar.
Hukuman mati adalah hukuman yang pantas dihadiahkan kepada penggiat aksi purba korupsi yang telah memiskinkan rakyat dan meruntuhkan negara dan bangsa ini. Apalagi korupsi telah dinyatakan sebagai musuh besar bangsa ini.
Dan narasinya hanya tinggal sebagai sebuah narasi saja. Hanya untuk bahan bacaan semata. Hanya untuk didengar sepintas di kuping. Lalu terbang dibawa angin kehidupan baru.
Resonansinya hanya gagah sebentar saja. Lantas lenyap ditelan gelombang besar perlawanan dari rakyat yang sudah bosan ditipu para penggarong uang rakyat.
" Dia penggarong uang rakyat, " tuding seorang aktivis antikorupsi.
" Vonis mati yang diberikan hakim sudah sangat pantas untuk dirinya," sambung aktivis lainnya.
Lelaki tua yang pernah berkuasa itu tak pernah menyangka, pembicaraan di ruang publik yang begitu gencar membuatnya harus dicabut ajalnya malam ini. Padahal dirinya telah membantahnya lewat para pengacara top yang disewanya untuk membebaskannya dari tudingan sebagai koruptor. Namun tak mempan. Tak berbuah hasil. Vonis mati harus diterimanya.
Pemberitaan di ruang publik yang sungguh gencar telah membuat keluarga dan sanak saudaranya tak pernah menjenguknya saat di hotel prodeo.
Predikat koruptor yang dilekatkan publik membuat kehidupannya mati disaat dirinya masih segar bugar. Sehat walafiat.
"Memalukan," ujar kakaknya sambil membanting koran yang memuat wajahnya.
"Merendahkan martabat keluarga besar kita," sambung adik perempuannya seraya mematikan siaran televisi yang memberitakan tentang kakak mereka m
"Gara-gara dia sampai kiamat keluarga ini akan diberi stempel oleh masyarakat sebagai keluarga koruptor," sambung saudaranya yang lain dengan wajah berlumuran kekesalan.
Suasana di rumah keluarga besarnya pun jadi semakin semerawut dengan berbagai sumpah serapah dari mulut berbalut kebencian keluarganya. Hanya Sang Ibu yang tak bernarasi.
Mulutnya komat kamit menyaksikan adegan anak-anaknya menghamburkan frasa sampah dari mulut mereka terhadap sanak saudaranya yang tengah ditempa penderitaan.
Bahkan mertua dan keluarga besar istrinya pun kini harus menanggung malu akibat aksi purbanya saat menjadi pemimpin. Ayah mertuanya berkali-kali harus diopname setiap pemberitaan tentang sang menantu muncul di koran dan televisi.
Demikian pula dengan keluarga besarnya yang lain yang terpaksa harus menutup diri dari pergaulan karena ulah purbanya yang amat mencoreng nama baik keluarga istrinya.
"Saya tidak menyangka. Sama sekali tidak menyangka. Ternyata dibalik kebaikanmu, tersimpan sikap yang tak manusiawi. Kalau saya tahu akan jadi begini, tidak akan pernah saya izinkan dan restui anak saya menikah dengan kamu," teriak Ibu mertuanya.
"Dasar lelaki tua bangka. Makin tua bukannya beramal dan berbuat baik malah korupsi," semprot mertua lelakinya saat mengunjungi dirinya di hotel prodeo.
Apologi maaf yang dilontarkannya dengan tulus dan rasa penyesalan yang mendalam tak mampu obati kekecewaan dari sang mertua. Sumpah serapah pun meluncur dari keluarga besar istrinya. lelaki tua itu hanya tersenyum kecut. Terdiam mendengar suara serapah itu. Hanya berpasrah diri.
Wajahnya yang menampakkan penyesalan tiada tara, tak berarti dan tak menolong sama sekali. Kebencian sudah ditebarkan. Kekecewaan sudah tertanam dalam jiwa keluarga besar sang mertuanya. Dia hanya pasrah.
Sirene ambulans berhenti di areal taman pemakaman umum Kampung. Jauh dari pemukiman warga. Sejumlah orang telah menunggu untuk memulai prosesi pemakaman. Tak ada sanak keluarganya yang terlihat.
Tak ada handai tolan. Yang ada hanya rohaniawan dan para petugas pemakaman yang siap mengantarkannya kembali kepangkuan Sang Maha Pencipta.
Senja makin tenggelam dalam rengkuhan sinar rembulan yang datang menyeruak disela-sela para petugas pemakaman yang satu per satu mulai meninggalkan areal pemakaman.
Dan besok pagi judul berita "Sang Koruptor Mati Ditangan Regu Tembak " akan menjadi penghias halaman-halaman koran dan pemberitaan media televisi.Sebuah bentuk konsumsi publik yang tak terbantahkan.
Yang akan menjadi arsip kehidupan perjalanan seorang manusia dalam kehidupannya di dunia.
Hanya di batu nisan itu yang tak menyebutkan dirinya sebagai koruptor. Selamat jalan Pak Tua . Sejarah akan mengenangmu sebagai Koruptor.
Toboali, Juli 2025
Penulis adalah Ketua Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca (GPMB) Kabupaten Bangka Selatan. Cerpennya sering dimuat di media massa lokal dan nasional. Beberapa buku kumpulan cerpen karya penulis diantaranya Mereka Bilang Ayah ku Koruptor dan Penjaga Makam telah diterbitkan Galuh Patria Jogjakarta. Saat ini Rusmin Sopian tinggal di Toboali Bangka Selatan bersama istri dan dua putrinya yang cantik serta kakek satu orang cucu yang bernama Nayyara Aghnia Yuna.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.