Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta KH Taufik Damas menilai, pendengung atau buzzer tak ubahnya para tukang dongeng pada zaman Nabi SAW. | DOK IST

Hiwar

KH Taufik Damas, Bahaya Buzzer Dalam Sejarah

Buzzer seharusnya menjadi perekat silaturahim.

Buzzer yang tidak baik adalah yang berani bodoh, takut miskin. Pada zaman sekarang, masyarakat mengenal pekerjaan yang disebut sebagai pendengung (buzzer). Jaza para buzzer biasanya disewa untuk menyampaikan promosi, informasi, ataupun disinformasi kepada publik melalui berbagai platform media sosial.

Menurut KH Taufik Damas, keberadaan mereka cenderung dimanfaatkan demi kepentingan politik. Pada eksesnya, lanjut Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta ini, mereka kerap menyebarkan berita bohong sesuai permintaan klien yang membayarnya.

Alumnus Universitas al-Azhar Kairo, Mesir itu mengatakan, dalam sejarah Islam profesi buzzer hampir mirip dengan tukang dongeng (al-qashash). Sebab, masing-masing dibayar untuk berorasi di pelbagai tempat keramaian. Kontennya selalu memuji-muji orang yang membayarnya. Dan, tak jarang menjatuhkan nama lawan politik si pembayar jasa.

“Mereka (al-qashash) itu juga berorasi di tempat-tempat ramai, seperti di pasar, untuk menyampaikan pesan-pesan sesuai keinginan orang yang membayar. Dan, itu dulu cukup menggelisahkan bagi para orang-orang yang berpikir lurus,” ujar cendekiawan muda Nahdliyin tersebut.

Para pendongeng itu tak jarang mengaburkan batas antara fakta dan rekaan. Bahkan, dengan serampangan mereka mencampuradukkan atau memalsukan hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Semua itu dilakukan demi mengangkat citra positif sosok yang menggajinya.

Bagaimana komparasi profesi buzzer masa kini dan al-qashash masa lalu itu? Apa hikmah yang dapat dipetik untuk situasi “banjir informasi” pada zaman sekarang? Berikut wawancara wartawan Republika, Muhyiddin. bersama dengan Kiai Taufik Damas beberapa waktu lalu. 

Bagaimana Anda memandang fenomena pendengung (buzzer) di media sosial?

Di satu sisi, ini bagian dari dampak media sosial. Memang, begitu bebas orang beropini. Orang sudah tidak memikirkan lagi soal keahlian, kepakaran, dan sebagainya. Jadi, sekarang ini semua orang mau beropini dan berpendapat di media sosial.

Nah, kadang-kadang mereka ini ada yang dikoordinasi oleh orang-orang tertentu. Tujuannya untuk menyampaikan sesuatu yang kemudian mereka akan mendapatkan kompensasi. Nah, dalam menyampaikan sesuatu ini, mereka bisa benar dan bisa pula tidak.

Apakah bekerja sebagai buzzer halal atau haram?

Buzzer yang menyampaikan sesuatu yang tidak benar, itulah yang berdosa. Tidak hanya buzzer-nya yang berdosa, tetapi juga orang yang membayarnya. Kalau saya punya uang, misalnya, kemudian meminta tolong buzzer untuk menyebarkan berita-berita palsu, maka saya berdosa. Buzzer-nya juga berdosa. Namun, kalau berita yang kita pesankan adalah berita yang baik, sesuai fakta, ya tentu tidak berdosa.

Dalam sejarah Islam, apakah fenomena semacam buzzer ini pernah ada?

Ada, yaitu yang menyangkut hadis-hadis palsu yang disebarkan oleh para tukang dongeng atau al-qashash. Mereka adalah orang-orang yang dibayar untuk memuji-muji orang yang membayar mereka. Sekaligus, mereka akan menjatuhkan lawan politik klien mereka.

Al-qashash ini sering dipakai oleh kepentingan-kepentingan politik pada zamannya Khalifah Umar bin Abdul Aziz (wafat 101 H). Kepentingan politik paling kuat ketika itu adalah dari kelompok Muawiyah dan kelompok Ali bin Abi Thalib. Jadi, kedua kubu seringkali berwacana atau saling menyerang.

Bagaimana konteks perselisihan itu, yang lalu mengangkat profesi al-qashash--buzzer masa itu?

Kalau kita baca sejarah, pada masa sahabat Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah itu memang sebagian sahabat terpecah belah. Ada yang mendukung Muawiyah. Ada pula yang mendukung Ali bin Abi Thalib. Pengaruhnya itu bahkan sampai kepada generasi tabi’in.

Sementara, Khalifah Umar bin Abdul Azis tidak mau ikut campur dalam ranah konflik itu. Dia tidak membela kelompok Ali. Tidak pula membela kelompok Muawiyah. Dia cenderung ingin mendamaikan antara kedua belah pihak. Pemerintahannya berusaha mengantisipasi penggunaan-penggunaan panggung keagamaan dari kecenderungan politisasi ketika itu.

Bagaimana pemimpin Muslim saat itu merespons fenomena buzzer?

Jadi, mereka (al-qashash) itu juga berorasi di tempat-tempat ramai, seperti di pasar, untuk menyampaikan pesan-pesan sesuai keinginan orang yang membayar mereka. Dan, itu dulu cukup mengggelisahkan bagi orang-orang yang berpikir lurus, termasuk Khalifah Umar bin Abdul Aziz sendiri.

Ia adalah khalifah yang luar biasa, tegas, dan juga berkomitmen untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ia pun gerah melihat fenomena menyebarnya hadis-hadis palsu yang dilakukan para al-qashash.

Bahkan pesan-pesan politik waktu itu sampai masuk ke ruang-ruang keagamaan, seperti mimbar-mimbar khutbah (shalat) Jumat. Khalifah Umar memiliki kebijakan. Ia imbau para khatib khutbah Jumat (saat itu) sering mengutip ayat. Misalnya, yang bunyinya, “Innallaha ya’muru bil ‘adli wal-ihsaani wa-iitaa-i dziil qurba wayanha ‘anil fahsyaa-i wal munkari wal baghyi ya’izhukum la’allakum tadzakkaruun.”

Surah an-Nahl ayat 90, artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia (Allah) melarang (melakukan) perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Arti ayat itu sangat luar biasa. Tujuannya Khalifah Umar bin Abdul Azis meminta para khatib untuk mengutip ayat itu. Dengan begitu, publik diingatkan agar mewaspadai potensi permusuhan. Para penceramah pun diminta untuk bersikap dan berpikir adil, berbuat baik. Tidak ngomong kotor, caci maki, dan provokatif.

Apakah ada cara lainnya?

Nah, Khalifah Umar bin Abdul Azis juga yang pertama kali menginisiasi investigasi hadis-hadis palsu. Ia percayakan hal ini kepada seorang tokoh bernama Abu Bakar Muhammad bin Syihad az-Zuhri (51-124 H). Tugasnya melakukan penelitian terhadap hadis-hadis yang ketika itu menyebar. Sebab, hadis itu sudah luar biasa disebarkan oleh para al-qashash demi mendukung orang-orang yang membayar mereka.

Maka, lahirlah cikal bakal ilmu hadis atau musthalahul hadits. Ini bisa dipakai untuk menyeleksi, mana hadis yang benar-benar dari Rasulullah SAW dan mana hadis palsu. Kemudian, ilmu ini dikembangkan oleh para ulama, seperti Imam Muslim, Imam Bukhari, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan lain-lain. Jadi, hadis yang dikompilasi para alim ulama itu sudah merupakan hadis-hadis yang sahih, sanadnya sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

Menurut Anda, bagaimana cara yang tepat dalam menghadapi buzzer di media sosial kini?

Memang agak sulit. Namun, yang paling bahaya adalah bila mereka itu (para buzzer) menyebarkan dalil palsu, seperti yang dilakukan para al-qashash dalam menyebarkan hadis palus pada zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sebab, itulah yang membuat seorang pemimpin adil seperti Khalifah Umar bin Abdul Azis merasa gelisah.

Kalau kita belajar sejarah, lihat ketika Khalifah Umar bin Abdul Azis berupaya mengatasinya. Ia meminta Abu Bakar untuk merumuskan kaidah-kaidah dalam menyaring hadis-hadis. Dan, memang hadis-hadis palsu itu ciri khasnya ialah bernuansa politis.

Untuk mengatasi fenonema buzzer yang terjadi sekarang, tentu juga harus menggunakan pendekatan moral. Misalnya, melalui forum-forum pengajian atau kajian. Dengan begitu, kita bisa mengajak masyarakat untuk turut berbicara. Jangan sampai tenggelam atau hanyut dalam berita-berita yang sifatnya hoaks, yang disebarkan oleh banyak buzzer.

Profesi buzzer bisa mendatangkan kebaikan juga?

Itu susah menurut saya. Ada memang buzzer yang baik, yakni betul-betul menyampaikan hal-hal yang positif. Mereka juga menyampaikan apa-apa sesuai fakta.

Buzzer yang tidak baik adalah yang berani bodoh, takut miskin. Walaupun sesuatu bersifat manipulatif, buzzer mau-mau saja menyebarkan kabar bohong, itu lantaran dibayar. Akhirnya, mereka menimbulkan fitnah, merajalelakan hoaks. Kita jadi resah juga melihat masyarakat yang jadi korban hoaks-hoaks itu.

Apalagi, pada zaman sekarang posisi buzzer kadang-kadang seperti bisa “mengalahkan” media-media massa besar. Dulu, orang kalau mau tahu berita, ya rujukannya ke koran. Nah, di zaman media sosial sekarang, orang seakan-akan bisa menjadi jurnalis bagi khalayak. Kadang, berita yang disampaikan melalui media sosial bisa bersaing dengan yang disampaikan media massa konvensional-formal.

Pesan-pesan Anda terkait fenomena buzzer di media sosial?

Kembalilah kepada ajaran Islam. Kembalilah kepada jalan yang baik dan benar. Ada hadis Nabi SAW, yakni, “Man kaana yu'minu billahi wal-yaumil-akhir, fal-yaqul khairann au liyashmut.” Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.”

Hadis ini mengandaikan, orang yang beriman kepada Allah dan Hari Kiamat. Nah, pada Hari Kiamat itu setiap manusia akan merasakan pembalasan dari amal perbuatannya. Siapapun yang menyebarkan berita-berita hoaks atau opini-opini yang menyesatkan, maka di akhirat nanti pasti dihisab oleh Allah SWT.

Dulu, ada pepatah “mulutmu, harimaumu.” Kalau zaman sekarang, ada istilah “jarimu, harimaumu.” Jadi, kalau ada orang yang menyebarkan hoaks, fitnah, apalagi disertai dengan kesengajaan, maka dosanya sangat besar. 

photo
Istilah buzzer dapat berkonotasi baik bila memang perilakunya untuk menyebarluaskan kebaikan, bukan justru fitnah, caci-maki, atau hoaks. - (DOK REP/Prayogi)

Jadilah Buzzer untuk Kebaikan

Media sosial saat ini menjadi perangkat yang selalu menemani setiap orang. Bagaikan pisau bermata dua, media yang bekerja melalui jaringan internet itu memiliki efek positif maupun negatif. Dalam hal ini, kaum Muslimin diharapkan mampu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk menyebarkan kebaikan, bukan justru melipatgandakan keburukan.

Wakil Katib Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama DKI Jakarta KH Taufik Damas mengatakan, media sosial seharusnya menjadi media silaturahim. Sebab, hakikat dari hidup bersosial adalah terjalinnya rasa persaudaraan dan solidaritas, baik itu sesama umat, bangsa, maupun kemanusiaan. Maka dari itu, alumnus Universitas al-Azhar, Mesir, ini mengaku prihatin tatkala melihat adanya akun-akun di media sosial yang justru memancing kekisruhan.

Ia menilai, pendengung (buzzer) sudah menjadi sebuah pekerjaan yang memanfaatkan kecepatan media sosial dalam menyebarluaskan informasi. Pada mulanya, profesi buzzer lumrah dijumpai pada berbagai perusahaan untuk mempromosikan produk mereka. Akan tetapi, lanjut Kiai Taufik, lama kelamaan citra buzzer menjadi negatif. Sebab, mereka mulai masuk pada pusaran politik.

“Ketika bersentuhan dengan politik, buzzer pun banyak menyebarkan berita bohong yang bahkan bisa memecah persatuan masyarakat. Tak heran kalau buzzer dipandang buruk oleh masyarakat,” ujar tokoh Nahdliyin ini kepada Republika beberapa waktu lalu.

Bagaimanapun, ia meyakini, masih ada buzzer yang baik. Mereka tidak mudah menyebarkan hoaks di media sosial. Kiai Taufik pun mengajak seluruh pengguna media sosial, termasuk para buzzer untuk terus menyebarkan nilai-nilai toleransi.

Buzzer perlu menyebarkan nilai-nilai kebaikan seperti toleransi. Yang menyebarkan sebaliknya, sudah banyak. Maka, jadilah buzzer untuk kebaikan,” katanya.

 
Buzzer perlu menyebarkan nilai-nilai kebaikan seperti toleransi. Yang menyebarkan sebaliknya, sudah banyak. Maka, jadilah buzzer untuk kebaikan
 
 

Persatuan dan kesatuan merupakan modal penting dalam kehidupan berbangsa dan negara. Fakta yang merisaukan, akhir-akhir ini pelbagai isu dapat memecah belah umat Islam dan masyarakat di Tanah Air. Begitu banyak di antaranya yang tersebar melalui media sosial.

Karena itu, menurut dia, para buzzer perlu menyampaikan nilai-nilai kebaikan. Mereka hendaknya tidak mudah tergoda untuk menyebarkan berita-berita bohong, apalagi fitnah. “Paling ideal, buzzer itu menyebarkan nilai-nilai kebaikan secara umum agar hidup ini tenang, damai, saling menghormati, dan saling menghargai,” ucap alumnus Pondok Pesantren Bahrul Ulum Jombang, Jawa Timur, ini.

Mubaligh kelahiran Jakarta, 23 Januari 1974, ini menjelaskan, berita yang akan disebar oleh buzzer harus disaring betul-betul. Sebab, ada kalanya suatu berita bernada positif, padahal tidak sesuai dengan fakta. Begitupun sebaliknya, ada yang sesuai fakta, tapi tidak berdampak positif bila dibumbui dengan pembingkaian (framming) tertentu.

“Jadi, kembali kepada hati nurani. Media sosial itu bisa digunakan untuk kebaikan dan juga ketidakbaikan. Kalau kita orang beriman, gunakanlah media sosial itu untuk kebaikan,” tuturnya.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat