Mualaf dari pulau terpencil dalam kisah ini mengamalkan dengan sungguh-sungguh ajaran Islam, hingga akhir hayatnya. | DOK PXHERE

Kisah

Akhir Hidup Sang Mualaf

Ia dan kawan-kawannya lalu memandikan jenazah mualaf itu dan mengafaninya.

OLEH HASANUL RIZQA

Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan, tidak ada satu pun yang mengetahui kapan dan di mana dirinya menjumpai ajal. Karena itu, orang yang mengalami akhir yang baik (husnul khatimah) berarti memperoleh keberuntungan yang besar.

Kisah berikut ini menunjukkan pengalaman seseorang yang belum lama menerima cahaya iman dan Islam. Begitu gembira hatinya sejak mengucapkan dua kalimat syahadat, setiap detik, jam, dan hari yang dilaluinya selalu diupayakan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.

Abdul Wahid bin Zaid menuturkan cerita tersebut. Suatu ketika, kapal laut yang ditumpanginya mendapatkan musibah. Angin berembus sangat kencang. Ombak menerpa kuat sehingga kapal tersebut hilang kendali. Ketika badai mereda, Abdul Wahid menyadari bahwa dirinya terdampar di suatu pulau.

Bersama dengan sejumlah awak kapal, ia pun berjalan ke pedalaman pulau tersebut. Tiba-tiba, ia mendapati seorang laki-laki sedang bersemedi. Lantas, pria itu membuka matanya dan langsung tersungkur, bersujud di depan sebuah berhala.

Setelah memperkenalkan diri, Abdul Wahid mengomentari tindakan pria itu barusan. “Di antara kami para penumpang kapal, tidak ada melakukan seperti yang kamu perbuat tadi,” katanya.

“Kalau begitu, kalian menyembah apa?”

“Kami menyembah Allah.”

“Siapakah Allah?” tanya pria tersebut lagi.

“Dialah Zat yang memiliki langit dan bumi serta apa yang terdapat di antara keduanya,” jelas Ibnu Zaid.

Untuk sesaat, lelaki penduduk lokal itu terdiam. Ia pun kembali mengajukan pertanyaan, “Bagaimana kalian bisa mengetahui Allah?”

“Allah mengutus seorang rasul kepada kami dengan membawa mukjizat yang nyata. Utusan-Nya itu menerangkan kepada kami mengenai hal itu,” papar Abdul Wahid.

“Apa saja yang dilakukan rasul kalian?”

“Beliau berdakwah kepada manusia. Sesudah tuntas tugasnya dalam menyampaikan risalah Tuhan, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mencabut ruhnya. Kini utusan-Nya itu telah meninggal,” katanya.

Lelaki itu bertanya lagi, “Apakah dia tidak meninggalkan sesuatu tanda kepada kalian?”

“Dia meninggalkan Kitabullah untuk kami.”

Warga pribumi itu lantas meminta kitab yang dimaksud awak kapal tersebut. Abdul Wahid lantas memberikan kepadanya sebuah mushaf Alquran. Tidak hanya itu, dia juga membacakan beberapa firman Allah Ta’ala. Lawan bicaranya pun menyimak dengan saksama. Air mukanya tampak tenang.

“Alangkah bagusnya bacaan yang terdapat dalam mushaf itu,” ujarnya.

Abdul Wahid kemudian membacakan kembali beberapa ayat Alquran. Kali ini, rupanya si penduduk lokal tak bisa membendung gejolak dalam dadanya. Tiba-tiba, ia menangis dan berkata, “Sungguh, tidak pantas Zat yang memiliki firman ini didurhakai.”

Seketika dirinya menyampaikan keinginan untuk memeluk Islam dan menjadi seorang Muslim yang baik.

Keesokan harinya, nakhoda menyampaikan kepada para awak yang tersisa bahwa kapal selesai diperbaiki. Mereka senang mendengarnya dan bersiap untuk kembali berlayar. Mualaf yang kemarin ditemui Abdul Wahid tampak mendekati perahu tersebut. Ia memohon agar diizinkan ikut serta pelayaran ini.

Sang nakhoda membolehkannya. Lelaki itu kemudian mendekati Abdul Wahid dan kawan-kawannya di geladak. Dalam perjalanan laut itu, mereka menyibukkan diri dengan belajar Alquran serta menggali hikmah dari kisah-kisah Nabi SAW dan para sahabat.

Malam pun tiba. Abdul Wahid dan rekan-rekannya hendak kembali ke kamar untuk beristirahat. Mereka berpapasan dengan sang mualaf. Lelaki itu tampak sedang menuju ke arah geladak.

Sebelum berpisah, ia bertanya kepada Abdul Wahid, “Apakah Zat yang kalian beri tahukan kepadaku itu juga tidur?”

“Tidak. Dia Hidup terus. Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. Tidak pernah mengantuk atau tidur,” terangnya.

“Bukankah tidak berakhlak yang baik bila seorang hamba tertidur nyenyak di hadapan tuannya?” timpal pria itu.

Lelaki yang kemarin meninggalkan pulau itu kemudian pamit. Dari kejauhan, Abdul Wahid melihat bahwa sang mualaf sedang mengerjakan shalat.

Begitulah, hingga azan subuh berkumandang, dia larut dalam ibadah qiyamul lail, menangis tersedu-sedu dalam doa.

Ketika sampai di suatu daerah, Abdul Wahid hendak meninggalkan kapal tersebut. Sebelum berpisah, ia berpesan kepada kawan-kawannya yang masih hendak berlayar, “Laki-laki mualaf itu orang yang sangat pantas kita bantu. Mari kita tolong dia.”

Mereka pun mengumpulkan sejumlah uang dan beberapa barang keperluan untuk disedekahkan kepada mualaf tersebut.

Saat menyerahkan bantuan itu, pria tersebut seketika bertanya, “Apakah ini?”

“Sekadar infak yang kami sudah kumpulkan dan berikan kepadamu,” kata Abdul Wahid.

“Subhanallah. Kalian telah menunjukkan kepadaku suatu jalan yang kalian sendiri belum mengerti,” katanya. “Dahulu, aku hidup di suatu pulau yang dikelilingi lautan. Pun aku menyembah berhala, bukan Allah SWT. Sekalipun demikian, Dia (Allah) tidak pernah menyia-nyiakan aku. Jadi, bagaimana mungkin Zat yang aku sembah sekarang ini, Zat Yang Maha Mencipta dan Maha Memberi rezeki akan menelantarkanku?”

Setelah itu, dia pergi meninggalkan Abdul Wahid dan kawan-kawan. Beberapa hari kemudian, Abdul Wahid mendapatkan kabar khabar bahwa mualaf tersebut dalam keadaan sakaratul maut. Ia dan rekannya segera menemui pria itu.

Benar saja, raut wajahnya mengisyaratkan kondisinya menjelang detik-detik kematian. “Apa yang kamu inginkan?”

Dia menjawab, “Keinginan dan harapanku telah tercapai saat kalian datang ke pulau itu. Sebelumnya, aku tidak pernah mengerti kepada siapa aku harus menyembah.”

Abdul Wahid tetap di sisi lelaki itu, tetapi tiba-tiba saja ia tertidur. Dalam tidurnya, dia bermimpi melihat taman luas. Di sana, terdapat tempat tidur seorang gadis sangat cantik. Perempuan itu berkata, ‘Demi Allah, segeralah mengurus jenazah ini, aku sangat rindu kepadanya.’

Seketika, dia terbangun dan mendapati orang di sebelahnya telah kaku tak bernyawa. Ia dan kawan-kawannya lalu memandikan jenazah itu dan mengafaninya.

“Pada malam harinya, saat aku tidur, aku memimpikannya lagi. Aku lihat ia sangat berbahagia, didampingi seorang gadis di atas tepat tidur di bawah kubah di taman, sambil menyenandungkan firman Allah: Salamu ‘alaikum bima shabartum',” kenang Abdul Wahid. Senandung itu dari surah ar-Ra’d ayat 24.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat