Asma Nadia | Daan Yahya | Republika

Resonansi

Muslim, Pasar yang Menggiurkan Dunia

Saat pelancong Muslim dimanja di luar negeri, sejumlah regulasi di Tanah Air memunculkan pertanyaan.

Oleh ASMA NADIA

OLEH ASMA NADIA

Opini Wakil Presiden Ma’ruf Amin di sebuah surat kabar mengingatkan saya pada undangan Korea Tourism Organization atau KTO, dua tahun lalu. Namun sebelum saya terangkan kenapa, saya kutip dahulu apa yang ditulis Wakil Presiden,  sekaligus ulama besar Indonesia ini, pada kolom tersebut.

Dalam tulisannya “Babak Baru Ekonomi dan Keuangan Syariah Indonesia”, sang ulama menceritakan tentang transaksi besar BRF sebuah perusahaan makanan Brasil yang mengakusisi perusahaan distributor makanan halal terbesar di Kuwait dengan nilai 160 juta dollar atau setara  2,2 triliun rupiah. Tak lama berselang BRF meresmikan pabrik makanan halal terbesar di Uni Emirate Arab.

Langkah tersebut menempatkan Brasil sebagai salah satu negara terbesar yang menguasai ekspor makanan halal. Global Islamic Report tahun 2019 melaporkan, nilai ekspor produk makanan dan minuman halal Brasil mencapai 5,5 miliar dollar SA (atau setara 77,3 triliun), disusul Australia yang mencapai 2,4 miliar (33,7 triliun). 

 
Menariknya,  masyarakat  muslim di Brasil hanya, 0,0002 persen. Sangat kecil tapi pemerintahnya bisa menguasai penjualan makanan halal di dunia. 
 
 

Menariknya, masyarakat  Muslim di Brasil hanya, 0,0002 persen. Sangat kecil tapi pemerintahnya bisa menguasai penjualan makanan halal di dunia. Angka itu tentu jauh dibanding Indonesia, yang merupakan negara dengan muslim terbanyak di dunia. Meski begitu, jangankan menguasai perdagangan makanan halal di pasar dunia, untuk pemenuhan kebutuhan domestik saja kita masih harus impor.  

Tahun 2018 Indonesia membelanjakan 173 miliar dollar atau 12,6% pangsa makanan halal dunia, yang menempatkan kita sebagai konsumen terbesar di banding negara mayoritas muslim di dunia. Pasar global makanan halal pada tahun 2018 mencapai US$ 2,2 triliun dan akan berkembang mencapai 3,2 triliun dollar di tahun 2024.

Lalu apa koneksi data yang diungkap Wapres di atas dengan perjalanan saya ke Korea Selatan?

Di tahun 2019 saya kembali diundang ke Korea Selatan oleh KTO.  Ini perjalanan ketujuh saya ke sana. Dua kesempatan sebelumnya, murni terkait acara kepenulisan; undangan tinggal sebagai penulis  selama enam bulan, lalu mengisi The Second Asia Literature Forum. Satu perjalanan lain untuk keperluan syuting film Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea. 

 
Selama perjalanan, kami menyaksikan bagaimana seriusnya pemerintah Korea membidik pasar Muslim sebagai target destinasi wisata. 
 
 

Peluang ke Korea Selatan setelah itu, selalunya dalam agenda sebagai influencer bersama beberapa sosok muda di Tanah Air. Salah satu perjalanan yang berkesan adalah terkait sosialisasi Halal Week. Agenda wisata kuliner namun kami bukan diajak mencicipi kimbab, bulgogi, jjajangmyeon dan sederet makanan khas Korea Selatan lainnya, melainkan untuk mengunjungi satu demi satu restoran Halal di beberapa kota di Korea. 

Selama perjalanan, kami menyaksikan bagaimana seriusnya pemerintah Korea membidik pasar Muslim sebagai target destinasi wisata. Animo makanan halal tidak hanya terbatas banyaknya resto halal atau Muslim friendly, melainkan lebih luas lagi. Sekarang bahkan kios-kios  penjaja makanan di jalan juga memberi label halal, demi membuang keraguan turis dari negara Muslim.

Singkatnya Negeri Ginseng ini ingin menujukkan bahwa  sekarang tidak sulit mencari makanan halal di sana. Walau bukan negara dengan penduduk muslim yang banyak, namun mereka berusaha menunjukkan bahwa Korea Selatan merupakan tempat  menyenangkan dan ramah bagi turis muslim. 

Tidak hanya itu, tempat-tempat wisata juga telah menyediakan ruang sholat bagi pengunjung muslim. Saya melihat kebanggaan mereka saat menunjukkan bahwa di mushola yang disiapkan,  tidak hanya dilengkapi sajadah, perlengkapan sholat, juga Al Qur’an, namun juga tersedia kursi panjang agar wisatawan muslim yang berusia lanjut, bisa melaksanakan sholat sambil duduk. 

Kesungguhan lain terlihat bagaimana mereka mencatat input yang diberikan. Saya misalnya saat itu mengapresiasi usaha yang dilakukan, meski memberi catatan akan lebih baik jika tempat shalat yang juga sudah ditujukan untuk mengakomodir orang-orang tua, tidak diletakkan di lantai dua, melainkan di lantai dasar. 

 
Indonesia juga menyadari potensi kekuatan ekonomi pasar Muslim. Perbaikan wisata halal sudah didengungkan dari waktu ke waktu. Secara internasional kita pun menyabet prestasi di sini. 
 
 

Niat baik yang dilakukan pemerintah Korea ini, sebenarnya juga menunjukkan  bahwa Muslim sudah mereka anggap sebagai target pasar yang menguntungkan. 

Memang sebelumnya bila kita berkunjung ke Eropa atau negara Muslim minoritas, kita akan menemukan banyak sekali toko yang menyediakan makanan halal, termasuk daging yang disembelih dengan bismillah, sebagian besar terletak di daerah Muslim, dekat masjid. Namun cukup banyak kota di dunia saat ini di mana  mudah bagi umat Islam untuk mencari resto halal,  bahkan pernah satu franchise ayam goreng terkenal di satu kota hanya memasok ayam yang halal. Padahal penduduk di sana bukan mayoritas Islam.

Fakta di atas  kian menunjukkan betapa besarnya pasar Muslim, sehingga berbagai negara berlomba-lomba memberikan kenyataman bagi wisatawan Muslim yang datang, baik melalui makanan halal, fasilitas ibadah, tentu juga dengan pakaiannya.

Indonesia juga menyadari potensi kekuatan ekonomi pasar Muslim. Perbaikan wisata halal sudah didengungkan dari waktu ke waktu. Secara internasional kita pun menyabet prestasi di sini. 

Baru-baru ini,  Indonesia menggabungkan semua bank syariah milik bank pemerintah menjadi satu agar mempunyai kekuatan modal yang mapan. Bank Syariah Indonesia (BSI) yang merupakan hasil penggabungan tiga Bang Syariah mandiri, BRI Syariah dan BNI syariah kini memiliki asset sekitar 240 triliun dan berpotensi menjadi 10 bank syariah terkuat di dunia.

 
Di Indonesia justru muncul peraturan yang melarang berbagai pihak termasuk pejabat daerah bahkan sekadar memberikan imbauan bagi pelajar Muslimah, untuk berhijab.
 
 

Jangan lupa, kini produk fesyen juga berlomba-lomba melahirkan label pakaian Muslimah. Dolce & Gabbana pada tahun 2016 sudah melaunching lini hijab (veils) dan abaya. Produk tersebut juga dihadirkan di western collection. Brand mewah seperti Versace, Chanel, dan Balenciaga juga telah memperkenalkan desain pakaian Muslimah. Sementara Zara, Nike, H&M pun tak ingin ketinggalan.

Maka menjadi sesuatu yang memprihatinkan dan sulit dimengerti, bagaimana mungkin di saat masyarakat dunia, tetap berlomba-lomba membuat Muslim dan Muslimah nyaman dengan keyakinannya, di Indonesia justru muncul peraturan yang melarang berbagai pihak termasuk pejabat daerah bahkan sekadar memberikan imbauan bagi pelajar Muslimah, untuk berhijab. Jika anjuran ini diperuntukkan bagi yang non-Muslim tentu aneh, dan bisa kita tolak, namun himbauan bagi Muslimah?

Sulit untuk melihat ini  kecuali sebagai sebuah ketertinggalan, khususnya di saat Muslim dan Muslimah jelas-jelas merupakan pasar yang potensial dan menggiurkan bagi dunia yang bahkan masih asing dengan Islam. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat