IMAN SUGEMA | Daan Yahya | Republika

Analisis

Uji Klinis Vaksin dan Social Experiments

Setidaknya uji klinis harus dilengkapi dengan kerangka analitik social experiments.

Oleh IMAN SUGEMA

OLEH IMAN SUGEMA

Bagi para mahasiswa yang pernah belajar ekonometrika, terminologi social experiment (SE) bukanlah hal asing di telinga. SE merupakan salah satu sumber data yang kaya informasi. Bahkan, sekarang ini SE merupakan metoda paling populer digunakan oleh perusahaan-perusahaan berbasis digital. Ingin tahu apa itu SE, coba kita simak dua contoh berikut ini.

Contoh pertama adalah setiap Anda membuka layanan Netflix, Anda akan disuguhi dengan judul film yang diperkirakan cocok buat Anda. Kalau Anda menyukai drama Korea (drakor), maka yang dikeluarkan di urutan atas adalah drama Korea dan selanjutnya adalah film-film sejenis.

Kalau Anda menyukai film aksi ala Hollywood, maka film-film seperti itu yang akan ditampilkan di urutan pertama. Tetapi di luar itu Anda juga disuguhi dengan judul film yang lagi hits saat itu. Untuk kasus seperti ini, penyedia layanan Netflix sebetulnya sedang melakukan eksperimen terhadap pelanggannya.

Kalau Anda tidak merespons terhadap judul yang lagi hits, maka Anda adalah tipe orang yang konsisten dengan kesukaan Anda. Kalau Anda secara konsisten terus-terusan memilih film yang hits, maka sebetulnya Anda adalah tipe follower. Untuk kategori ini, suguhan menu film yang diperkirakan menjadi favorit Anda tentunya akan berubah sesuai dengan film yang lagi trending.

 
Menurut hemat saya, setidaknya uji klinis harus dilengkapi dengan kerangka analitik social experiments.
 
 

Contoh kedua adalah percobaan penyaluran pupuk bersubsidi. Tujuannya adalah sejauh mana subsidi pupuk akan berpengaruh terhadap produktivitas dan kesejahteraan petani. Birokrat dan politisi pada umumnya percaya bahwa subsidi pupuk akan meningkatkan pemakaian pupuk dan pada gilirannya akan meningkatkan produktivitas.

Dengan SE kita bisa menguji hal ini dan bahkan bisa menyediakan jawaban tentang jenis petani seperti apa yang tidak responsif, tanaman apa yang malah berkurang produktivitasnya (karena pemakaian pupuk berlebih), dan dalam situasi seperti apa pendapatan petani akan membaik.

Nah sekarang apa hubungan SE dengan uji klinis vaksin Covid-19? Menurut hemat saya, setidaknya uji klinis harus dilengkapi dengan kerangka analitik social experiments. Sejauh ini uji klinis vaksin Covid-19 merupakan murni penelitian medis. Akibatnya, angka efficacy rate lebih merefleksikan average effect (AE) dari vaksin. Padahal, yang ingin kita ketahui adalah perbedaan efek terhadap masing-masing relawan.

Data ini hampir bisa dipastikan sudah tersedia, tapi entah mengapa tidak terpublikasikan secara transparan ke masyarakat awam. Padahal, data inilah yang seyogianya digunakan BPOM dalam memberikan izin untuk penggunaan darurat.

 
Data ini hampir bisa dipastikan sudah tersedia, tapi entah mengapa tidak terpublikasikan secara transparan ke masyarakat awam.
 
 

Jelasnya, data penting yang sudah tersedia dalam uji klinis adalah imunogenisitas, dan data kondisi fisik dan biologis relawan. Yang belum ada mungkin adalah data psikis dan lingkungan sosial, supaya uji klinis bisa dikategorikan sebagai social experiment. Namun, data seperti ini bisa kita lengkapi menyusul karena jumlah relawan yang dilibatkan juga relatif sangat sedikit. Jadi kalau mau lebih detail sedikit saja, pasti kita bisa mendapatkan jawaban yang lebih lengkap.

Coba kita lihat bagaimana perbedaan tiga jenis analisis berikut ini. Pertama adalah statistik deskriptif yang tujuannya mendapatkan gambaran tentang efficacy rate. Kedua adalah analisis regresi imunogenisitas terhadap variable-variable biologis dan fisik.

Dari sini kita bisa mengetahui tentang faktor fisik dan biologis apa yang berpengaruh imunogenisitas. Ketiga adalah regresi imunogenisitas terhadap variable-valiable biologis, fisik, psikis, dan lingkungan sosial. Nah yang ketiga ini jauh lebih lengkap bukan?

Dengan demikian kita bisa memberikan jawaban yang lebih paripurna mengenai faktor apa yang menyebabkan efficacy rate suatu vaksin itu rendah atau tinggi. Salah satu penyebab kenapa terjadi bullying terhadap vaksin dan vaksinasi di media sosial adalah kurang sempurnanya pemahaman di antara komponen masyarakat.

 
Selain itu, pengamatan sosial juga bisa dilakukan terhadap masyarakat umum. Respons persepsional masyarakat bisa kita gali lebih dalam.
 
 

Tentu untuk menjadikan vaksin itu menjadi kredibel secara persepsional, diperlukan upaya kreatif dalam memberikan informasi dan pengetahuan tentang vaksin dan vaksinasi. Jawaban terhadap hal ini mungkin hanya bisa disediakan secara lengkap dengan mengadopsi kerangka analisis social experiment.

Selain itu, pengamatan sosial juga bisa dilakukan terhadap masyarakat umum. Respons persepsional masyarakat bisa kita gali lebih dalam. Tentu, bisa kita bedakan faktor-faktor yang mempengaruhi respons dengan basis emosional maupun informasi dan pengetahuan. Kita bisa mengetahui dengan baik tentang bagaimana seharusnya melakukan diseminasi informasi kepada publik. Lagi-lagi, social experiment bisa membantu menemukan jawaban.

Terakhir, ada hal menarik dari kelas ekonometrika yang saya ajar. Ketika ujian smester yang lalu saya tanyakan apakah dalam uji klinis vaksin Covid-19 diperlukan control group atau relawan yang sama sekali tidak diberi vaksin?

Semua mahasiswa ternyata menjawab tidak perlu. Nah kalau begitu, uji klinis bisa kita desain secara lebih sederhana, relatif lebih murah, dan terlebih penting lagi sangat aman. Itulah indahnya ekonometrika.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat