Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Tjandra, Irjen Pol Napoleon Bonaparte menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (15/2). | GALIH PRADIPTA/ANTARA FOTO

Nasional

Pledoi Napoleon: Saya Dikriminalisasi

Napoleon mengeklaim telah menjadi korban kriminalisasi dan malapraktik penegakan hukum Polri.

JAKARTA  -- Terdakwa kasus suap penghapusan red notice Djoko Sugiarto Tjandra, Irjen Napoleon Bonaparte, mengeklaim telah menjadi korban kriminalisasi dan malapraktik penegakan hukum atas nama menjaga marwah institusi Polri. Mantan Kadiv Hubinter Polri itu menjelaskan, penegakan hukum atas dirinya terkesan tak berdasar.

Penindakan dirinya, kata dia, hanya karena menurunnya citra institusi Polri sebagai imbas tertangkapnya Djoko Tjandra, setelah lama menjadi buronan kasus hak tagih Bank Bali. "Kemudian disambut oleh pemberitaan di media massa secara masif dan berskala nasional, sejak pertengahan bulan Juni 2020, yang menuding, bahwa pemerintah Indonesia, terutama penegak hukum terkait telah kecolongan," kata Napoleon membacakan nota pembelaan (pledoi) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/2).

Situasi semakin memanas dengan munculnya foto yang memperlihatkan surat keterangan bebas Covid-19 dengan nama Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra, dan Anita Kolopaking dengan tanda tangan dari Pusdokes Polri.

Hal itu, kata dia, membuat kepercayaan atas institusi Polri semakin menurun dan muncul anggapan jika Polri merupakan biang keladi rentetan perkara Djoko Tjandra.

Dia menilai dikorbankan dalam situasi tersebut. "Bahwa kami telah menjadi korban dari kriminalisasi melalui media sosial yang memicu malpraktik dalam penegakan hukum," kata dia.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pekan lalu menuntut Napoleon dengan hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp 100 juta. Ia diyakini menerima suap sebesar 200 ribu dolar AS dan 270 ribu dolar AS melalui pengusaha Tommy Sumardi untuk menghapus nama Djoko Tjandra dari red notice interpol Polri.

Napoleon menyebut dirinya tak pernah terbukti menerima suap tersebut selama persidangan. Menurut dia, JPU hanya membuktikan adanya pertemuan antara dirinya dengan Tommy Sumardi di kantor Kadiv Hubinter Pori pada 16 April dan 4 Mei 2020. Tapi, JPU tidak pernah membuktikan soal penerimaan suap.

"Terkait dakwaan terhadap kami yang dianggap telah menerima sejumlah uang dari Tommy Sumardi, ternyata saudara Jaksa Penuntut Umum hanya bisa membuktikan fakta adanya peristiwa dimana Tommy Sumardi telah tiga kali bertemu dengan kami," ujar Napoleon.

photo
Terdakwa selaku perantara pemberian suap dari Djoko Tjandra, Tommy Sumardi menjalani sidang putusan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (29/12/2020). - (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Ia juga menyebut, surat-surat NCB Polri yang digunakan JPU sebagai dasar pembuktian akan sia-sia. Ia mengklaim surat itu telah sesuai dengan aturan yang ada. "Ternyata telah sesuai dengan kewajiban yang harus dilakukan oleh NCB Intepol Indonesia sebagaimana ketentuan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan, beberapa aturan Kapolri, maupun di dalam ketentuan interpol," kata dia.

Suap red notice merupakan bagian dari skandal pembebasan Djoko Tjandra yang saat itu masih menjadi buron kasus korupsi hak tagih Bank Bali. Kasus itu terbongkar setelah Kejaksaan Agung mengaku kecolongan dengan masuknya Djoko Tjandra ke Indonesia tanpa diketahui penegak hukum.

Dalam tuntutan JPU, Napoleon menerima suap bersama dengan Brigjen Prasetijo Utomo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Koordinator Pengawas (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri. Suap diberikan oleh rekan Djoko Tjandra, Tommy Sumardi. Nama terakhir telah divonis dua tahun dalam kasus tersebut. Sementara Prasetijo Utomo dituntut 2,5 tahun penjara.

Akibat penyuapan itu, status DPO Djoko Tjandra dari sistem Enhanced Cekal System (ECS) pada sistem informasi keimigrasian (SIMKIM) hilang sejak 13 Mei 2020. Penghapusan status buron itu tanpa pemberitahuan kepada Kejakgung.

"Sejak saat itu Djoko Tjandra bebas keluar masuk wilayah Indonesia karena tidak ada alert dan tidak ada dalam sistem cegah dan dilakukan pemberitahuan ke seluruh kantor Imigrasi Indonesia by sistem," kata JPU Zulkipli dalam sidang tuntutan pada Senin (15/2).

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat