Warga binaan yang merupakan kaum ibu beraktivitas di sebuah lembaga pemasyarakatan sebelum pandemi Covid-19. | ANTARA FOTO

Opini

Sama-Sama Ibu, Tapi Beda di Mata Hukum

Ibu yang menjadi figur publik tidak ditahan, tapi ibu yang rakyat jelata harus mendekam di tahanan bersama balitanya.

 

ABDUL RACHMAN THAHA 

Anggota DPD RI asal Sulawesi Tengah

 

Perbedaan perlakuan hukum terhadap figur publik yang populer dan warga jelata yang tak dikenal masyarakat luas menjadi perbincangan di banyak tempat. Figur publik seperti mendapatkan perlakuan ‘khusus’. Di hadapan mereka, hukum seakan menjadi kompromistis. 

Sedangkan warga jelata mendapatkan tindakan hukum yang tegas. Di sini hukum menjadi sangar, galak, menjadi pisau yang tajam.

Dua perlakuan yang bertolak belakang ini terlihat jelas, dipertontonkan dengan gamblang kepada kita semua. Kita lihat bagaimana media arus utama memberitakan artis Gisella Anastasia menjadi tersangka karena diduga terbelit kasus hukum, tidak ditahan. Sedangkan empat ibu rumah tangga (IRT) beserta balitanya di Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, mendekam di balik jeruji Kejaksaan Negeri Praya bersama bayi-bayinya. 

Sungguh fenomena penegakkan hukum jauh dari keadilan. Padahal negera ini menempatkan keadilan pada posisi yang sangat sentral. Disebut tiga kali dalam preambule atau pembukaan UUD 1945, kemudian disebut dalam Pasal 24, Pasal 28H, dan Pasal 33. Keadilan merupakan kata kunci yang menjiwai kehidupan negeri ini, menjadi inti segala peraturan, dan cita-cita yang agung.

Aristoteles (384-322 SM) dalam Nicomachean Ethics menjelaskan keadilan, baik yang bermakna ketaatan hukum maupun kewajaran (juga kesamaan), akan menjadi nilai dan membentuk perilaku terpuji. Dengan begitu masyarakat terbiasa berbuat kebaikan, merealisasikan dan merawat nilai kehidupan sehingga menjadi  mulia (virtous). 

Namun, kembali ke perlakuan terhadap tersangka figur publik dan wanita jelata tadi, kita sama sekali tidak melihat keadilan. Negara seperti pilih kasih. Negara memberikan pertimbangan kemanusiaan kepada kepada tersangka dugaan pidana kesusilaan, seperti Gisel. Padahal, saat yang bersangkutan melakukan pidana kesusilaan itu, terlebih karena dia mabuk, sangat mungkin dia tidak ingat pada darah dagingnya sendiri. 

Sementara, terhadap ibu rumah tangga (IRT) yang peduli pada kesehatan keluarga, yang mendambakan lingkungan hidup yang bebas asap rokok, nilai kemanusiaan itu justru absen. Ini sungguh menyedihkan.

Kita mengetahui bersama, udara merupakan kebutuhan. Abraham Harold Maslow (1908-1970) menempatkan kebutuhan akan udara dalam kategori paling dasar bersama dengan makan, minum, sandang, pangan, papan, dan lainnya.

Kamus Merriam Webster mendefinisikan ibu rumah sebagai seorang wanita menikah yang bertanggung jawab atas rumah tangganya. IRT adalah wanita yang bekerja menjalankan dan memanage kehidupan yang ada di lingkungan rumah, mengurus perbendaan di dalamnya, dan mendidik orang-orang di dalamnya. IRT membesarkan anak-anaknya, memberikan mereka kasih sayang, pengetahuan, membiasakan perbuatan baik, disiplin, dan juga melatih keterampilan.

IRT juga memasak dan menghidangkan makanan, membeli barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari, membersihkan dan memelihara rumah, menyiapkan dan menjahit pakaian untuk keluarga, dan lain sebagainya. Umumnya ibu rumah tangga tidak bekerja di luar rumah. 

Dalam hal ini, empat wanita yang sekarang mendekam di tahanan Kejaksaan Negeri Praya bersama balitanya, adalah sosok ibu rumah tangga yang luar biasa. Yang memperjuangkan anak-anaknya mendapatkan kebutuhan dasar udara berkualitas. Yang menginginkan keluarganya tumbuh menjadi manusia bermanfaat untuk bangsa. 

Untuk memperjuangkan nasib mereka, saya sudah sampaikan beberapa opsi kepada Wakil Jaksa Agung dan pimpinan kementerian-lembaga terkait lainnya. Pertama, benahi seluruh sistem penahanan dan pemasyarakatan agar layak menjadi tempat tahanan maupun napi mengasuh anak. 

Pembenahan ini meliputi infrastruktur berupa perbaikan sarana dan prasarana pemasyarakatan. Harus ada penambahan ruang, karena fasilitas lapas dan rutan sudah sangat tidak memadai. Bayangkan, kelebihan kapasitas mencapai 300 persen dari daya tampung. Tak terbayangkan bagaimana mereka berdesakan tinggal di sana.

Ini akan semakin parah bila ada warga binaan di dalamnya yang mengidap Covid-19. Satu saja terkena, maka dengan sangat mudah akan menyebar ke warga binaan lain. Kemudian terbentuklah klaster lapas dengan jumlah yang luar biasa.

Belum lagi soal pembagian atau klasifikasi warga binaan. Sekitar 70-80 persen adalah mereka yang terlibat kasus penyalahgunaan narkoba. Bila kita kaitkan dengan empat ibu rumah tangga yang berjuang untuk keluarga tadi, apa layak mereka disamakan bahkan digabung dengan mereka yang menyalahgunakan narkoba? Saya sangat keberatan dengan hal ini. Negara harus hadir di sini menyelesaikan masalah yang pelik ini. 

photo
Abdul Rachman Thaha, Anggota DPD RI - (Dokpri)

Belum lagi dari sisi sumber daya manusia. Para petugas sipir jelas harus berkompeten mengayomi masyarakat. Jiwa mendidiknya harus yang utama, sehingga warga binaan merasa terayomi. Integritas mutlak menjadi perisai diri mereka, sehingga imun dari perilaku korup yang mencoreng nama baik Negara.

Dengan pembenahan tersebut, para IRT tersebut dan Gisel bisa tetap mengasuh anak mereka masing-masing selama mereka menjalani penahanan Ini juga bermanfaat bagi para tahanan maupun napi yang notabene merupakan orang tua yang memiliki anak kecil.

Kedua, keluarkan para IRT itu dari ruang tahanan. Sehingga, tidak hanya Gisel, para IRT tersebut juga bisa sama-sama mengasuh anak mereka masing-masing. Ini baru adil. Negara akan dinilai hadir bersama kaum wanita secara keseluruhan, tidak hanya bersama figur publik yang menjadi sorotan, sehingga menimbulkan preseden buruk.

Tapi pembenahan sistemik itu boleh jadi makan waktu tidak sebentar. Jadi yang paling realistis adalah opsi kedua. Karena itu, empat IRT di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang sekarang ditahan Kejaksaan Negeri Praya, harus dilepaskan agar tetap hidup di lingkungannya, seperti artis Gisella.

Dunia sudah berlomba-lomba bahkan terus menggaungkan narasi wanita sebagai pembangun bangsa. Namun kita masih saja berprilaku diskriminatif, menjadi tertinggal dalam hal ini. Kita masih menunjukkan ketidakadilan kepada kaum hawa, para ibu yang melahirkan generasi pembangun bangsa. Sampai kapan kita akan seperti ini?

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat