Ilustrasi ajal menjemput seseorang. | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Khazanah

Ketika Ajal Menjemput di Kota Nabi

Ajal datang tanpa dikira. Kedatangannya tidak dimajukan, tidak juga diakhirkan.

Kematian merupakan sesuatu yang pasti terjadi pada diri setiap insan. “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu.” (QS Ali Imran: 185).

Setiap orang pun tidak dapat mengetahui dengan pasti kapan ajal akan menjemputnya. Dan, tidak ada pula yang dapat menegosiasikannya “Maka apabila ajalnya (manusia) tiba, mereka tidak dapat meminta penundaa atau percepatan sesaat pun.” (QS an-Nahl: 61).

Karena itu, seorang Muslim seyogianya tidak larut dalam hiruk-pikuk duniawi. Mantapkan diri untuk selalu konsisten meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Wafat dalam keadaan baik menjadi impian setiap Mukmin. Cara yang demikian biasa disebut sebagai husnul khatimah. Dr Mustafa Murad dalam buku Manajemen Husnul Khatimah mengatakan, istilah tersebut merujuk pada kondisi ketika seseorang meninggal dunia dalam keadaan beramal saleh. Orang tersebut juga mempertahankan iman dan Islam dalam dadanya hingga mengembuskan nafas terakhir.

Kematian yang husnul khatimah pun mengacu pada tempat seseorang wafat. Dari seluruh tempat di muka bumi, ada yang disebut sebagai Tanah Suci. Salah satunya bernama Madinah, kota yang kini secara administratif termasuk wilayah Kerajaan Arab Saudi.

Kota itu disebut pula sebagai Madinat al-Munawwarah (Kota yang Bercahaya) dan Madinat an-Nabiy (Kota Nabi). Sebab, di sanalah tujuan hijrah Nabi Muhammad SAW dari kota kelahirannya, Makkah al-Mukarramah. Bahkan, beliau wafat dan jenazahnya dimakamkan di sana.

Seorang Muslim yang meninggal dunia di Madinah akan mendapatkan keutamaan. Mengutip buku Bekal Haji karya Ustaz Firanda Andirja, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Barangsiapa yang mampu untuk meninggal di Kota Madinah, maka lakukanlah. Sesungguhnya aku akan memberi syafaat bagi orang-orang yang meninggal di Kota Madinah.” (HR at-Tirmidzi).

Dalam kitab Mirqatul Mafaatiih, dikatakan, “Seseorang hendaknya berusaha menetap di Kota Madinah hingga ajal menjemputnya. Jika tidak mampu untuk menetap di Madinah selamanya, hendaknya jika tampak bahwa ajalnya telah dekat lantaran tua, sakit, atau yang lainnya, segeralah ia menetap di Kota Madinah. (Itu) agar ia meninggal di sana.”

Seorang sahabat Nabi SAW, Umar bin Khattab, pernah memanjatkan doa, “Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku mati syahid dan jadikanlah wafatku di negeri Rasul-Mu.”

Tentunya, hal itu tidak berarti meninggal yang disengaja atau diusahakan sendiri. Umpamanya, seseorang sengaja membuat dirinya sakit atau terkena penyakit di Madinah. Contoh lainnya, orang yang sengaja mencelakakan dirinya sendiri di Kota Nabi. Lebih buruk lagi, orang yang melakukan bunuh diri di Tanah Suci.

Yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah kematian yang wajar dan alami. Dalam Tuhfatul Ahwadzi, at-Tibiy berkata, “Anjuran untuk meninggal dunia di Madinah tidak berarti (meninggal) dengan usahanya sendiri, tetapi kembali kepada Allah (meninggal alami). Hendaknya, ia tetap bertahan tinggal di Madinah dan berusaha tidak pergi darinya.”

Syarah Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi pun memberi nasihat serupa. Menurut para ulama, hadis tersebut menunjukkan dalil yang jelas tentang keutamaan tinggal di Kota Madinah. Seorang Muslim hendaknya bersabar atas berbagai ujian hidup selama menetap di sana. “Keutamaan ini berlaku terus-menerus sampai hari kiamat,” tulisnya.

Bagi jamaah umrah atau haji, tentu saja kunjungan ke Madinah akan membangkitkan perasaan haru sekaligus gembira. Terlebih lagi, tatkala langkah kaki memasuki Masjid Nabawi dan berziarah ke makam Rasulullah SAW. Wajarlah kiranya bila ia hendak berlama-lama di kota tersebut.

Apabila meninggal dunia di Madinah, seorang jamaah haji kelak akan mendapatkan syafaat dari Nabi SAW. Beliau pernah bersabda, “Tidaklah seseorang sabar terhadap kesusahannya (Madinah) kemudian dia meninggal dunia, kecuali aku akan memberikan syafaat padanya, atau menjadi saksi baginya pada hari kiamat jika dia seorang Muslim” (HR Muslim).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat